Problematika Desa Dalam Konteks Pembangunan Dan Globalisasi
Oleh :
Drs. Fajar Sudarwo, M.Si
Drs. Fajar Sudarwo, M.Si
Bagaikan mimpin di siang bolong mengharap angka
kemiskinan di desa berkurang dalam kondisi tata kelola desa yang ambrul
adul, pembangunan yang berbasis kebutuhan dan globalisasi yang
menghancurkan kehidupan pertani.
Keberadaan DESA di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya sudah
ada sejak Pemerintah Republik Indonesia belum berdiri. Desa adalah
merupakan suatu wilayah kesatuan hukum berdasarkan kesejarahan dan adat
istiadat masyarakat. Kerajaan yang peranah ada di Jawa mengakui desa
sebagai wilayah kesatuan hukum dibawah naungan kerajaan. Status dan
keberadaan desa pada masa kerajaan mengacu kepada ”Buku Kertagama” dan
”Serat Wulangreh”. Ketika masa pemerintahan Hindia Belanda, desa juga
diakui sebagai satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat
yang mempunyai kedaulatan. Oleh karena itu pada pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, dibuatlah undang undang tentang desa, yaitu IGO (Islandsche Gemeente-Ordonnantie) tanggal 13 Februari 1906 untuk desa desa di wilayah Jawa dan Madura dan IGOB (Hogere Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten) untuk
desa di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Agar Pemerintah
Hindia Belanda tidak terlalu mengintervensi tata aturan internal desa,
maka Prof. Van Vollenhoven menulis paper peringatan berupa kritik
terhadap IGO dan IGOB, sehingga Volksraad (semacam DPR Pemerintah
Hindia Belanda) pernah menolak undang undang tersebut, karena dianggap
pemerintah Hindia Belanda akan mencampuri urusan tata kelola desa.
Keberadaan desa sebagai wilayah kesatuan hukum yang berdaulat juga
diakui secara sosial-politik oleh Pemerintah Jepang pada waktu menduduki
wilayah Hindia Belanda.
Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam
Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19
(2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo(Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan. Selanjutnya pada jaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung,
dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang ini,
Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan
perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan,
Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas
rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak,
padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang terdiri
dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi
Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).
Pada saat Negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan. Hal itu tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, dimana posisi desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesia, Dusun/RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa. Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan pengayom kehidupan warga, maka untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Karena undang-undang tersebut dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi; (a) Desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesi; (b) RT/Dusun masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada diwilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Undang undang tentang desa tersebut kemudian diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legetimasi hukum yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang Undang Desa Nomor 19 Tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa adalah merupakan pemerintahan Swapraja yang mempunyai kelengkapan kelembagaan demokrasi: Eksekutip (Kepala Desa besarta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa / Gotong Royong); dan Mahkamah Desa / Adat (Para sesepuh dan pemangku adat).
Pada saat Negara Republik Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tahun 1945, desa menjadi tulang punggung negara dan bangsa untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya untuk melindungi warganya dari kemiskinan dan kebodohan. Hal itu tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945, dimana posisi desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesia, Dusun/RT masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa. Begitu pentingnya desa sebagai perangkat negara yang paling riil sebagai institusi pelindung dan pengayom kehidupan warga, maka untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Karena undang-undang tersebut dianggap tidak sempurna maka pada tanggal 10 Juli 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 22 yang berisi; (a) Desa adalah merupakan satu kesatuan wilayah hukum berdasarkan adat istiadat yang berkedaulatan dalam wilayah pemerintahan republik indonesi; (b) RT/Dusun masih tetap dipertahankan sebagai bagaian dari desa; (c) Desa merupakan pemerintahan administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Pada tahun 1957, posisi kedaulatan desa diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 dimana desa merupakan pemerintahan otonom yang mengatur warga yang ada diwilayah otoritas hukum administrasi tingkat ketiga setelah pemerintahan kabupaten dan pemerintahan propinsi. Undang undang tentang desa tersebut kemudian diperkuat oleh keluarnya UU No 18 Tahun 1965. Desa pernah mendapat perhatian dan kehormatan sosial politik dan legetimasi hukum yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dengan keluarnya Undang Undang Desa Nomor 19 Tentang Desa Swapraja, dimana posisi desa adalah merupakan pemerintahan Swapraja yang mempunyai kelengkapan kelembagaan demokrasi: Eksekutip (Kepala Desa besarta Pamong Desa); Legislatif (DPRDesa / Gotong Royong); dan Mahkamah Desa / Adat (Para sesepuh dan pemangku adat).
Posisi desa sebagai ”desa swapraja” benar benar memberi peran desa
sebagai pembangkit karakter warga yang mandiri dan tidak ”bermental
miskin”. Pengaturan tata kelola desa sungguh sungguh sempurna yang
memenuhi asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Alokasi
penggunaan kekayaan desa yang berupa tanah desa digunakan untuk
pengentasan ”kemiskinan” warga desa. Hal itu tercermin pada alokasi
penggunaan tanah desa untuk enam sektor penting, yaitu : (1) Tanah titi sara; adalah tanah desa yang digunakan untuk bentuan sosial bagi warga yang sedang menderita atau terkena bencana. (2) Tanah peguron; adalah tanah desa yang hasilnya digunakan untuk biaya pendidikan anak anak desa. (3) Tanahsengkeran:
adalah tanah desa yang digunakan untuk tempat penangkaran bibit /
tanaman yang dilindungi dan penyeimbang ekosisitem lingkungan alam. (4)
Tanah segahan; adalah tanah desa yang hasilnya untuk biaya komunikasi, loby dan membangun kerja sama. (5) Tanah pangon; adalah tanah desa yang digunakan untuk ruang publik dan penggembalaan hewan. (6) Tanah pelungguh; adalah tanah desa yang hasilnya untuk memberi honor para eksekutif, legislatif dan yudikatif desa.
Sayangnya masa kejayaan desa dalam kemandiriannya untuk membangkitkan
karakter warga yang swadaya, swakarya, swadana dan swasembada tidak
lama. Sebab pada penghujung tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30
September 1965 terjadi gejolak politik nasional yang sering diingat
dengan sebutuan G 30 S PKI. Kehidupan desa beserta tatanannya ikut
”hancur” terkena imbasnya gejolak politik tersebut. Sehingga hanya
sebagaian desa di Indonesia yang sempat mengenyam berlakuknya UU Desa
Swapraja. Desa yang sempat menerapkan desa swapraja adalah desa-desa di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, karena konon penggagas desa swapraja
adalah Almarhum Sultan Hamengku Buwana IX. Sejak saat itu kehidupan
desa bagaikan ”mati” tidak ada kehidupan tata kelola pemerintahan desa.
Apalagi dengan keluarnya Maklumat Politik Orde Baru Nomor 6 tahun 1969
yang mencabut dan tidak memberlakukan seluruh perundang undangan dan
peraturan tentang desa. Dengan demikian desa tidak mempunyai legitimasi
sosial, politik dan hukum sama sekali, maka kehidupan desa bagaikan
”anak ayam kehilangan induknya”, tidak mempunyai pegangan dan legitimasi
sosial polik apapun dari negara. Baru pada tahun 1974 melalui UU Nomor 5
Tahun 1974, desa diposisikan sebagai bagaian yang tidak terpisahkan
dengan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dengan Pemerintah Pusat.
Posisi desa yang merupakan bagaian melekat dengan Pemerintah Daerah
dikuatkan lagi dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1979. Posisi desa
seperti itu menjadikan tata pemerintahan desa hanya sebagai ”perangkat”
pemerintah daerah bukan sebagai ”pengayom” dan ”pengemong” atau bukan lagi sebagai fasilitator warga desa.
Posisi sosial, politik dan hukum desa berdasarkan UU No 5 Tahun 1974
dan UU No 5 Tahun 1979 yang dilandasi oleh maklumat politik Orde Baru
No 6 Tahun 1969 mempunyai implikasi terhadap perubahan tata kelola desa.
Sebab undang undang tersebut memberi mandat bahwa pengelolaan
pemerintahan desa dan pembanguan desa bukan lagi utuh menjadi hak dan
kewenangan desa namun merupakan hak dan kewenangan pemerintah daerah
dibawah arahan pemerintah pusat. Desa bukan lagi sebagai subyek namun
sebagai objek berbagai project pembangunan pemerintah pusat melalui
pemerintah daerah. Institusi desa diposisikan sebagai wilayah
administrasi pemerintah daerah yang ”taat” dan ”patuh” menerima
”kehendak baik” berupa berbagai bentuk bantuan dan subsidi dari
pemerintah pusat melaui pemerintah daerah. Bahkan desa pernah menjadi
”alat’ untuk memperoleh project project bantuan, hal ini terjadi pada
kasus program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan JPS (Jaring Pengaman
Sosial). Kemiskinan dan kesulitan warga bukan menjadi bagian yang harus
diselesaikan oleh desa, namun merupakan modal sosial desa untuk
memperoleh project bantuan dan program pembangunan dari pemerintah.
Akibatnya pamong desa berubah dari fungsi ”pengayom” dan fasilitator
warga menjadi perangkat administrasi pemerintah untuk: (1) mendata
kebutuhan, kekurangan dan kemiskinan warga untuk diusulkan mendapatkan
project bantuan (2) Menginfromasikan dan mendistribusikan bantuan dari
pemerintah untuk warga. (3) membantu pemerintah menarik Pajak Bumi
Bangunan dan ada juga yang membantu Kantor Pos untuk menyampaikan surat
yang ditujukan untuk warganya.
Ketika era reformasi ”melengserkan” Rezim Orde Baru tahun 1988/1999,
posisi sosial, politik dan hukum tentang desa mendapat ”angin segar”,
yaitu keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang undang tersebut memberi
posisi desa hampir mendekati dengan UU No 19 tahun 1965 dimana desa
mempunyai legislatif (Badan perwakilan Desa) dan Eksekutif (Kepala Desa
besarta pamong desa), sayangnya UU 22/1999 tidak memberi mandat desa
untuk mempunyai badan Yudikatif desa seperti UU 19/1965. Walaupun tidak
ada Badan Yudikatif desa pada mandat yang diberikan oleh UU 22/1999,
namun sudah cukup memberi hak, kewenangan dan tanggung jawab desa untuk
mengelola pemerintahan dan pembangunan desa secara berdaulat.
Pelaksanaan UU 22/99 terseok-seok bagaikan ”nafsu besar tenaga kurang”,
semangat desa mempunyai hak dan kewenangan tidak diimbangi dengan
karakter dan ketrampilan mengelola pembiayaan pemerintahan dan
pembanguan desa secara mandiri. Hal itu terlihat dari komposisi APBDesa
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) sebagian desa masih
menggantungkan pendapatan desa dari pasokan pemerintah melalui dana ADD
(Alokasi Dana Desa). Konsekuensi logis dari pendapatan desa yang masih
mendapat pasokan dari pemerintah pusat melalui pemerintah daerah,
akhirnya proses kemandirian desa terciderai dengan berbagai ”arahan”
penggunaan dana ADD dari pemerintah daerah. Kondisi dan situasi tersebut
menjadi salah satu pendorong pemerintah untuk mengeluarkan UU Nomor 32
Tahun 2004. Dimana posisi politik dan hukum tentang desa merupakan
bagian integral dari otonomi daerah. Hal ini diperkuat status sekertaris
desa adalah PNS, sementara Kepala Desa besarta pamong desa mendapat
insentif untuk menambah pendampatan dari pemerintah daerah, dan tanah
desa di beberapa Kabupaten dikelola oleh pemerintah desa. Di pihak warga
desa sendiri karakter sebagai penikmat ”bantuan” dan ”project” masih
cukup besar walaupun harus mengorbankan kebesaran dirinya yang harus
merelakan dirinya menyandang label ”orang miskin”. Konsepsi miskin
bukan lagi aib yang harus dilepas dari dirinya namun sebagai ”identitas
administrasi” untuk persyaratan mendapat bantuan dari pemerintah. Konon
pada tahun 1970-an, ketika Rezim Orde Baru meminta para kepala desa
untuk mendata orang miskin, banyak kepala desa yang tidak
mendapatkannya. Karena tidak ada satupun warga yang mau didaftar sebagai
orang miskin. Namun saat ini banyak kasus warga yang marah kepada
Kepala Desa karena dirinya di hapus atau di coret dari daftar sebagai
orang miskin.
Angka kemiskinan di desa tidak semakin berkurang, namun justru
kemungkinan akan semakin bertambah, disamping karena persoalan diatas,
juga karena program pembangunan desa yang dilakukan pada era reformasi
masih mengalami kegagalan seperti program pembangunan desa yang
dilakukan oleh rezim orde baru. Kegagalan pembanguan pembangunan desa
oleh dua rezim tersebut ada kesamaan kesalahan substansial walaupun
dengan proses berbeda. Kesalahan substansial pembangunan desa yang
dilakukan oleh rezim orde baru maupun rezim reformasi adalah sama sama
tidak berorientasi kepada pembentukan karakter diri manusia yang nick-preneurship and social-entrepreneurship. Beda
prosesnya adalah pembangunan desa yang dilakukan oleh rezim orde baru
adalah dengan proses top-down dan yang dilakukan oleh rezim reformasi
adalah bottom-up based on the needed. Dua bentuk proses
tersebut sama sama keluar dari prinsip prinsip pemberdayaan masyarakat.
Sebab dua proses tersebut masih pada tataran memberi ”padat asupan”
terhadap desa. Prinsip dasar pemberdayaan adalah merupakan proses ”sunatullah atau natural law” seperti analogi hubungan manusai dengan Tuhan Allah. ”Ketika
manusia berdoa meminta kekuatan tuhan tidak memberi tulang besi dan
kulit tembaga, namun justru manusia diberi beban agar dapat menumbuhkan
kekuatan. Ketiak manusia bedoa meminta kecerdasan, tuhan tidak memberi
teks dan buku kunci kuncinya namun manusia justru diberi berbagai
persoalan dan kerumitan agar bisa menumbuhkan kecerdasan. Ktika manusia
berdoa meminta kekayaan, tuhan tidak langsung memberi harta beda, namun
diberi modal kesempatan hidup dan kesehatan agar dapat dijadikan peluang
berusaha dan bekerja”. Pembangunan yang dilakukan oleh rezim
reformasi justru lebih parah keluar dari prinsip pemberdayaan tersebut,
karena gaya politik kepemimpinannya tidak otoriter namun ”menebar
peson”. Tebar pesona itu tercermin pada sikap nya terhadap rakyat,
yaitu; ketika rakyat butuh uang langsung diberi BLT (bantuan Langsung
Tunai), ketika rakyat butuh beras langsung diberi RASKIN, ketika rakyat
butuh biaya kesehatan langsung diberi ASKES dan ketika rakyat butuh
biaya pendidikan langsung diberi BOS. Sikap kepemimpinan otoriter dan
penebar pesona sama sama membentuk dan melahirkan masarakat yang tidak
mandiri dan bermental ”miskin”.
Nasib kemiskinan warga desa yang sebagaian besar petani kenyataannya
tidak Cuma akibat ambrul adulnya tata kelola desa dan hancurnya
karakter/ kapasitas individu petani, lingkungan alam lokal, dan
kebijakan nasional saja tetapi ada hubungannya dengan perkembangan dunia
yang telah mengglobal. Kita ingat bahwa nasib petani Indonesia mulai
dicampurtangani globalisasi sejak tahun 1757 oleh VOC Vereenigde Oost indische Compagnie (Perserikatan
Perusahaan Hindia Timur) di Jawa. Sejak itu sebetulnya petani sudah
menjadi bagian dunia global yang 60% nasibnya tergantung di tangannya.
Globalisasi secara umum merupakan bentuk keterbukaan dunia yang tidak
lagi tersekat oleh wilayah administrasi negara, ideologi, agama, kultur
budaya masyarakat dan keterpisahan geografi fisik tempat tinggal. Dunia
bisa terbuka karena dipercepat oleh perkembangan teknologi komunikasi
dan transportasi. Teknologi tersebut dapat menembus batas berbagai
sekat-sekat dunia manusia. Di satu sisi globalisasi dapat mempercepat
pencerahan dan menyebarnya nilai nilai universal yang dapat dinikmati
masyarakat dunia. Namun di sisi lain globalisasi telah mengakibatkan
korban jutaan manusia yang nasibnya semakin terpuruk.
Globalisasi sudah berlangsung dan tidak ada satu elemen kekuatan
apapun dari manusia yang dapat membendungnya. Karena globalisasi telah
menembus batas fisik, pikiran, sifat dan konsepsi hidup manusia dunia.
Secara fisik manusia bisa menghindari, namun secara konsepsi hidup yang
berupa pikiran, cita cita dan selera kehidupan sulit dihindari. Karena
penyebaran dan penularannya menggunakan proses penyadaran diri manusia
mulai lahir sampai di liang kubur.
Positipnya globalisasi bagi manusia dunia adalah berkembangnya nilai
nilai universal seperti; keadilan sosial, demokratisasi, pluralisme, hak
hak manusia, solidaritas antar warga dunia dll. Disamping itu manusia
dunia dapat menikmati berbagai pilihan fasilitas kehidupan mulai dari
yang manual sampai mesin. Namun globalisasi telah dipergunakan oleh
paham perdagangan dan industri untuk menyerap dan menghisap warga miskin
dunia untuk mengumpulkan keuntungan dan kekayaan bagi segelintir warga
kaya dunia. Dalam tulisan ini saya akan mempertajam sisi gelap dari
globalisasi bagi kehidupan pertanian di Indonesia umumnya dan Jawa
khususnya.
Pertanian dianggap menjadi sektor yang paling strategis bagi
perdagangan dan industri dunia. Sebab dengan menguasai sektor pertanian
dunia berarti bisa menguasai pangan dunia, dengan demikian kalau pangan dunia bisa
dikuasai maka seluruh elemen manusia dunia dapat direkayasa untuk suatu
kepentingan. Kenyataannya, penguasa perdagangan dan industri global
telah membuka TNC-TNC (Trans National Corporations) agribisnis raksasa di seluruh pelosok dunia.
Salah satu ciri agribinis raksasa adalah mengeluarkan habitat petani
dari kultur dan lingkungan alam ke mekanisme produksi dan pasar.
Secara radikal ada perubahan cara bertani dunia yang disebut revolusi
hijau, dimana seluruh budi daya dan alat produksi pertanian diganti
sebagai berikut. Pertama, Orientasi pertanian tidak
untuk kemakmuran petani dan pelestarian lingkungan tetapi untuk
meningkatkan produksi pertanian sebesar-besarnya. Kedua,
hasil pertanian bukan untuk mencukupi kebutuhan petani tetapi untuk
memenuhi kebutuhan pasar dunia, sehingga harga tidak ditentukan petani
tetapi ditentukan oleh pasar dunia. Ketiga, bibit tidak alami namun merupakan hasil rekayasa genetika antar varitas dan antar makhluk hidup yang ada. Keempat, pupuk tidak dari alam tetapi dari bahan kimia. Kelima, pengendalian hama tidak di kontrol dari ekosistem dan predator alami tetapi di berantas dari racun kimia. Keenam, alat produksi tidak dari manusia tetapi dari mesin. Ketujuh,
hasil produksi tidak diproduksi menjadi industri makanan rakyat, tetapi
menjadi bahan baku industri makanan rekayasa, sehingga terjadi
penguasaan pangan dunia oleh TNC yang merugikan petani khususnya dan
warga dunia pada umumnya.
Penguasaan TNC terhadap pemasaran produksi pangan sudah terbukti
dalam realitanya[3]. Contohnya Monsanto telah mendapat hak paten nomor
6.174.724 yang merupakan hak paten pertama untuk teknologi rekayasa
genetika untuk tanaman pangan. Sehingga Monsanto dengan kedele jenis
Round-up Ready mampu menghasilkan sekitar 143 juta ton pada tahun 2001
atau sekitar 80% produk dunia. Sementara perdagangan pisang dunia
dikuasai dua TNC besar yaitu Chiquita dan Dole Food. Kemudian 80% gandum
dunia hanya dikuasai oleh Cargil dan Archer Daniels Midland; tiga TNC
menguasai 83% kakao dan 70% perdagangan teh. (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)
Sementara untuk bibit / benih tanaman pangan dunia tidak lagi
dikuasai oleh petani, tetapi oleh TNC sebagai berikut: DuPont (Pioneer)
AS dengan total nilai penjualan U$ 1.938.000.000; Pharmacia (mosanto) AS
dengan total nilai penjualan US$ 1.600.000.000; Syngenta (Novartis)
Swiss pro forma dengan total nilai penjualan US$ 958.000.000; Grupo
Pulsar (Seminis) Meksiko dengan total nilai penjualan US$ 622.000.000.
Adapun TNC besar yang nilai penjualannya dibawah 500 juta US$ adalah;
advanta (AstraZeneca and Cosun) Inggris dan Belanda, Dow + Cargill North
Amerika, KWS AG Jerman, Delta and Pine Land AS, dan Aventis Perancis.
(sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)
Sementara untuk obat pemberantasan hama dikuasai oleh Glaxo dengan
marjin profit 30,9%; Smit Kline Beecham dengan marjin profit 25,1%; Merc
and Co dengan marjin profit 26,4%; AstraZeneca dengan marjin profit
18,3%; Aventis dengan marjin profit 17,6%; Bristol-Myers Squibb dengan
marjin profit 28,1%; Novartis dengan marjin profit 28,5%; Pharmacia
dengan marjin profit 19,6%; Hoffman-La Roche dengan marjin profit 44,2%;
Johnson and Johnson dengan marjin profit 33,6% . (sumber: RAFI 30 April 2001 – www.rafi.org)
Saat ini nasib petani sudah dikontrakan dalam organisasi perdagangan dunia –(WTO (World Trade Organization)- dalam sebuah kontrak yang dinamai AOA (Agreement on Agricultural)
yang ditandatangani pada 1 Januari 1995[4]. Inti dari kontrak tersebut
adalah memasukan sektor pertanian menjadi komonditi perdagangan bebas
dunia. Dimana seluruh petani di dunia harus mengikuti cara dan mekanisme
kerja perdagangan bebas. Persoalannya petani miskin selalu dirugikan
dengan perusahaan pertanian baik di negara miskin maupun di negara
kaya. Sebab salah satu kebijakan utama dalam perjanjian tersebut adalah
mengurangi subsidi petani namun meningkatkan subsidi perusahaan
pertanian. Berhubung negara Indonesai lebih banyak petani miskinnya
ketimbang perusahaaan pertanian, maka dampak AOA di Indonesia sungguh
memprihatinkan.
Hal ini seperti yang diketemukan dalam studi dampak AOA yang
dilakukan PAN-Indonesia bekerja sama dengan APRN dan INFID pada tahun
2001. Dampak AOA menurut studi tersebut adalah: Pertama;
sebelum ada AOA Indonesia sebagai negara eksportir beras ke-9 di dunia,
namun tiga tahun setelah kontrak tahun 1998 Indonesia justru sebagai
negara pembeli beras nomor satu di dunia.Kedua;
pemerintah yang diarahkan IMF atas anjuran WTO – AOA mengurangi subsidi
atas input-input pertanian seperti pupuk, benih dan obat. Sementara
harga dikontrol sehingga biaya produksi melambung tidak sebanding dengan
hasil jual produksi. Ketiga; tidak adanya subsidi eksport, sehingga produksi pertanian Indonesia kalah bersaing di pasar internasional. Keempat;
menurunnya ketahanan pangan Indonesia. Kebutuhan beras rata rata 30
juta ton pertahun, sementara beras yang ada di pasar dunia paling banyak
hanya 20 juta ton. Dengan begitu akan sangat mencelakakan kalau
kebutuhan beras Indonesia mengandalkan pada pasar luar. Kelima; berkurangnya peran State Trading Enterprise untuk
menyelamatkan stok pangan nasional dan harga produksi dari petani,
dimana IMF mendesak untuk mengurangi peran atau bahkan membubarkan
BULOG. Keenam; seluruh fasilitas TNC yang ada di
Indonesia menurut perjanjian BOP kalau terjadi kerusakan akibat protes
dari masyarakat menjadi tanggungan negara Indonesia. Ketujuh;
Perjanjian paten dan TRIPs memberikan pembenaran bagi perusahaan
perusahaan asing di Indonesia untuk mempatenkan segala macam kekayaan
hayati dan produk pangan lokal. Seperi Shiseido telah mematenkan
kemukus, lempuyang, kayu legi, pelantas, pulowaras, cabe Jawa,
brotowali. Demikian juga tempe telah dipantenkan milik perusahaan dari
Merika dan Jepang.
Menurut Prof DR Moch. Maksum[5] nasib petani Indonesia di masa lima
tahun mendatang sungguh kelabu. Karena dalam rangka membantu kehidupan
industri yang terkena krisis financial global, Pemerintah
Indonesia memilih kebijakan untuk mempermudah impor. Ketika kebijakan
mempermudah impor (pengurangan pajak, pengurangan harga dollar Amerika,
pengurangan bea masuk dll) terjadi, maka seluruh produk pertanian juga
ikut masuk dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga dalam
negeri. Akibatnya petani Indonesia mati suri untuk bersaing dengan
produk produk pertanian impor.
Kebijakan Pemerintah yang mempermudah impor yang diikuti dengan “politik tebar pesona“
(seperti yang telah dijelaskan diata) dimana subsidi pertanian
dikurangi namun diganti dengan Bantuan Langsung Tunai, RASKIN dll,
membawa perubahan perubahan karakter dan pemahaman ”miskin” bagi warga masyarakat desa. Perubahan yang subtansial sedang terjadi adalah; Pertama; Ada pergeseran pemahaman stereotip tentang “miskin” bagi warga masyarakat. Label miskin yang dilekatkan kepada warga, bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap “aib” atau
hal yang perlu disembunyikan. Namun label miskin justru dianggap perlu
dimiliki warga sebagai identitas yang dapat menjadi persyaratan sosial
administrasi untuk mendapat hak menerima bantuan. Perubahan ini
mempunyai pengaruh terhadap berbagai program pengentasan kemiskinan.[6]Kedua; fakta
kemiskinan ada pergeseran dari kosentrasi kepada pemenuhan kebutuhan
primer menjadi kosentrasi pada pemenuhan kebutuhan sekunder. Pengertian
pemahaman kebutuhan primer pada paper ini adalah kebutuhan yang
berhubungan untuk mempertahankan hidup secara fisik (makan, sandang,
papan). Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang berhubungan
untuk pemenuhan berbagai keinginan sesuai dengan wacana yang
dimiliki.[7]Ketiga; ada perubahan sumber asupan
kebutuhan dasar dari asupan alam ke asupan “rekayasa”. Warga desa
sebagaian besar beralih dari perilaku ketergantungan terhadap asupan
alam (kelangkaan beras diganti dengan ubi, jagung dll) menjadi
ketergantungan terhadap asupan berbagai rekayasa (kelangkaan beras
diganti dengan indomie). Implikasinya terhadap berbagai perubahan adalah
pada persoalan kesehatan warga.[8] Keempat, ada
perubahan fakta dari ketidak tercukupinya kehidupan pada tingkat lokal
menjadi fakta dari ketertinggalan terhadap berbagai perubahan gaya
kehidupan global.Kelima, ada perubahan perilaku
manajemen keluarga dari diversifikasi sumberdaya yang ada berubah
menjadi ketergantungan terhadap industri imitasi. Artinya ada perubahan
perilaku dari reproduksi di dalam rumah menjadi perilaku konsumtip
terhadap berbagai barang industri produk instan dan imitasi yang
kualitasnya jauh dari standard baku kesehatan manusia.
Kalau terjadi peminggiran terus menerus terhadap nasib petani, maka
dampak yang tidak bisa dihindarkan adalah (1) mudahnya petani melepas
lahan pertaniannya untuk digunakan untuk industri dan perumahan. Hampir
semua daerah mengalami pengurangan lahan pertanian dari tahun ke tahun;
(2) banyak anak warga tani yang didorong oleh keluarganya untuk keluar
dari sektor pertanian masuk di sektor buruh industri dan jasa di
perkotaan. (3) kebanggaan menjadi petani semakin menurun bahkan ada satu
desa perkampungan “pengemis’, yang mempunyai persepsi bahwa
hidup sebagai pengemis di jalanan, hidupnya lebih nikmat dari pada
seorang petani. (4) petani pinggir hutan akan terstimulan untuk ikut
mempercepat kerusakan hutan. Menurut Guiness World Record menyebutkan
ada 1,871 juta hektar hutan di Indonesia rusak antara tahun 2000 – 2005
atau 51 kilometer persegi perhari hutan rusak di Indonesia. Menurut
Perum Peruhutani pada tahun 2006 jumlah penduduk Indonesia yang ada di
kawasan Hutan sebanyak 88.709.522 orang, dimana 32.803.274 orang berada
di Pulau Jawa atau hampir 40% dari total penduduk Indonesia yang berada
di kawasan hutan. Dengan demikian kalau petani pinggiran hutan di Jawa
belum berdaya, kalau terjadi krisis ekonomi yang melanda petani, maka
potensi terjadinya perusakan hutan yang terbesar adalah di Pulau Jawa.
Salah satu ciri globalisasi ekonomi adalah adanya pengaruh resesi
negara lain atau benua lain bisa berimbas terhadap munculnya kemiskinan
di masyarakat tertentu. Lebih lebih Negara Indonesia saat ini semakin
ramah terhadap investor asing dan masuknya TNC. Niscaya pada masa yang
akan datang perilaku ekonomi global akan masuk dan mempengaruhi perilaku
ekonomi dan kehidupan lokal. Oleh karena itu untuk membantu petani
dalam menghadapi hal tersebut diperlukan strategi yang berkesinambungan
dan mampu menggerakkan keikut sertaan seluruh elemen yang mempunyai
komitment terhadap perubahan nasib petani.
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa sebagai ”gudang”nya para
peneliti dan para ahli pedesaan sangat layak untuk melakukan kegiatan
sebagai berikut; Pertama, melakukan kajian praktis
untuk menemukan tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa yang mampu
membentuk karakter mandiri warganya, menjaga ekosistem alam
lingkungannya dan melindungi pengaruh negatip globalisasi. Kedua, melakukan analisis positioning dalam konteks kewilayahan dan komonditas pertanian yang menjadi sumber perekonomian warga desa. Positioning ini penting untuk memahami, mengindentifikasi berbagai daya dukung dan ancaman atau persaingan, Ketiga,
melakukan pengkajian dan proses penemuan potensi potensi unggulan yang
dapat menjadi topangan ekonomi warga tani miskin. Hal ini penting untuk
mengolah potensi unggulan tersebut menjadi daya dukung utama ekonomi
keluarga warga miskin. Keempat, melakukan kajian kajian untuk membantu menemukan trade mark atau brand image untuk identitas sosial ekonomi desa.Hal ini penting sebagai social marketing dan sekaligus sebagai acuan character building warga desa .******
[1] Makalah disajikan pada acara Dies Natalis STPMD “APMD” ke 44
[2] Drs.Fajar Sudarwo, M.Si adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi STPMD "APMD Yogyakarta dan fasilitator pemberdayaan masyarakat desa telah bergabung sebagai aktivis IRE Jogjakarta.