Mempersatukan RUU Desa dan RUU Pembangunan Perdesaan
Oleh :
Drs. Sutoro Eko, M.Si
Drs. Sutoro Eko, M.Si
Konsep “desa” dan “perdesaan” tidak pernah akur, tidak pernah
bersenyawa menjadi satu. Para pemakai kedua konsep itu berbeda-beda.
Parapihak yang mempelajari pemerintahan dan NGOs umumnya menggunakan
konsep desa. Kalangan NGOs menyebut desa sebagai entitas, hulu, basis
dan locus penghidupan dan kehidupan masyarakat, yang notabene berbeda
dengan negara. Sebaliknya orang ekonomi dan teknik adalah pemakai konsep
perdesaan. Para pemakai konsep perdesaan menilai bahwa konsep desa itu
terlalu kecil atau hanya wilayah administratif, sementara perdesaan
mereka lihat sebagai functional areas secara lebih luas seperti
pertanian, kehutanan, pariwisata, perdagangan, dan lain-lain yang semua
ini mempunyai dampak terhadap masyarakat desa.
Di dalam tubuh pemerintah, Departemen Dalam Negeri adalah pemakai
utama konsep desa. Beberapa departemen/kementerian lain juga memakai
desa, misalnya Departemen Kesehatan punya “desa siaga”, Departemen
Kehutanan punya “hutan desa”, Departemen Kelautan dan Perikanan bermain
di “desa pesisir” atau “desa nelayan”, Departemen ESDM punya “desa
mandiri energi”, Departemen Pertanian punya “desa mandiri pangan”,
Departemen Pariwisata mampunyai mainan “desa wisata”, dan Kementerian
PDT mempunyai “desa tertinggal”. Tetapi konsep desa yang dimiliki oleh
beberapa departemen/kementerian ini berbeda dengan konsep desa yang
dimiliki Depdagri. Mereka menyebut desa dalam pengertian lembagalembaga
dan masyarakat sebagai penerima manfaat program-program mereka, bukan
sebagai kesatuan masyarakat hukum atau organisasi pemerintahan yang
memiliki otonomi.
Sementara departemen/kementerian lain (Bappenas, Departemen PU,
Depdiknas) tidak menggunakan desa, melainkan menggunakan perdesaan dan
secara spesifik pembangunan perdesaan. Rencana Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Draft RPJPMN 2009-2014
serta UU No. 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 – yang merupakan karya besar
Bappenas – mempunyai satu chapter tentang Pembangunan Perdesaan, yang
lebih banyak bicara tentang perdesaan daripada desa. RPJMN dan RPJP ini
sama sekali tidak melihat desa ataupun masyarakat adat sebagai sebuah
entitas, basis dan hulu penghidupan dan kehidupan masyarakat. Di atas
semua itu, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut desa dan perdesaan.
Intinya, penggunaan dan praktik pembangunan perdesaan cenderung
mengabaikan makhluk bernama desa, yang di dalamnya terdapat kekuasaan,
manusia, komunitas, kultur, dan sebagainya. Sementara romantisme pada
desa juga terjerembab pada isu-isu lokal, yang mengabaikan pembangunan
perdesaan.
Kejadian serupa juga dialami oleh lahirnya dua RUU, yakni RUU Desa
(RUU-D) dan RUU Pembangunan Perdesaan (RUU-PP). RUU-D sudah berproses
sejak 2007, tetapi sampai akhir periode pemerintahan 2004-2009, ia belum
bisa disahkan dan revisi UU No. 32/2004 juga belum kelar. Penyebab
utamanya adalah belum terbangunnya kesepamahaman tentang posisi desa dan
interface antara desa dengan daerah, di kalangan pembuat keputusan di
Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah lebih
menghendaki desa menjadi bagian dari pengaturan tentang pemerintahan
daerah, sementara Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
(PMD) berupaya memperjuangkan UU Desa tersendiri agar desa menjadi lebih
kuat dan bertenaga secara ekonomi dan politik. Upaya untuk
mempertemukan dua institusi besar ini mengalami kesulitan yang luar
biasa.
Namun pembahasan RUU Desa sempat terhenti karena pada saat yang sama
DPR mengambil inisiatif untuk mengesahkan RUU Pembangunan Perdesaan,
yang akan disahkan pada akhir masa jabatan DPR periode 2004-2009. DPD
melakukan penolakan atas RUU Pembangunan Perdesaan karena secara
substansial naskah RUU tidak layak menjadi Undang-undang, serta
mengandung kontroversial berupa alokasi dana 20% APBN dan 20% APBD masuk
ke rekening desa. Sementara pemerintah mau tidak mau harus memberikan
respons atas inisiatif DPR itu, yakni Presiden menugaskan Menteri Dalam
Negeri, Menteri PU, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan untuk
melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
Konsep Dasar
Tulisan ini beranggapan bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai
perbedaan seperti terlihat dalam bagan 1, tetapi keduanya tidak bisa
dipisahkan satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural village),
sebagai pintu masuk, basis, locus dan hulu semua masalah. Termasuk
sumber masalah urbanisasi dari desa ke kota. Bagan 1 itu menunjukkan 4
unit pemerintahan yang diklasifikasi menjadi dua garis, yakni garis
vertikal atau garis pemerintahan, yang menggambarkan hirarkhi
pemerintahan antara desa dan daerah. Sedangkan garis horizontal
merupakan garis pembangunan atau arah modernisasi, yang menghasilkan
konsep perdesaan dan perkotaan. Konsep desa menunjuk pada kesatuan
masyarakat hukum lokal (local village) yang mempunyai wilayah, tata
kuasa, pemerintah, rakyat dan masyarakat. Perdesaan sebenarnya menunjuk
pada desa-desa di pedalaman atau kawasan bentang alam dan ekonomi
beberapa desa atau lintasdesa dalam lingkup daerah.
Pembicaraan tentang desa dan pembangunan perdesaan tentu yang paling
dasar berada pada kuadran desa (3) dan lebih luas lagi berada di kuadran
kabupaten (3). Meskipun kabupaten dan kota sama-sama merupakan daerah
otonom, tetapi keduanya berbeda dari sisi pertumbuhan ekonominya.
Kabupaten pada umumnya mempunyai desa-desa dalam jumlah besar dan
bercorak agraris, yang menghadapi keterbatasan input, proses dan output
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya kota cenderung mengalami surplus
pertumbuhan, dimana di setiap titik menjadi sumber pertumbuhan, tetapi
masalah seriusnya adalah dampak (impact) pertumbuhan, misalnya dalam
bentuk ledakan penduduk, segregasi sosial, sampah, lingkungan yang
buruk, slum, pengemis jalanan, kejahatan, ketidaktertiban dan
sebagainya.
Bagan 1 Konsep dasar
Berdasarkan gambar itu juga, saya sebenarnya tidak membedakan secara
tegas antara pembangunan perdesaan dan pembangunan desa, tetapi saya
membuat level yang berbeda: yakni “desa membangun” (local development)
yang bekerja di dalam desa (atau desa tunggal) dan “membangun desa”
(rural development) yang bekerja di ranah banyak desa (desa jamak) atau
di ranah daerah. Yang lebih tinggi lagi adalah regional development yang
mencakup antar kabupaten/kota dan national development yang mencakup
antarprovinsi.
Seperti terlihat dalam tabel 1, konsep “desa membangun” terkait
dengan penguatan otonomi desa atau membuat desa mandiri, yang di
dalamnya mengharuskan transfer kekuasaan dan kewenangan kepada desa,
sekaligus juga memperkuat inisiatif dan kapasitas desa. Dilihat dari
skalanya, “desa membangun” secara mandiri tersebut berada pada skala
desa, yang kemudian direncanakan dengan perencanaan desa (village self
planning) dan dibiayai dengan APBDes.
Tabel 1 Perbedaan Konsep “membangun desa” dan “desa membangun”
Item/Isu | Membangun Desa | Desa Membangun |
Pintu masuk | Perdesaan | Desa |
Pendekatan | Functional | Locus |
Level | Rural development | Local development |
Konsep-konsep terkait | Rural-urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan, | Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, dll. |
Level, skala dan cakupan | Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa.Contohnya adalah kecamatan sebagai small town. | Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa |
Skema kelembagaan | Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. | UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. |
Pemegang kewenangan
|
Pemerintah daerah
|
Desa (pemerintah desa dan masyarakat)
|
Tujuan | Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan | Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta membangun desa yang mandiri |
Peran pemerintah daerah | Merencanakan, membiayai dan melaksanakan | Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa |
Peran desa | Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan | Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan |
Hasil | • Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik • Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota. • Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dll. | • Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga • Satu desa mempunyai produk ekonomi unggulan (one village one product) |
Perbedaan antara “membangun desa” dan “desa membangun” juga berkaitan
dengan pembagian kerja antar level pemerintahan. Konsep “desa
membangun” berarti sebagai local development yang secara mandiri
dikelola oleh desa. Pemerintah supradesa sebaiknya tidak menjadi pemain
langsung dalam ranah “desa membangun”, meskipun menggunakan
program-program pemberdayaan dan skema dana Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM).
Perbandingan Dua RUU
Substansi secara umum RUU Desa dan RUU Pembangunan Perdesaan
(Bangdes) dapat dilihat dalam tabel 2; dan analisis kelebihan maupun
kekurangan dua RUU itu disajikan dalam tabel 3. Pada dasarnya kedua RUU
itu berupaya masuk ke ranah desa, mengatur dan bahkan memperbaiki
kondisi desa. Tetapi keduanya mempunyai fokus dan pintu masuk yang
berbeda.
RUU Bangdes masuk ke ranah desa dengan fokus isu pada pembangunan
perdesaan. Salah satu hal positif adalah bahwa RUU ini didasarkan pada
kenyataan dan konteks bahwa desa maupun kawasan perdesaan mengalami
kemiskinan dan keterbelakangan akibat dari pembangunan yang
bias kota.Karena itu RUU ini merupakan bentuk kebijakan afirmatif
terhadap desa. Poin ini yang tampaknya kurang menjadi perhatian bagi RUU
Desa. Dengan demikian, RUU Bangdes sebenarnya merupakan upaya afirmatif
pemerintah untuk “membangun desa” guna mengatasi masalah kemiskinan,
keterbelakangan dan ketertinggalan yang melekat pada desa.
RUU Bangdes menegaskan bahwa tujuan pembangunan perdesaan adalah
mewujudkan perdesaan yang maju, adil, makmur, dan sejahtera. Kalimat ini
menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah yang diintervensi pembangunan
perdesaan adalah desa sebagai entitas yang menyeluruh, atau hanya
perdesaan sebagai bagian kecil dari desa? Apakah konsep “maju” berarti
sebagai upaya membawa perubahan dari perdesaan menjadi perkotaan? Kenapa
dalam tujuan itu tidak menyantumkan tujuan mencapai desa yang mandiri?
Apa ukuran makmur dan sejahtera? Bagaimana paradigma dan pendekatan yang
akan digunakan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan?
Berbagai pertanyaan ini tentu tidak terjawab dengan baik karena
naskah RUU tidak disertai dengan Naskah Akademik. Pembaca RUU ini pasti
akan terus bertanya tentang sistem berpikir (system of thinking)
pembangunan perdesaan (rural development). Mengapa? Bagaimanapun
pembangunan perdesaan bukan hal baru di Indonesia, dan agenda
pembangunan itu digerakkan oleh pilihan-pilihan sistem pemikiran
(paradigma) untuk mengarahkan apa, siapa dan bagaimana pembangunan
perdesaan. Pada tahun 1970-an, kita mengenal integrated rural
development yang digerakkan negara (state driven rural development),
yang berhasil mengubah wajah fisik desa. Pada akhir tahun 1980-an,
pemerintah Indonesia melakukan perubahan dari pembangunan desa menjadi
pembangunan masyarakat desa yang dibimbing dengan paradigma community
based rural development. Pada dekade 1990-an, kalangan akademik dan
lembaga-lembaga donor memperkenalkan sustainable rural livelihood dan
juga sustainable rural development. Sejak akhir 1990-an hingga sekarang,
pemerintah Indonesia bersama Bank Dunia menjalankan agenda pembangunan
perdesaan dengan bimbingan paradigma community driven development
melalui Program Pengembangan Kecamatan dan sekarang Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Tabel 2 RUU Bangdes vs RUU Desa
No
|
Item
|
RUU Bangdes
|
RUU Desa
|
1. | Cantolan konstitusi | Pasal 20, 21, dan 33 UUD 1945. | Pasal 18 UUD 1945 |
2. | Posisi dalam sistem pemerintahan | Mengatur pembagian kerja pusat, daerah dan desa dalam pembangunan perdesaan. Tetapi posisi RUU ini lepas dari sistem pemerintahan, misalnya tidak menyebut azas desentralisasi, dekonstrasi atau tugas pembantuan. | Menyatu dalam sistem pemerintahan, hendak mempertegas posisi desa dalam sistem pemerintahan.Mengutamakan azas rekognisi dan subsidiaritas, yang berbeda dengan desentralisasi. |
3. | Makna | Kebijakan afirmatif terhadap ketertinggalan desa | Memperjelas kedudukan desa, sekaligus reformasi ast dan akses desa. |
4. | Tujuan | Mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa dan meningkatkan peran masyarakat desa dalam setiap tahapan pembangunan dengan tetap menjamin terpeliharanya adat istiadat setempat. | Menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera |
5. | Konsep | Membedakan dengan tegas pengertian “desa” dan “perdesaan”, tetapi linkage dan pembedaan keduanya belum tegas. | Desa sebagai entitas basis penghidupan dan kehidupan masyarakat. Perdesaan sebagai bagian kecil dari entitas itu. Tetapi isu pembangunan perdesaan kurang memperoleh perhatian. |
6. | Isu-isu utama | Pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia perdesaan; sistem pembangunan perdesaan (perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pengawasan), peran pemerintah dan desa, pemberdayaan masyarakat | Kedudukan, keragaman, pembentukan desa, kewenangan, susunan pemerintahan, perencanaan pembangunan, keuangan, lembaga kemasyarakatan, dan sebagainya |
7. | Nilai utama | Kemajuan | Kemandirian (otonomi) |
8. | Pelaku | Pemerintah desa dan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan perdesaan, yang didukung oleh daerah dan pusat. | Pemerintah desa dan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. |
9. | Perencanaan | Perencanaan dilakukan oleh pemerintah desa lalu dibawa naik ke atas untuk memperoleh pengesahan. | Perencanaan dilakukan oleh pemerintah desa bersama masyarakat, ditetapkan dengan Perdes. |
10. | Pembiayaan | 20% APBN, 20% APBD masuk ke rekening desa. | Alokasi Dana Desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah dan PADes. |
Pertanyaannya, RUU Bangdes mengikuti paradigma apa? Bagaimana
keterkaitan RUU ini dengan pendekatan dan pengalaman community driven
development yang kini tengah dijalankan oleh pemerintah? Bagaimana pula
keterkaitan ide pembangunan perdesaan yang tertuang dalam RUU ini dengan
agenda penanggulangan kemiskinan yang kini tengah gencar dijalankan
oleh pemerintah?
Baik tujuan dan ruang lingkup dalam RUU Bangdes tidak menjawab semua
pertanyaan itu. RUU ini mengidentifikasi cakupan bangdes secara klasik,
yakni mencakup pembangunan fisik dan nonfisik. Pembangunan fisik
diidentifikasi secara detail meliputi pembangunan sarana dan prasarana
fisik, mulai dari pemerintahan, insfrastruktur hingga sanitasi.
Sedangkan pembangunan nonfisik mencakup pembangunan SDM dan kelembagaan
usaha dan sosial masyarakat. Uraian tentang pembangunan fisik dan
nonfisik itu sungguh dangkal dan bahkan menyesatkan. Pertama, kata fisik
itu berarti semakin melagalkan dan memperkuat pembangunan desa yang
selama ini bias fisik, yang kurang sensitif terhadap dimensi-dimensi
pembangunan yang lebih luas.
Pertanyaannya, apakah cakupan fisik dan nonfisik itu mampu mencapai
tujuan kemajuan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan? Jawabnya:
tidak. Mengapa? Masalah dasar yang dihadapi warga masyarakat desa adalah
keterbatasan-ketimpangan aset dan akses. Karena itu jika hendak
mencapai kesejahteraan, maka pembangunan perdesaan harus mampu
memperbaiki aset-akses masyarakat desa. Aset berbicara tentang
kepemilikan warga terhadap sumber-sumber produksi: tanah, hutan, kebun,
uang, lumbung pangan, air, dll. Akses berbicara tentang kesempatan dan
kemampuan warga untuk memperoleh informasi, terlibat dalam pembuatan
kebijakan, layanan publik yang baik dan terjangkau, dukungan modal,
lapangan pekerjaan, dll. Kesempatan warga desa memperoleh pekerjaan,
misalnya, merupakan sebuah isu krusial yang memungkinkan mereka
mempunyai aset, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kualitas hidup
mereka. Selama ini banyak proyek pemerintah yang berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan seperti PPK dan
PNPM tidak secara signifikan mengangkat taraf hidup warga desa karena
proyekproyek itu bukanlah investasi sosial-ekonomi yang membuka lapangan
pekerjaan secara berkelanjutan.
Konsep “fisik” itu sebenarnya hanya instrumen, tetapi RUU Bangdes
menjadikannya sasaran untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, gedung SD
adalah instrumen, sasaran sebenarnya adalah kualitas pendidikan warga.
Karena itu RUU Bangdes itu sebaiknya mencakup sasaransasaran substantif
yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup warga masyarakat desa secara
berkelanjutan. Untuk mencapai sasaran ini, konsep pembangunan perdesaan
berkelanjutan (sustainable rural development) mencakup beberapa sasaran
yang menyeluruh: pembangunan ekonomi lokal, pembangunan sosial,
pembangunan politik dan pemberdayaan masyarakat.
Tabel 3 Kelebihan dan Kekurangan Dua RUU
RUU Bangdes | RUU Desa | |
Kelebihan | • Sebagai kebijakan afirmatif pemerintah untuk “membangun desa” dan memacu pertumbuhan desa yang selama ini tertinggal. • Menonjolkan pembangunan perdesaan (rural development) yang lebih besar, meskipun secara konseptual belum lengkap. • Ada komitmen distribusi dan alokasi dana yang lebih besar kepada desa, sehingga diharapkan bisa menggerakkan ekonomi desa dan mengurangi urbanisasi. | • Menempatkan desa sebagai entitas yang menyeluruh. • Memperkuat desa (kedudukan, otoritas, keragaman, kemandirian, tata pemerintahan, inisiatif lokal). • Memperkuat semangat dan pendekatan “desa membangun” yang menempatkan desa sebagai subyek dan basis kehidupan |
Kekurangan | • Cakupan substansinya parsial. Lebih fokus pada perencanaan dan uang. • Perdesaan mempunyai cakupan luas (kawasan yang mempunyai kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi) tetapi cakupan pembangunan perdesaan hanya infrastruktur dan sumberdaya manusia. • Tidak menyatu (integrated) dengan sistem pemerintahan, sehingga bisa menimbulkan benturan • Mengabaikan domain pemerintahan, padahal pembangunan dan aliran dana selalu dikerangkai dengan governance. Tidak adanya kejelasan tentang batas-batas kewenangan desa, maka rencana pembangunan perdesaan bisa menimbulkan benturan dengan kewenangan kabupaten/kota, mengingat perdesaan mempunyai cakupan lintas desa. • Alokasi dana 20% dari APBN tidak fisibel dan membuat pemerintah tidak memiliki descretionary dalam penggunaan anggaran. | • Lebih banyak mengatur tentang pemerintahan desa (village governance), khususnya kekuasaan pemerintah desa. • Kurang memperhatikan aspek kewajiban pemerintah dalam “membangun desa” (rural development), yakni tindakan pemerintah melancarkan pembangunan desa yang berkelanjutan. • Pembangunan kawasan perdesaan disebut dalam konteks partisipasi masyarakat di dalamnya. Artinya desa hanya sebagai komplemen dalam pembangunan perdesaan. RUU ini tidak mewajibkan pemerintah untuk melancarkan pembangunan perdesaan guna mengurangi kebijakan pembangunan yang bias kota. • Alokasi dana desa sangat kecil atau hanya sisa sisanya dari kabupaten/kota. |
Selain itu RUU Bangdes juga mengandung beberapa poin kritis dan kelemahan:
a. Cakupan substansinya parsial, yang belum mencakup seluruh
dimensi yang ada dalam kerangka tabel 1. Konsep “desa mandiri” misalnya,
selama ini menjadi aspirasi dan wacana yang berkembang di level desa,
daerah dan nasional. Tetapi konsep ini kurang diperhatikan oleh RUU
Bangdes.
b. Perdesaan mempunyai cakupan luas (kawasan yang mempunyai
kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, dan pengelolaan
sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi).
Namun cakupan pembangunan perdesaan hanya mengarah pada perbaikan
infrastruktur dan sumberdaya manusia.
c. Pembangunan tentu tidak bisa berdiri sendiri dan tidak terpisah
dari pemerintahan (governance), sebab pembangunan sebenarnya merupakan
kegiatan pembangunan yang melibatkan negara, swasta (pasar) dan
masyarakat.
d. RUU Bangdes tidak membedakan secara jelas antara konsep
“membangun desa” dan “desa membangunan”, yang kedua konsep ini terkait
dengan posisi dan kewenangan desa dengan pemerintah supra desa.
e. Alokasi dana 20% dari APBN menimbulkan masalah serius, bisa
bertabrakan dengan UU lain dan tampaknya tidak fisibel. Alokasi yang
ditentukan secara fixed seperti itu membuat pemerintah tidak memiliki
descrionary dalam penggunaan anggaran.
Sementara RUU Desa hendak mencakup tiga isu besar (pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan) secara menyeluruh. RUU Memperkuat desa
(kedudukan, otoritas, keragaman, kemandirian, tata pemerintahan,
inisiatif lokal), juga memperkuat semangat dan pendekatan “desa
membangun” yang menempatkan desa sebagai subyek dan basis kehidupan
masyarakat desa. Tetapi RUU ini lebih banyak berbicara tentang
pemerintahan, sehingga kurang menaruh perhatian secara afirmatif
terhadap isu keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan desa
sebagaimana ditekankan oleh RUU Bangdes. Dengan kalimat lain, RUU Desa
kurang memperhatikan aspek pembangunan perdesaan (rural devvelopment)
atau “membangun desa”, kecuali hanya menyebutkan tentang partisipasi
masyarakat desa dalam pembanguna kawasan perdesaan yang dijalankan oleh
pemerintah maupun pihak ketiga. Substansi dan kewajiban pemerintah
“membangun desa” kurang diperhatikan. Selain itu, alokasi dana desa
terlalu kecil dan bersifat residual (sisa sisanya) dari kabupaten/kota.
Beberapa Usulan
- Desa lebih baik ditransformasikan dari sekadar sebuah “asbak” yang menampung semua jenis puntung rokok menjadi ujung tombak pemerintahan yang paling bawah dan paling dekat dengan masyarakat. Untuk menjadi ujung tombak, maka desa perlu kewenangan, perencanaan, sistem administrasi yang lebih baik, keuangan yang memadai, kapasitas pemerintah dan lembaga-lembaga desa. Menjadi ujung tombak berarti desa mempunyai fungsi regulasi, pelayanan publik dan pemberdayaan kepada masyarakat, termasuk menyiapkan dan menggerakkan spirit “desa membangun”.
- Model BLM untuk mendukung “desa membangun” lebih baik diubah menjadi alokasi (atau ADD) satu pintu yang masuk ke dalam APBDes secara berkelanjutan. Untuk urusan “desa membangun” ini sebenarnya pemerintah pusat (departemen-departemen sektoral) tidak perlu masuk ke ranah lokal dengan berbagai judul program dan dengan skema BLM. Kalau semua BLM ini dikumpulkan maka bisa menjadi ADD yang jauh lebih besar. APBDes desa yang semakin besar akan berguna untuk menyiapkan dan menjalankan rencana skala desa secara partisipatif dan terkontrol. Ini juga menjadi ajang pemberdayaan dan pembelajaran bagi pemerintah desa dan masyarakat.
- Pendekatan “membangun desa” dan “desa membangun” sebaiknya terintegrasi sehingga bisa komprehensif dan mampu mencapai desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Konsep “desa membangun” terkait dengan penguatan otonomi desa atau membuat desa mandiri, yang di dalamnya mengharuskan transfer kekuasaan dan kewenangan kepada desa, sekaligus juga memperkuat inisiatif dan kapasitas desa. Dilihat dari skalanya, “desa membangun” secara mandiri tersebut berada pada skala desa, yang kemudian direncanakan dengan perencanaan desa (village self planning) dan dibiayai dengan APBDes.
- Pemerintah sebaiknya melakukan migrasi dari ranah “desa membangun” dalam lingkup desa (local village) dengan BLM menuju ranah “membangun desa” (rural development) di kawasan perdesaan. Pendekatan membangun desa bukan pemberdayaan (atau memberi pancing), tetapi membangun “kolam” dan menabur “benih ikan” sebanyak mungkin di kawasan perdesaan. Ini akan menggerakkan ekonomi lokal yang berbasis pada sumberdaya lokal dan membuka lapangan pekerjaan baru secara berkelanjutan. Lebih baik lagi, model ini ditempuh misalnya dengan membangun semacam collective farming dengan pola shareholding, yang melakukan bagi hasil farming itu kepada pemerintah, desa, pemodal dan juga tenaga kerja. Cara-cara lama dalam bentuk menyewa atau membeli tanah dan eksploitasi buruh lebih baik ditinggalkan.
- Untuk mendukung upaya “membangun desa” atau membangun kolam-kolam di kawasan perdesaan tentu memerlukan perubahan dalam hal politik anggaran, dari model fragmented budget yang disebar merata ke banyak kelompok masyarakat menuju model consolidated budget yang utuh untuk investasi membangun kolam ikan itu.
- Kedepan sebaiknya RUU Bangdes dan RUU Desa digabung menjadi satu, yang di dalamnya berisi dan berorientasi pada penguatan pemerintahan desa (village government), pembangunan perdesaan (rural development) dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Alokasi dana yang selama ini bias pada urban development sebaiknya dipindahkan untuk memperkuat rural development (level daerah) dan local development (level desa). Di dalam naskah RUU sebaiknya ditegaskan tentang tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengembangkan rural development (membangunan desa) yang didukung pengembangan kapsitas dan anggaran oleh pemerintah pusat. Juga ditegaskan tentang tanggungjawab desa dalam mengembangkan local development (desa membangun) yang sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya.
_____________________
Makalah disampaikan dalam Seminar “Bergerak Menuju
Desa dan Bergeral Dari Desa” Dies ke-44 Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, 16 November 2009.
Drs. Sutoro Eko adalah Dosen Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”, aktif sebagai
anggota Tim Pakar Revisi UU No. 32/2004 Departemen Dalam Negeri,
khususnya mempersiapkan RUU Desa. Juga terlibat sebagai anggota Tim
Pemerintah dalam pembahasan RUU Pembangunan Perdesaan.