PROPOSAL PENELITIAN
PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK
PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN PUBLIK
DI
KANTOR KECAMATAN
(Suatu Penelitian Kualitatif di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo,Yogyakarta)
__________________________________________________________________________
Diajukan untuk menyelesaikan mata kuliah wajib
SEMINAR PERENCANAAN PENELITIAN
Dosen Pengampu : Drs. Harisapta, M.Si
(Suatu Penelitian Kualitatif di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo,Yogyakarta)
__________________________________________________________________________
Diajukan untuk menyelesaikan mata kuliah wajib
SEMINAR PERENCANAAN PENELITIAN
Dosen Pengampu : Drs. Harisapta, M.Si
Oleh :
FARDIN LAIA
10522355
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA
"APMD"
YOGYAKARTA
2013
A. LATAR BELAKANG
Negara Republik Indonesia sebagai
negara kesatuan, sistem penyelenggaran pemerintahan dibingkai dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa pergeseran paradigma
pemerintahan dari negara sebagai pusat kekuasaan menuju negara lebih dekat dengan rakyat. Begitupun
dengan tata kelola pemerintahan tidak lagi berorientasi pada aspek pemerintahan
(goverment) akan tetapi beralih ke
aspek tata pemerintahan (governance). Good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan
pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan
bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan (Effendi dalam Azhari, dkk.,
2002: 187). Disinilah peran strategis birokrasi pemerintah dalam mewujudkan
good governance, yang merupakan conditio
sine qua non bagi keberhasilan pembangunan. Profesionalisme birokrasi
merupakan prasyaratan (prereguisite) mutlak untuk mewujudkan good governance (Tjokowinoto,
2001 ; 3). Upaya untuk mewujudkan good governance memerlukan unsur
profesionalisme dari aparatur pemerintah
dalam memberikan pelayanan publik. Profesionalisme disini lebih
menekan kepada kemampuan, keterampilan
dan keahlian aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik
yang responsif, transparansi, efektivitas dan efesien.
Dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sebagai konsekuensi
diberlakukanya undang-undang tersebut, khususnya bagi aparatur pemerintah
dituntut untuk lebih profesional didalam menjalankan tugas-tugasnya. Untuk
mencapai tujuan publik yang demokratis itu,
tentu kinerja birokrasi harus profesional, dan untuk mencapai
profesionalitas birokrasi harus berpegang pada nilai efektivitas dan efesien (Widodo,
2005 ; 315).
Aparatur yang profesionalisme pada prinsipnya
mengandung dua makna yakni yaitu; Pertama, profesi yaitu aparatur
dituntut untuk memiliki keterampilan dan keahlian yang dapat diandalkan sebagai
penunjang kelancaran pelaksanaan tuga. Kedua,
pengabdian yaitu sikap dan tindakan aparatur dalam menjalankan tugas harus
senantiasa mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Profesionalisme merupakan
cerminan keterampilan dan keahlian aparatur yang dapat
berjalan efektif apabila didukung
dengan kesesuaian tingkat pengetahuan atas dasar latar belakang pendidikan dengan beban kerja yang menjadi
tanggung jawabnya dan juga sebagai cerminan
potensi diri yang dimiliki aparatur, baik dari aspek kemampuan maupun aspek
tingkah laku yang mencakup loyalitas, inovasi, produktivitas dan kreatifitas.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh aparatur pemerintah adalah
usaha menampilkan profesionalitas, etos kerja tinggi, keunggulan kompetitif dan
kemampuan memegang teguh etika birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bebas dari nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN). Agar birokrasi dapat memberikan
pelayanan yang baik, maka diantara sepuluh prinsip good gevernance ada 3 (tiga)
nilai administratif – manajerial mendasar yakni : efektifitas, efesiensi dan
profesionalisme (Widodo, 2005 ; 315).
Namun tata pemerintahan yang baik (good
governance) dapat menjadi kenyataan, apabila didukung oleh aparatur yang
memiliki profesionalitas tinggi yang mengedepankan terpenuhinya transparansi,
akuntabilitas dan responsibilitas publik, yakni dengan menekan sekecil mungkin
pemborosan penggunaan sumber-sumber keuangan pemerintah (negara) dan juga
sekaligus memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pondasi
untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Selanjutnya, menurut Islami (1998; 14-15),
Bahwa akuntabilitas dan responsibilitas publik pada hakikatnya merupakan
standar profesional yang harus dicapai/dilaksanakan aparat pemerintah dalam
memberikan pelayanan dengan daya tanggap yang tinggi sesuai aspirasi masyarakat
secara bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas-tugasnya.
Selain regulasi yang kuat sebagai fondasi dan
standar pelayanan birokrasi juga profesionalitas sangat ditentukan oleh
kompetensi dan kemampuan aparatur untuk bertindak secara profesional dalam
mengemban pekerjaan menurut bidang tugas tingkatan masing-masing. Hasil dari
pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai dengan porsi, obyek,
bersifat terus menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka
waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Suit dan Almasdi, 2000; 99).
Pentingnya
profesionalisme aparatur ,sejalan dengan bunyi pasal 3 ayat (1) UU No. 43/1999
tentang tentang Perubahan Atas UU No. 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
yang menyebutkan bahwa :
“Pegawai
Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan”
Hal ini senada dengan pola pengaturan
kebijaksanaan personalia di bidang pemerintahan, seperti disebutkan dalam Modul
AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ; 30), bahwa “Salah satu sumber organisasi yang paling
penting adalah sumber daya manusia yang
dimiliki oleh instansi pemerintah” berarti
sumber daya manusia memegang peranan penting dari saat perumusan visi dan misi,
hingga pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Argumen ini diperkuat oleh pendapat Siagian (2000 ; 140) yang mengatakan bahwa
“Manusia merupakan unsur penting dalam setiap dan semua organisasi,
keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasaran serta kemampuannya
menghadapi berbagai tantangan, baik yang sifatnya eksternal maupun internal
sangat ditentukan oleh kemampuan mengelola sumber daya manusia”. Jadi, tidak
berlebihan kata jika Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penentu
berhasil atau sukses tidaknya pencapaian visi, misi dan tujuan sebuah
organisai. Oleh karenanya, setiap aparatur pemerintah dituntut untuk dapat
melakukan tugas dan fungsinya secara profesional untuk menghasilkan sejumlah out put yang sesuai
dengan tujuan organisasi dan keinginan masyarakat.
Menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
sebagai upaya peningkatan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dari penyalahgunaan wewenang. Tetapi untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik, maka dipandang perlu untuk meningkatkan kapasitas SDM pelayanan,
mengingat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pelayanan memiliki peran
strategis sebagai pendorong (key leverage) dari reformasi birokrasi.
Adapun arah kebijakan pembangunan di bidang aparatur negara adalah “meningkatkan
profesionalisme, netralitas dan kesejahteraan SDM aparatur. Peningkatan
kualitas SDM aparatur diarahkan untuk mewujudkan SDM aparatur yang profesional, netral, dan
sejahtera” Hal tersebut mengindikasikan sangat pentingnya profesionalitas aparatur dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
publik.
Kecamatan Sebagai Perangkat Daerah (SKPD) adalah
yang terdepan dalam memberikan pelayanan publik sebab pemerintah kecamatan
merupakan tingkat pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan
pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini kecamatan diharapkan mampu menunjukkan
eksistensinya sebagai ujung tombak pelayanan publik. Sebagaimana perubahan
kedudukan kecamatan dari wilayah administratif pemerintahan (UU No. 5 Tahun
1974) menjadi wilayah kerja dari perangkat daerah (UU No. 32 Tahun 2004), maka
tugas pokok dan fungsi camat sebagai pimpinan organisasi kecamatan pun berubah
dari kepala wilayah, yang memiliki kekuasaan sebagai penguasa tunggal di bidang
pemerintahan berubah menjadi perangkat daerah yang bertugas memberikan
pelayanan tertentu kepada masyarakat dalam wilayah kerja tertentu (Krismiyati,
2008).
Menurut Saduwasistiono (dalam Widodo,2005;190)
bahwa Sebagai unsur lini kewilayahan, camat menjalankan tugas pokok sebagai unsur lini yaitu to do, to ac. Artinya kecamatan dijadikan sebagai pusat pelayanan
pada masyarakat yang bersifat operasional dengan batas wilayah sebagai batas
pemberian pelayanan.
Kecamatan yang merupakan ujung tombak terutama dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan
yang berkenaan dengan kondisi pelayanan yang relatif belum memuaskan. Baik
buruknya pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh tersedianya sumberdaya
aparatur pemerintah yang profesional. Berdasarkan
Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) bahwa pelayanan publik oleh kecamatan meliputi pelayanan bidang
perizinan; dan pelayanan bidang non perizinan dengan maksud dan tujuan yaitu
kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat dan menjadi simpul pelayanan bagi
kantor/badan pelayanan terpadu di kabupaten/kota dan untuk meningkatkan
kualitas dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sedangkan berdasarkan Kepmen PAN No. 58 tahun 2002
(Pasolong, 2007:129), bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat
dibedakan dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu :
a. Pelayanan
administratif
Pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayanan berupa pencatatan, penelitian, dokumentasi dan kegiatan tata usaha
lainnya.
Contoh : Sertifikat
tanah, IMB, Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran), dan lain
sebagainya.
b. Pelayanan
barang
Pelayanan
yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau
pengolahan bahan berwujud fisik.
Contoh:
Listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagianya.
c. Pelayanan
jasa
Pelayanan
yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta
penunjangnya.
Contoh
: Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan
lain sebagainy.
Kecamatan sebagai organisasi instansi
pemerintah yang menyelenggarakan
pelayanan publik khususnya dibidang administrasi baik yang berkaitan dengan Perijinan maupun
non perizinan, (KTP/e-KTP, KK, Akte kelahiran/kematian, Surat Tanah / Ahli
Waris, IMB serta kebutuhan lainya) juga dituntut bekerja secara professional
serta mampu secara cepat merespon aspirasi dan tuntutan publik dan perubahan
lingkungan lainnya dengan cara kerja
birokrasi yang lebih berorientasi kepada masyarakat dari pada
berorientasi kepada atasan.
Berkaitan dengan teridentifikasinya sedikit patologi
diantara sekian banyak patologi birokrasi Indonesia yang pada akhirnya membuat
birokrasi menjadi tidak responsif dan inovatif. Adanya berbagai macam keluhan
dan tuntutan perbaikan yang diajukan oleh masyarakat pengguna jasa kepada
aparat birokrasi terlihat bahwa secara umum kinerja birokrasi indonesia dalam
menjalankan fungsi pelayanan publik masih jauh dari harapan bagi terwujudnya
birokrasi yang yang responsif, efesien, dan publik akuntabel. Selain itu juga
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, para pegawai masih jauh dari kata
profesionali. Seringkali apabila ada masyarakat yang membutuhkan pelayanan
dengan meminta kejelasan proses,
prosedur dan biaya pelayanan tetapi terkadang tidak dipedulikan. Aparatur pemerintah kurang mampu dalam menyelenggarakan kegiatan
pemerintah yang mempunyai kredibilitas yang tinggi, sehingga semakin banyaknya
proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi relatif kurang
optimal. Profesionalisme yang belum
membudaya di institusi ini membuat aparatnya
berinisiatif untuk recode kode-kode genetika sukses berkarya. (Syakrani
& shariani, 2009 : 4). Tuntutan administrative accountability yang melebihi
tuntutan social accountability mendorong institusi ini merasa tidak butuh
kreativitas, inovasi, entrepreneur spirit,terobosan, challenging the processes
dalam menjalankan fungsinya.
Argumen lain yang dikemukakan oleh Siagian (1994;44
) mengenai Patologi birokrasi mempertahankan status quo dalah rasa takut
menghadapi perubahan tidak mau inovatif dan tidak mau mengambil resiko. Oleh
karena kemampuan kerja yang sangat terbatas membuat aparatur tidak inovatif.
Akibat sikap yang tidak inovatif antara lain mempertahankan mekanisme, prosedur
dan tekbik- teknik yang sudah lama digunakan meskipun sudah tidak sesuai lagi
dengan tuntutan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas, efesiensi dan efektivitas
kerja organisasi. Kemampuan teknis yang dimiliki aparatur masih kurang terutama
dalam mengoperasikan alat-lat teknologi
informasi. Loyalitasan aparatur masih terlalu birokrasi dan kaku sehingga
kurang memunculkan kreativitas dan inovasi. Artinya Selama ini penyelenggaraan
pemerintah belum sepenuhnya menunjang terwujudnya good governance, maka
birokrasi perlu diperbaiki. Jadi, harus ada suatu reformasi birokrasi nasional
yang benar-benar didukung kuat oleh segenap komponen bangsa, dengan menempatkankan
kelembagaan birokrasi yang perlu ditata, sebagai struktur penopangnya yang kuat
dan proposional. Disana sumber daya manusia diberi ruang membangun kompetensi
dan profesionalitasnya, antara lain melalui peningkatan kedisplinan dalam
segala maknanya yang erat dengan penerapan prinsip meritokrasi (Sedermayanti,
2007;330 ).
Namun kenyataannya, patologi birokrasi tidak hanya
saja ditemukan ditingkat pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah kabupaten
tetapi tidak terkecuali juga dipemerintah kecamatan yakni secara empiris
pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan berbelit-belit,
lambat, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena
masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan yang dilayani.
Banyaknya pengaduan dan keluhan dari masyarakat kepada Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara (Menpan) seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja
pelayanan yang berbelit-belit, lambat, tidak adil dalam memberikan pelayanan,
kurang informatif, kurang akomodatif,
kurang konsisten, terbatasnya fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan,
tidak menjamin kepastian (hukum, waktu, dan biaya) serta masih banyak dijumpai
praktek pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan
KKN. Berbagai Patologi birokrasi ini
akan mencerminkan kurangnya
profesionalisme aparatur
pemerintah dalam menjalankan tugasnya serta menunjukkan semakin buruknya kinerja aparatur dalam memberikan
pelayanan publik. Aparatur dengan prosedur berbelit-belit (birokratis),
tidak adanya kepastian, kurang transparan, lamban dengan disertai adanya
pemungutan biaya tambahan diluar biaya resmi. Akibat yang dapat dilihat
sekarang banyak masyarakat pengguna jasa pemerintah sering dihadapkan pada
begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan aparat birokrasi
(Dwiyanto, dan Kusumasari, 2000; 7).
Kecamatan Sentolo merupakan salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten
Kulon Progo yang mendapat pelimpahan kewenangan menyelenggarakan pelayanan
administrasi terpadu (PATEN) sejak bulan oktober tahun 2013. Dari hasil
wawancara peneliti kepada salah satu staf pelayanan umum dikantor kecamatan
Sentolo mengatakan bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenangan ini, tentu saja beban tugas dan tanggungjawab kami semakin besar
untuk itu selama ini kami telah memberikan pelayanan secara maksimal dengan
bekerja secara profesional sesuai standar operasional prosedur, dengan
pelayanan yang cepat, murah dan tidak berbelit-belit bisa jadi salah satu
pemicu tingkat kesadaran masyarakat untuk datang ke kantor Kecamatan mengurus
administrasi bidang perizinan. Menurut
pengamatan peneliti masih ada kekurangan terkait profesionalisme aparatur
pemerintah kecamatan Sentolo dalam memberikan pelayanan publik dibidang
administrasi kepada masyarakat yakni masih
sangat birokratis dan inifesiensi masalah kepastian waktu pelayanan. Ini
didukung dengan pengakuan salah satu tokoh masyarakat (Kadus) di desa Sentolo
Kecamatan Sentolo. Adapun hasil wawancara sebagai berikut:
“kalau pelayanan administarsi di kantor Kecamatan sentolo terkait
sikap aparatur dalam melayani masyarakat sering molor sehingga tidak adanya kepastian
waktu pelayanan yang menyebabkan masyarakat lelah menunggu, selain itu juga
prosedur yang sangat kaku karena kurang di sosialisakan kepada masyarakat
membuat kami kurang memahami prosedur perizinan tentang pelayanan administarsi
terpadu kecamatan (PATEN)”
Secara konseptual, kualitas tinggi dan kekenyalan
terus menerus dalam mengurus organisasi
dan tata pemerintahan yang baik terkait dengan sikap profesionalisme aparatur
dalam merespon kebutuhan dan harapan
masyarakat yang dipengaruhi perkembangan
(tantangan dan peluang) lingkungan strategis nasional, regional dan global.
Berkarya secara profesional mengandung makna bahwa seseorang benar-benar
memahami seluk beluk tugasnya secara mendalam. Tuntutan masyarakat yang semakin
pesat, menjadi kewajiban aparatur berkarya dalam penyelenggaraan pemerintah
untuk meningkatkan profesionalitasnya
dibidang tugas yang dipercayakan kepadanya, sebab dengan demikian
kreatifitas dan produktivitas kerja dapat ditingkatkan.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar
belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“BAGAIMANA PROFESIONALISME APARATUR DALAM PELAYANAN
PUBLIK DI KANTOR KECAMATAN SENTOLO KABUPATEN KULON PROGO”
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.
Tujuan Penelitian
Bertujuan untuk mengetahui Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan
Publik di Kantor Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewah
Yogaykarta
2. Manfaat Penelitian
a.
Bagi Pemerintah Kecamatan Sentolo, hasil
penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan rujukan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur pemerintah dalam pelayanan publik.
b.
Bagi mahasiswa, melalui penelitian
ini memperoleh pengetahuan dan wawasan dalam membandingkan teori yang diperoleh
selama perkuliahan dengan aplikasi yang terjadi dilapangan.
c.
Bagi pembaca, hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi referensi untuk menambah pengetahuan baru dan wawasan
yang luas tentang profesionalisme aparatur pemerintah kecamatan dalam pelayanan publik.
D. KERANGKA TEORI
1.
Pelayanan
publik
Pelayanan
adalah cara melayani, membantu menyiapkan dan mengurus, menyelesaikan keperluan
kebutuhan seseorang atau sekelompok orang artinya objek yang dilayani adalah
individu, pribadi,=-pribadi dan kelompok organisasi. (Sianipar, 1998).
Sedangkan publik dapat diartikan sebagai masyarakat atau rakyat.
Menurut
Saiful, 2008 : 3, Pelayanan publik
adalah pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat pengguna
fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh
organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan. Pelayanan publik
dengan demikian merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
dasar setiap warga negara dan penduduk atau suatu barang, jasa dan atau
pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayan yang terkait
pelayanan publik.
Sedangkan menurut Lewis dan Gilman (2005:22), Pelayanan publik adalah
kepercayaan publik. Artinya warga negara
berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan
sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan
kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan
kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.
Menurut Syafiie (2003 : 116) pelayanan terdiri dari
tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut :
1.
Biaya relatif lebih rendah
2.
Waktu untuk mengerjakan relatif cepat
3.
Mutu yang diberikan relatif bagus
Sejalan
dengan hal tersebut, maka dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 dijelaskan
pelayanan
publik harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut :
1.
Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur
atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2.
Kejelasan dari kepastian; adanya
kejelasan dan kepastian mengenai;
a. Prosedur/tata
cara pelayanan umum.
b. Persyaratan
pelayanan umum baik teknis maupun administrasi.
c. Unit
kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum.
d. Rincian
biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal
waktu penyelesaian pelayanan umum.
f. Hak
dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum
g. Pejabat
yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas dan
atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
h. Keamanan
dalam arti bahwa proses hasil pelayanan umum dapat memberikan kemananan dan
kenyamana serta dapat memberikan kepastian hukum;
3. Keterbukaan
dalan arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja pejabat penanggung
jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tariff dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta;
4. Efisiensi
dalam:
a. Persyaratan
pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pecapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum
yang diberikan;
b. Dicegah
adanya penanggulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama dalam hal
proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait;
5. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan
umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
a.
Nilai barang atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya di luar kewajaran;
b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar
secara umum;
c. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan atau
jangkuan pelayanan umum harus diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan secara adil;
7. Ketetapan
waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan.
Dengan
demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat
oleh penyelenggara negara. Oleh karena pada hakikatnya negara dalam hal ini
pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
(Sinambela,2006;5). Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seyogianya
mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu
pelaksaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik. Sejalan dengan
itu pendapat A.S. Moenir (1992 : 120), mengemukakan bahwa pelayanan publik
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam
usaha memenuhi kebutuhan orang lain sesuai dengan haknya.
Terkait dengan
implementasi pelayanan publik maka responsivitas merupakan salah satu barometer
yang sangat penting. kemampuan aparatur
pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus mampu rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda
dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta
tuntutan masyarakat (Tangkilisan,2005:177). Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan
publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayan
publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, Sebab organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki
kinerja yang jelek juga. Selain
itu juga pemerintah daerah di tuntut untuk kreativ dan inovatif mengembangkan
model pelayanan publik, agar mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan
baik internal maupun eksternal. Sehingga aparatur pemerintah dapat menciptakan
berbagai alternatif pelayanan pubik dalam rangka efensiensi dan efektitas
pelayanan pemerintahan serta untuk meningatkan kapasitas pemerintah daerah
dalam pelayanan publik. Sebab dengan
kreativitas dan inovasi pemerintah lokal/daerah
mampu menjalankan penyelenggara pemerintahan secara efektif dan efensien. Sehubungan dengan hal
itu, langkah strategis untuk mendorong upaya perbaikan dalam peningkatan
kualitas pelayanan publik ialah dengan memberikan stimulasi, semangat perbaikan
dan kreativitas serta inovasi pelayanan dalam
melakukan penilaian untuk mengetahui gambaran kinerja yang obyektif dari
unit pelayanan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu memfasilitas
kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel,
transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum) sesuai peraturan yang
berlaku.
Sedangkan, terkait dengan implementasi pelayanan
publik maka responsivitas merupakan salah satu barometer yang sangat penting. Artinya
responsivitas ini merupakan
ukuran daya tanggap birokasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi,
serta tuntutan masyarakat.
2.
Profesionalisme
Aparatur Pemerintah
a.
Profesionalisme
Istilah profesionalisme dapat diartikan sebagai
suatu kemampuan dan keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut
bidang dan tingkatan masing-masing.
Menurut
Korten & Alfonso (Tjokrowinoto, 1996;178) yang dimaksud dengan
Profesionalisme adalah “kecocokan (fitness) antara kemampuan yang
dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas
(task-requirement), merencanakan, mengkordinasikan, dan melaksanakan
fungsinya secara efisien, inovatif, lentur, dan mempunyai etos kerja tinggi”.
Menurut pendapat tersebut, kemampuan aparatur lebih
diartikan sebagai kemampuan melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan
ekonomi, kemampuan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dengan mengacu
kepada misi yang ingin dicapai dan kemampuan dalam meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk tumbuh kembang dengan kekuatan sendiri secara efisien,
melakukan inovasi yang tidak terikat kepada prosedur administrasi, bersifat
fleksibel, dan memiliki etos kerja tinggi.
Berdasarkan Departemen Dalam Negeri (2004;13)
tentang Profesionalisme adalah merupakan
kehandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi,
waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti
oleh pelanggan.
Hal senada
seperti yang dikemukakan oleh Siagian (2009;163) profesionalisme adalah
“Keandalan dan keahlian dalam
pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat,
cermat, dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan”.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Sedarmayanti (2004;157) mengungkapkan
bahwa, “Profesionalisme adalah suatu sikap atau keadaan dalam melaksanakan
pekerjaan dengan memerlukan keahlian melalui pendidikan dan pelatihan tertentu
dan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan.” Terbentuknya
aparatur profesional memerlukan keahlian dan keterampilan khusus yang dibentuk
melalui pendidikan dan pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Jadi dengan
keahlian dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh aparatur memungkinkan
terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas
merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan
kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah
organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik
secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap
tujuan yang ingin dicapai. Profesionalisme aparatur dalam hubungannya
dengan organisasi publik digambarkan sebagai, “Bentuk kemampuan untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat atau disebut dengan istilah resposivitas. (Kurniawan, 2005:79). Joko Widodo (2007 : 89) memberikan penekanan
kepada pentingnya kualitas pelayanan pegawai oleh organisasi publik yang lebih
professional efektif, efesien, sederhana, transparan terbuka, tepat waktu,
responsive dan adaptif.
Dari
beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah
kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu
tinggi.
Pentingnya kemampuan aparatur dalam beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi dijadikan tolak-ukur
dalam melihat profesionalisme birokrasi. Menurut (Ancok, 2000) dijelaskan
tentang pengukuran profesionalisme antara lain : kemampuan beradaptasi,
kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan fenomena global dan fenomena nasional;
Mengacu kepada misi dan nilai (mission & values-driven professionalism),
Birokrasi memposisikan diri sebagai pemberi pelayanan kepada publik dan dalam
mewujudkan tujuan organisasi yang berorientasi kepada hasil yang ingin dicapai
organisasi. Profesionalisme dalam pandangan (Korten dan Alfonso,1981) diukur
melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan
tugas yang dibebankan organisasi kepada seseorang. Artinya bahwa disiplin ilmu
atau keahlian sesesorang harus sesuai
tugas yang diembannya jika tidak maka akan berdampak pada kefakuman fungsional
birokrasi.
Menurut Siagian (2000) bahwa
Profesionalisme diukur dari segi kecepatannya dalam menjalankan fungsi dan
mengacu kepada prosedur yang telah disederhanakan. Artinya konsep
profesionalisme dalam diri aparat diukur dari segi;
a.
Kreatifitas
(creativity) yaitu kemampuan aparatur
untuk menghadapi hambatan dalam memberikan pelayanan kepada publik dengan
melakukan inovasi. Hal ini perlu diambil untuk mengakhiri penilaian miring
masyarakat kepada birokrasi publik yang dianggap kaku dalam bekerja.
Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya dapat terjadi apabila; terdapat iklim
yang kondusif yang mampu mendorong aparatur pemerintah untuk mencari ide baru
dan konsep baru serta menerapkannya secara inovatif; adanya kesediaan pemimpin
untuk memberdayakan bawahan antara lain melalui partisipasi dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut pekerjaan, mutu hasil pekerjaan, karier dan
penyelesaian permasalahan tugas.
b.
Inovasi
(innovasi), Perwujudannya berupa
hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan menggunakan cara baru, metode
kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya. Hambatan yang paling mendasar dari
perilaku inovatif adalah rasa cepat puas terhadap hasil pekerjaan yang telah
dicapai.
c.
Responsifitas
(responsivity) yaitu kemampuan
aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru, perkembangan baru,
tuntutan baru, dan pengetahuan baru, birokrasi harus merespon secara cepat agar
tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Menurut
Solihin (2007) : wujud nyata kompetensi dapat dilihat dari upaya penilaian dari
prinsip profesionalisme dan kebutuhan serta evaluasi yang dilakukan terhadap
tingkat kemampuan dan profesionalisme SDM yang ada.
Kondisi
birokrasi indonesia saat ini yang semakin terpuruk dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat membuat kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan publik
merupakan tuntutan utama publik, sehingga sangat diharapkan unsur
profesionalisme aparatur yang dilakukan
secara kreatif , inovatif dan responsif artinya memiliki kualifikasi
dibidangnya untuk dapat beradaptasi pada perubahan lingkungannya serta mampu
mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Terabaikannya unsur profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan akan berdampak
kepada menurunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Profesionalisme disini lebih ditujukan kepada kemampuan aparatur dalam
memberikan pelayanan yang baik, adil, dan inklusif dan tidak hanya sekedar
kecocokan keahlian dengan tempat penugasan. Sehingga aparatur dituntut untuk
memiliki kemampuan dan keahlian untuk memahami dan menterjemahkan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat kedalam kegiatan dan program pelayanan.
1. Kreatifitas (creativity)
2. Inovasi (innovasi)
3. Responsifitas (responsivity).
Jadi, indikator minimal
untuk mengukur profesionalisme adalah berkinerja tinggi; taat asas; kreatif,
inovatif, kreatifitas artinya memiliki kualifikasi di bidangnya. Sedangkan
perangkat pendukung Indikator adalah standar kompetensi yang sesuai dengan fungsinya;
kode etik profesi; sistem reward and punishment yang jelas; sistem
pengembangan sumber daya manusia (SDM); dan standar indikator kinerja.
1. Konsep
Kreatifitas
Kemampuan aparatur untuk menghadapi masalah dalam memberikan pelayanan kepada publik jika
sebuah masalah telah terpecahkan akan kesulitan telah teratasi atau jika
sesuatu yang baru telah diciptakan sesuatu yang baru telah di ciptakan atau
sesuatu yang lama telah mengalami penyesuaian berarti kreativitas telah bekerja
(Petty, 1997). Menurut Munandar bahwa kreativitas adalah kemampuan mencerminkan
kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta
kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu
gagasan(dalam Irwanto, 2002 : 185) Artinya kreatifitas menciptakan
hal-hal yang baru sangatlah penting dalam memberikan solusi dari berbagai
masalah dinamika organisasi khususnya bagi instansi pemerintah misalkan kemampuan
aparatur dalam menyelasaikan hambatan yang berkaitan dengan pelayanan publik
yang masih bersifat statis (mampu beradaptasi) atau aturan lama yang masih
diterapkan tetapi sudah tidak relevan dengan tuntutan masyarakat masa kini.
Kreativitas juga dapat menjadi cerminan potensi seseorang dalam membangun ide,
gagasan untuk dikembangkan dan perkaya untuk menciptakan sebuah inovasi.
Pendapat Rogers (dalam Munandar, 2004)
bahwa sumber dari kreativitas adalah
kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk
berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan
mengaktifkan semua kemampuan organisme.
2.
Konsep
inovasi.
Kemampuan apartur dalam memecahkan masalah-masalah pelayanan publik yang
sering berkaitan dengan profesionalisme aparatur. Inovasi merupakan kelanjutan dari
sebuah kreatifitas birokrasi melalui respon yang ada dari perubahan lingkungan.
Inovasi dalam dunia birokrasi publik seringkali menghadapi hambatan dan
benturan dari keberadaan aturan formal dan rendahnya sikap pemimpin yang
visioner dalam lingkungan birokrasi publik. Inovasi menunjukkan bahwa birokrasi
menemukan dan melakukan proses kerja baru yang bertujuan untuk menjadikan
pekerjaan dan pelayanan menjadi lebih baik. Argument tersebut diperkuat oleh
Ashkens dkk,1995 (Thoha,1997;16) bahwa
suatu organisasi yang profesional dan modern berusaha untuk selalu berorientasi
kepada pelanggan (publik) dan berusaha mendorong dan menghargai kreatifitas
anggota. Kondisi dimana birokrasi publik Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan
lingkungan kerja yang tidak kondusif bagi terciptanya inovasi dan kurang
menghargai kreatifitas yang ada di dalamnya. Inovasi tidak hanya bertujuan
untuk menciptakan suatu model kerja baru tetapi juga bertujuan untuk mencapai
suatu kepuasan kerja bagi individu maupun organisasi dan kepuasan pelayanan
bagi masyarakat. Upaya melakukan sebuah inovasi dalam lingkungan birokrasi
pemerintah perlu mendapat dukungan penghargaan terhadap setiap kinerja aparatur
sehingga lebih termotivasi lagi dalam melakukan pekerjaan dan lebih cenderung
mendukung setiap aparatur berkretifitas menemukan hal-hal yang baru serta
meminimalisir segala bentuk hambatan misalkan proses kerja yang sangat
prosedural dan birokratis juga pada aturan baku yang berkaitan dengan tugas dan
fungsi organisasi.
Dari pendapat diatas
bahwa inovasi menjadi sangat urgensi
dilakukan dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis yang disebakan
oleh pengaruh modernisasi dan globalisasi saat ini, serta segala bentuk penghargaan,
insentif bagi birokrat guna meningkatkan kompetisi serta gairah aparat dalam
menjalan tugas dan fungsi organisasi.
3. Konsep Responsifitas.
Kemampuan aparatur dalam
mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru,
dan pengetahuan baru, dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan
masyarakat
Menurut Lenvine dkk,1990
(Dwiyanto,1995;7) bahwa yang dimaksud dengan responsifitas adalah: kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi publik. Artinya responsifitas berkaitan dengan kecocokan
dan keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Sedangkan menurut (Siagian,2000;165) yang dimaksud dengan
responsifitas adalah : Sebagai bentuk kemampuan birokrasi dalam mengantisipasi
dan menanggapi aspirasi baru, kebutuhan baru dan tuntutan baru dari masyarakat.
Aparatur pemerintah diharapkan memiliki kemampuan dalam merespon dan
mengantisipasi segala bentuk aspirasi masyarakat untuk kemudian aspirasi baru
masyarakat diakomodir sebagai issu
perumusan kebijakan pemerintah dalam program-program pelayanan publik.
Sedangkan kegiatan pelayanan adalah merupakan bentuk dari kewajiban birokrasi
dan pengabaian terhadap hal tersebut akan berdampak kepada kekecewaan
masyarakat yang pada gilirannya mungkin berakibat kepada timbulnya “krisis
kepercayaan” kepada pemerintah.
Dari uraian diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan responsifitas merupakan kemampuan
aparatur dalam mencermati perubahan lingkungan (Tuntutan kebutuhan publik,
kemajuan teknologi) dan merealisasikannya dalam bentuk program dan pelayanan
yang berorientasi kepada masyarakat.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme.
Salah satu faktor yang menghambat kelancaran dan efektifitas birokrasi publik
adalah tidak profesionalnya aparatur birokrasi publik dalam menjalankan fungsi
dan tugas. Menurut (Siagian,2000,164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya
aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan oleh ; profesionalisme
aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia
birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan
pemimpin untuk memberdayakan bawahan. Kurangnya pemberdayaan aparatur membuat
semakin tidak dapat kreatif menghadapi berbagai masalah pelayanan publik akibat
tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) bagi bawahan serta
regulasi organisasi mengenai struktur dan prosedur kerja birokrat yang sangat
birokratis juga membuat aparat menjadi tidak responsif dan kaku.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa profesionalisme
dapat diukur melalui : pertama,
kreatifitas yaitu kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam
memberikan pelayanan kepada publik dengan melakukan sebuah inovasi. kedua,
inovasi artinya perwujudannya berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan
dan menggunakan metode kerja baru, dalam melaksanakan tugasnya. ketiga, responsifitas artinya kemampuan
aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru ataupun tuntutan
baru dengan harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.
b.
Aparatur Pemerintah
Aparatur Pemerintah merupakan
perangkat/alat kelengkapan negara terutama meliputi bidang kelembagaan,
ketatalaksanaan, kepegawaian yang
mempunyai tanggungjawa melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Aparatur
juga sebagai pelaksana roda birokrasi.
Menurut Sedarmayanti
(2009 : 319-320) bahwa. Birokrat
adalah :
1.
Birokrat adalah pegawai yang bertindak
secara birokratis
2.
Birokrat antara lain ;
a.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan
b.
Cara kerja dan atau susunan pekerjaan
yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak
liku-likunya.
c.
Birokrasi sering melupakan tujuan yang
sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangin pekerjaan
yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif, terikat
pada peraturan yang rumit dan bergantung pada perintah atasan, berjiwa statis
dan karena itu menghambat kemajuan (sedarmayanti, 2009 : 319-320)
Pendapat di atas, birokrat
dapat diartikan yang bertindak secara birokratis yang Menjunjung tinggi nilai-nilai secara
sistematis Artinya, Kemajuan bukanlah
sesuatu yang ditargetkan karena terlalu terpaku pada aturan yang ada. Aparatur
sebagai pelaksanan jalannya birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah
sebagai pelayan masyarakat dan Aparatur lebih memprioritaskan kepada bentuk
organisasi dan cara-cara yang sering dilaksanakan sehingga tidak mampu
beradaptasi pada perubahan lingkungannya
Menurut Weber (Wijaya, 1993;25) menjelaskan
tentang batasan / defenisi tentang birokrasi bahwa “Birokrasi adalah suatu
sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan, dengan demikian birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisasi secara
teratur suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh banyak orang” Sedangkan menurut
Mark ( Wijaya, 1993; 25 ) lebih lanjut menjelaskan bahwa “Birokrasi
sebagai Life orgasasi
yangdipergunakan pemerintah modern
untuk pelaksanaan tugas – tugasnya yang
bersifat spesisialsasi dilaksanakan dalam sistem adminitrasi dan khususnya oleh
aparatur pemerintah”
Defenisi birokrasi di atas, pada hakikat nya
birokrasi merupakan institusi dalam
mekanisme pemerintah yang netral, sebab fungsi dasar birokrasi menurut lingkup
ilmu–ilmu administrasi publik adalah sebagai pelaksana (actuating) sedangkan fungsi–fungsi administasi lainnya seperti
perencanaan (plainning),
pengorganisasian (organizing) dan
pengawasan (controling) dilakukan
oleh institusi –institusi lainnya bersifat politis.
Dari beberapa pendapat
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aparatur Pemerintah adalah Birokrat
(pegawai pemerintah) yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab
menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam
peraturan perundangan.
E. RUANG
LINGKUP PENELITIAN
1. Pelayanan Publik
Adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau
organisasi tertentu untuk membantu
memfasilitas kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan
kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum)
sesuai peraturan yang berlaku.
Prinsip-prinsip Pelayanan publik antara lain :
1.
Kesederhanaan
2.
Adanya Kejelasan
3.
Keterbukaan
4.
Efisiensi
5.
Ekonomis
6.
Keadilan
7.
Ketetapan waktu
2. Profesionalisme Aparatur Pemerintah
a. Profesionalisme adalah
kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu
tinggi.
b. Aparatur
Pemerintah adalah Birokrat (pegawai pemerintah) seorang
yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab menjalankan roda
pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan
perundangan.
Untuk
menggambarkan Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor
Kecamatan Sentolo dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
1.
Kreatifitas
a. Kemampuan aparatur menghadapi hambatan dalam pelayanan
publik
b.
Kemampuan aparatur membangun ide
menciptakan sebuah inovasi
2.
Inovasi
a. Hasrat
aparatur untuk mencari dan menemukan caru baru dalam pelaksanaan tugas
b. Tekad
aparatur untuk menggunakan metode kerja baru dalam pelaksanaan tugas
c. Keinginan
untuk berkembang dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan
tugas
3. Responsifitas
a. Kemampuan
mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru
b.
Kemampuan mengenali kebutuhan masyarakat
c. Kemampuan
mengembangkan program pelayanan sesuai
kebutuhan dan aspirasi masyarakat
F. METODE
PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana
adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak
menggunakan hipotesa (Moleong, 2006 : 11). Penelitian deskriptif bertujuan
untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan sosial yang
timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menitikberatkan pada
Profesionalisme Aparatur Pemerintah dalam Pelayanan Publik.
2. Unit Analisis
Untuk unit analisis dalam
penelitian ini adalah obyek dan
sekaligus subyek penelitian atau kesatuan
unit yang akan diteliti. Obyek penelitian ini adalah profesionalisme aparatur
pemerintah kecamatan dalam pelayanan publik. Subyek penelitian yaitu keseluruhan komponen yang terdapat dalam pelaksanaan pelayanan
publik di kantor kecamatan, Lokasi penelitian terdapat di Kecamatan Sentolo Kabupaten
Kulon Progo Provinsi Yogyakarta. Selanjutnya untuk menentukan
informan dipakai teknik purposive
sampling, yaitu sampel dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan
dalam sampel dilakukan sesuai dengan tujuan, dengan catatan bahwa informan
tersebut representatif atau mewakili yang sudah diketahui sebelumnya.
Maka dalam
penelitian ini jumlah informan sebanyak
16 orang, yang terdiri dari :
1. Camat : 1
2. Seketaris
Camat :
1
3. Seksi.
Pelayananan Umum :
1
4. Seksi.
Pemerintahan :
1
5. Seksi.
Perekonomian :
1
6. Seksi.
Kemasyarakatan :
1
7. Seksi.
Ketentraman dan Ketertiban : 1
8. Kepala Desa :
1
9. Kepala Dusun :
1
10. Ketua BPD :
1
11. Ketua LPMD : 1
12. Anggota LSM : 1
13. Anggota Karang
Taruna : 2
14.
Masyarakat : 2
+
Jumlah 15
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh
bahan-bahan yang relevan dan akurat. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini, teknik yang dilakukan adalah:
a. Observasi (pengamatan)
Observasi
adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek
penelitian mengenai hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan masalah
untuk mendapatkan data pelengkap (Kartini Kartono, 1996 157). Observasi ini
bisa dikatakan merupakan suatu cara pengumpulan data dengan melihat atau meninjau lokasi
penelitian untuk melihat secara langsung potensi-potensi yang ada tetapai belum
dimanfaatkan, serta mencari permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat
dari potensi-potensi terkait dengan pengelolaan.
b. Interview
(wawancara)
Interview
adalah metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan,
pelaksanaannya bisa dengan cara langsung bertatap mata maupun lewat media
seperti telepon, yang bertujuan untuk mendapat gambaran nyata tentang pokok
persoalan yang diteliti (Kartini Kartono, 1996: 187). Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung. Bertanya
yang dilakukan seorang peneliti kepada seorang
informan yang kompeten
c. Dokumentasi
Dokumentasi
adalah merupakan salah satu pola untuk mengumpulkan data dari berbagai
literatur baik berupa dokumentasi
kegiatan, data, table,
gambar, serta sumber-sumber lain yang
relevan dan terkait dengan permasalahan
dalam penelitian. Data tersebut meliputi semua data yang berkaitan
dengan profesionalisme aparatur pemerintah kecamatan dalam memberikan pelayanan
publik kepada masayarakat di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta.
4. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini di
menggunakan teknik analisis data Model Miles dan Huberman. Data dikumpulkan
dalam bentuk transkrip dari hasil rekaman dan catatan reflektif untuk
memberikan gambaran suasana, sikap, dan emosi dari responden, kemudian
dilakukan editing. Data dikelompokkan dalam unit-unit kecil dan merangkum
kembali dalam kategori-kategori tertentu. Unit-unit tersebut berupa kata,
kalimat atau paragraf atau bagian dari data yang mempunyai makna tersendiri.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan
dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan
membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami.
Langkah- langkah analisis data menurut Miles dan
Huberman (2007:16)
a.
Data Reduction ( Reduksi Data )
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup
banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama
peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit.
Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal- hal
yang pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting dicari tema dan polanya.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,
dan mencari yang diperlukan.
b.
Data Display ( Penyajian Data )
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah
menyajikan data. Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang
bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
difahami tersebut.
c.
Conclusion Drawing
( Verifikasi )
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti- bukti yang valid
dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan yang kredibel.
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan
langkah-langkah analisis data diantaranya Reduksi Data, Penyajian Data dan
Verifikasi data.
______________________________________________________________________________
DAFTAR
PUSTAKA
Asrariyah, 2013. “Profesionalisme Aparatur dalam
Pelayanan Publik di Kantor
Camat”eJournal Ilmu Pemerintahan” Volume
1, Nomor 1.
Dwiyanto, Agus, 2006. “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia” Yogyakarta, Gadja
mada University Press.
________, 1995. “Kinerja
Organisasin Publik, kebijakan dan Penerapannya” (Makalah).
Juanda,
2010. “Mewujudkan Kepercayaan dalam Membangun Good Governance” Jurnal
Studi Pemerintahan” Volume 1, Nomor 1.
Miles dan Huberman, 2007.
“Analisis Data Penelitian Kualitatif”
Diterjemahkan oleh
Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Moenir,
A. S, 1992. “Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia” Jakarta, PT. Bumi
Aksara,
Moleong, Lexy, 2004. “Metode Penelitian
Kualitatif, edisi revisi”, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Syafiie, Inu Kencana, 2003. Sistem Administrasi
Negara Republik Indonesia,Cetakan Pertama,PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Saiful,.dkk.
2008, “Reformasi Pelayanan Publik,
Malang”, Averroes Press.
Sedarmayanti, 2007. “Manajemen SDM dan Reformasi Birokrasi”,
Bandung, PT. Refika Aditama.
___________, 2004, Membangun Manajemen Sistem Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju
Good Governance (Kepemerintahan yang Baik), Bandung, Mandar Maju.
Siagian,Sondang, P, 1994, “Patologi Birokrasi; Analisis, Identifikasi dan Terapinya” Jakarta, Ghalia Indonesia.
_____________, 1996. “Manajemen sumber Daya Manusia”, Jakarta, PT. Bumi Aksara.
Syakrani , 2009.
“Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif ‘good governance’, Banja baru, Pustaka Pelajar.
Suriyani, 2011. “Profesionalisme Aparatur
Pemerintah” Jurnal Ilmu Sosial”
Volume 3,
Nomor 1.
Tjokrowinoto, 1996. “Pembangunan, Dilema dan
Tantangan, Yogyakarta” PT. Pustaka
Pelajar.
Thoha.
Miftah, Perilaku Organisasi, Rajawali
Pers, Jakarta, 1999 (cetakan X).
Widodo,.dkk, 2005. “Pembaharuan
Otonomi Daerah”, Yogyakarta, APMD
Press.
Sumber
lain :
Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang.
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Modul AKIP (LAN dan BPKP, 2000 ;
30).
Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
tentang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
__________,
2003. Keputusan MENPAN No. 63 Tahun 2004 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan
Umum, Jakarta.
___________,1997. Departemen Dalam
Negeri, Birokrasi di Indonesia, PT. Penebar Swadaya. Jakarta.1997.
___________LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas
dan Good Governance. (AKIP). Jakarta. LAN RI.
___________Permendagri No.4 Tahun 2010 ttg
Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) .
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. “Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional”
Jakarta, Balai Pustaka.
Website
: