Reformasi
Desa melalui
Daerah
Oleh
Drs. Sutoro Eko, M.Si
Wacana dan aspirasi
otonomi desa semakin menguat selama era reformasi. Dari bawah, berkembang
tuntutan keragaman desa, pembagian kewenangan yang lebih besar, alokasi
anggaran yang memadai, pengembangan kapasitas, peningkatan kesejahteraan
perangkat, pemerintahan desa yang lebih kuat dan baik, dan seterusnya. Alokasi
Dana Desa (ADD), misalnya, menjadi sebuah wacana dan ikon terkemuka belakangan
ini sebagai bentuk distribusi keuangan dari kabupaten ke desa untuk memperkuat
otonomi desa. Secara nasional, pemerintah melalui Depdagari menjalankan
kebijakan yang bersifat inkremental (pelan-pelan dan bertahap) untuk
mengembangkan otonomi desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pada saat yang
sama, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga melakukan percepatan
pembangunan pada desa-desa tertinggal yang jumlahnya sekitar 40% dari total 70
ribu desa di Indonesia. Di tingkat daerah, hampir semua RPJMD membuat agenda
pengembangan otonomi desa dan pemberdayaan masyarakat desa sebagai kebijakan
daerah. Tidak ketinggalan kalangan sektor ketiga (perguruan tinggi, NGOs dan
lembaga-lembaga donor) juga terlibat melakukan advokasi kebijakan nasional dan
daerah serta pengembangan kapasitas desa.
Jika mengikuti amanat UU
No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, desa menjadi domain kewenangan dan kebijakan
pemerintah kabupaten/kota. Amanat UU 32/2004 itu mengandung arti bahwa bupati
mempunyai “cek kosong” untuk mengatur dan mengurus desa. Karena itu pemerintah
kabupaten mempunyai dua jenis kewengan, yakni kewenangan sektoral (kesehatan, pendidikan, pertanian, kehutanan,
pekerjaan umum, industri, pariwisata, dan lain-lain) dan kewenangan spasial (ruang berupa wilayah desa, yang di dalam
wilayah desa terdapat bentang alam, kawasan, penduduk, masyarakat dan
pemerintahan desa).
Meskipun wacana dan
tuntutan otonomi desa semakin menguat, tetapi sampai sekarang belum terumuskan
dengan jelas makhluk apa otonomi desa itu. Semua pihak mungkin sepakat bahwa
otonomi desa adalah kemandirian, tetapi penjabaran lebih lanjutnya memunculkan
berbagai tafsir. Ada yang menafsirkan kemandirian adalah kesendirian, atau
otonomi adalah otomoni (automoney).
Ada juga yang menafsirkan bahwa otonomi desa adalah otonomi asli sehingga tidak
perlu pelimpahan kewenangan dan keuangan dari pemerintah.
Kalau
kita berbicara tentang otonomi desa, maka secara kelembagaan kewenangan menjadi
komponen terpenting. Kewenangan adalah kekuasaan dan hak yang absah untuk
mengatur, mengurus dan bertanggungjawab, yang dalam hal ini terhadap kepentingan
masyarakat setempat. Meskipun kedudukan desa berada dalam subsistem
pemerintahan kabupaten/kota, tetapi desa juga sebagai unit pemerintahan yang
mempunyai sejumlah kewenangan. Karena kewenangan itulah desa juga mempunyai
“otonomi desa” meski bukan “desa otonom”. Menurut UU No. 32/2004 dan PP No.
72/2005, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
desa mencakup:
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul
desa. Asal-usul bisa disebut sebagai hak bawaan atau hak asli (indigenous rights) yang sudah ada dan
dimiliki desa sebelum ada Republik Indonesia. Contohnya adalah hak ulayat di
Sumatera, tanah adat di Kalimantan dan Papua, tanah pecatu di Bali dan NTB,
tanah bengkok di Jawa. Contoh yang lain: desa membentuk susunan asli, menyelenggarakan
peradilan adat, dan melenyelenggarakan kegiatan budaya dan adat istiadat.
Negara prinsipnya melakukan penghormatan dan pengakuan terhadap hak asal-usul
ini.
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa. Kewenangan ini diatur lebih lanjut dalam
Permendagri No. 30/2006 tentang Tatacara penyerahan urusan dari kabupaten/kota
ke desa. Tetapi pada umumnya pemerintah kabupaten/kota belum membuat Perda
tentang penyerahan urusan ini kepada desa.
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Tugas pembantuan ini sebenarnya bukan termasuk dalam
kewenangan karena desa hanya menjalankan tugas dari pemerintah. Dalam PP
72/2005 ditegaskan Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa wajib disertai dengan dukungan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Dalam pasal 10 ayat 3 ditegaskan bahwa Desa
berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan
pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa. Sampai sejauh ini belum ada
realisasi atas pasal ini.
Dimensi kedua setelah kewenangan
adalah perencanaan. Selama ini perencanaan yang terkait dengan desa mengandung
banyak masalah dan kelemahan. Pertama,
perencanaan daerah menghasilkan perencanaan sektoral,
tetapi pendekatan yang ditempuh melalui skema perencanaan spasial dari desa dan
kecamatan. Masyarakat desa memiliki kemampuan sangat terbatas pada
bidang-bidang sektoral. Kedua proses
perencanaan dari masyarakat bawah tidak menentukan hasil akhir perencanaan
daerah. Di atas kertas perencanaan bermula dari bawah (bottom up), tetapi hasilnya ternyata tidak naik. Karena itu
Musrenbang dari bawah/desa hanya formalitas. Ketiga, musrenbang dari bawah
didasari oleh asumsi yang keliru. Pemerintah memberikan peluang besar kepada
masyarakat desa untuk membuat dan mengusulkan perencanaan, tetapi kemampuan
dana benar-benar sangat terbatas. Pendekatan prioritas seperti apapun tidak
mungkin bisa menjawab harapan dan tuntutan masyarakat, kecuali dengan
pendekatan penghapusan sebagaian besar usulan. Keempat, kemampuan desa membuat
perencanaan sangat terbatas, karena memang selama ini tidak disiapkan dengan
baik. Kelima, desa belum mempunyai otonomi dalam perencanaan; dimana
perencanaan desa hanya menjadi bagian dari perencanaan daerah.
Di sisi lain,
keuangan menjadi penting dalam otonomi desa. Ada sisi paradoksal jika kita
melihat kondisi keuangan desa. Pada umumnya desa miskin anggaran (keuangan),
sehingga penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan secara efektif, tingkat
kesejahteraan perangkat sangat rendah, dan juga pelayanan publik kepada warga
desa tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini paralel dengan kemiskinan,
keterbelakangan dan ketertinggalan desa. Padahal sebenarnya kita mengenal
berbagai bentuk/model “uang masuk desa”:
¡ Bantuan yang selama
ini kita kenal sebagai bentuk sedekah atau stimulan (kail/pancing) untuk
memancing swadaya masyarakat. Bantuan punya konotasi desa tidak punya hak atas
uang itu.
¡ Insentif: uang
digunakan untuk merangsang desa berbuat sesuatu, atau sebagai hadiah karena
desa berprestasi. Bupati bisa membuat sayembara pada desa.
¡ Alokasi
(ADD): dana
bagian dari dana desentralisasi, yang dialokasikan sebagai hak desa untuk
membiayai kewenangan desa.
¡ Akselerasi: (a)
pemerintah membiayai proyek percepatan desa-desa tertinggal; atau (b)
distribusi dana khusus untuk mempercepat penyiapan dan realisasi perencanaan
desa.
¡ Investasi: pemerintah
atau swasta membiayai pembangunan kawasan pedesaan, guna memacu pertumbuhan
ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan yang dekat dengan warga desa.
Sebenarnya
banyak uang dari Jakarta yang masuk ke desa, apalagi desa-desa tertinggal. PPK,
P2KP atau sekarang PNPM masuk ke sebagian besar desa di Indonesia. Uang-uang
itu ada yang berbentuk stimulasi maupun akselerasi. Stimulasi artinya dana itu
diberikan kepada masyarakat untuk belajar menggunakan uang secara demokratis,
dan dorongan untuk mobilisasi swadaya. Departemen PU misalnya memberikan uang
250 juta sebagai akselerasi di sejumlah 11 ribu desa tertinggal untuk proyek
infastruktur perdesaan.
Jika
uang tersebut sebagai bentuk investasi yang besar, maka tidak perlu menyatu
dalam sistem pemerintahan, perencanaan dan keuangan desa. Tetapi uang (yang kecil-kecil itu tetapi
banyak jumlahnya) untuk stimulasi dan akselerasi itu menjadi masalah karena tidak
menyatu dalam sistem pemerintahan, perencanaan dan keuangan desa. Ini
merepotkan dan menjadi distorsi luar biasa. Karena itu desa tidak berkembang
secara signifikan meski banyak uang masuk desa. Berbagai uang yang masuk ke
desa tidak secara signifikan mengentaskan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan,
sebab uang-uang itu tidak punya makna investasi sosial dan investasi ekonomi.
UU
No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 membawa perubahan dari sisi pembagian dana/uang
ke desa, dari bantuan desa secara merata ke seluruh desa pada masa Orde Baru,
menjadi model bagian/alokasi yang mengarah pada keadilan. Konsep bagian/alokasi
itu tercermin dalam klausul: (a) bagi hasil
pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa
dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; dan (b)
bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) setelah
dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Selain itu masih ada
bentuk bantuan-bantuan lain dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bantuan
pusat hadir dalam bentuk program-program DAK dari departemen/kementerian maupun
PNPM. Tetapi provinsi jarang sekali yang mengalokasikan anggaran sampai ke
desa. Sebagai contoh yang sudah mengalokasikan anggaran ke desa adalah Provinsi
Jawa Timur melalui Gardu Taskin dengan alokasi Rp 100 juta per desa maupun
Provinsi Papua yang mempunyai program Respek (Rencana Strategis Pembangunan
Kampung) yang mengalokasikan Rp 100 juta per desa/kampung. Program ini akan
disusul oleh provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sulawesi Tenggara.
ADD yang menjadi
kewajiban pemerintah kabupaten saat ini menjadi ikon terkemuka dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. ADD merupakan bentuk alokasi
yang sudah resmi dan jelas untuk mendukung otonomi desa. PP 72/005 menegaskan
bahwa ADD dialokasikan 30% untuk operasional dan 70% untuk pemberdayaan
masyarakat. Alokasi 30% itu tidak termasuk penghasilan atau tunjangan kepala
desa beserta perangkatnya. Komponen penghasilan ini menggunakan pos bantuan
dari pemkab. Sejauh ini ada ada tiga pola ADD:
¡ ADD yang maksimalis:
dialokasikan secara penuh (berpapun jumlahnya) melalui skema block grant. Dasarnya
adalah subsidiarity (menghargai, mempercayai dan mengharhai) disertai
dengan supervisi.
¡ ADD yang minimalis:
dananya kecil sekaligus diatur secara
spesifik (spesific grant) dan rigid (ketat).
¡ ADD yang inkrementalis:
jalan tengah antara minimalis-maksimalis. Pemkab memberi ADD dengan masih
hati-hati, bertahap dan gradual.
Karena kabupaten/kota
mempunyai peran penting dalam mengatur dan mengurus desa, lalau bagaimana jalan
yang ideal dan fisibel untuk reformasi desa? Makalah singkat ini akan membahas
tentang konsep reformasi desa melalui pintu daerah.
Konsep dan Agenda
Sejauh konsep dan
kebijakan nasional tentang desa/desa mengandung dan mengarah pada tiga pilar:
pemerintahan (governance),
pembangunan (rural development) dan
pemberdayaan (empowerment). Tujuan
besarnya adalah mencapai desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Kebijakan
nasional secara inkremental (bertahap dan pelan-pelan) mengarah pada tiga
tujuan. Pertama, mengembangkan
kemandirian (otonomi) desa melalui penyerahan kewenangan, distribusi
pendapatan, pembagian tanggungjawab, pengembangan kapasitas serta inisiatif dan
potensi lokal. Kewenangan maupun inisiatif dan potensi lokal dikerangkai dengan
perencanaan jangka menengah dan jangka tahunan, kemudian dibiayai dengan APBDes
yang bersumber dari pendapatan desa dan alokasi dana dari pemerintah. Kedua, mengembangkan tata pemerintahan
desa yang demokratis yang bercirikan penyelenggaraan pemerintahan desa secara
transparan, akuntabel dan partisipatif. Ketiga,
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan desa yang berkelanjutan
dan pemberdayaan potensi lokal.
Bagaimana mencapainya? Ada
dua perspektif yang hendak kami sampaikan sebagai kerangka penguatan
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayan desa. Perspektif pertama merujuk pada
paradigma pembangunan desa, yang dalam konteks ini lebih tepat menggunakan
paradigma baru (sustainable rural development) sebagaimana tersaji dalam tabel
1.
Tabel 1
Paradigma pembangunan desa
Paradigma
lama (integrated rural development)
|
Paradigma
baru (sustainable rural development)
|
i Fokus pada
pertumbuhan ekonomi
i Redistribusi
oleh negara
i Otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena
pertumbuhan
i Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil
i Negara
menyedian layanan sosial
i Transfer
teknologi dari negara maju
i Transfer aset-aset berharga dari negara maju
i Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
i Sektoral
i Organisasi
hirarkhis untuk melaksanakan proyek
i Peran negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar
|
i Pertumbuhan
yang berkualitas dan berkelanjutan
i Proses
keterlibatan warga yang marginal dalam pengambilan keputusan
i Menonjolkan
nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, dll.
i Negara
membuat lingkungan yang memungkinkan
i Pengembangan
institusi lokal untuk ketahanan sosial
i Penghargaan
terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara
partisipatoris
i Penguatan
institusi untuk melindungi aset komunitas miskin.
i Pembangunan
adalah proses multidimensi dan sering tidak nyata yang dirumuskan oleh
rakyat.
i Organisasi
belajar non-hirarkis
i Peran
negara: menciptakan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,
mendorong tumbuhnya institusi-institusi masyarakat.
|
Sumber: Andrew Shepherd (1998) serta Sutoro Eko
dan Krisdyatmiko (2006)
Paradigma baru
pembangunan desa itu sebenarnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran pembangunan
alternatif (alternative development)
maupun pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang muncul sejak akhir 1970-an. Sementara mainstream pembangunan desa yang selama
ini berkembang terutama terfokus pada penanggulangan (pengurangan) kemiskinan
melalui penyediaan infrastruktur fisik, peningkatan pertumbuhan melalui
produksi pertanian dan penyediaan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan).
Dalam konteks ini, kami tegaskan bahwa pembangunan desa lebih dari sekadar
penanggulangan kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan
kesehatan) dan merubah wajah fisik desa.
Menurut Andrew Shepherd (1998), pembangunan desa merupakan upaya
perbaikan kesempatan dan kualitas hidup (well-being)
individu maupun rumah tangga , khususnya rakyat miskin di desa yang tertinggal
jauh akibat proses pertumbuhan ekonomi.
Mengikuti paradigma sustainable livelihood, pembangunan desa sebenarnya
merupakan proses mengubah penghidupan masyarakat desa dari kondisi yang rentan
(vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset
yang ia miliki dan dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan.
Penghidupan masyarakat adalah suatu kemampuan daya hidup yang dimiliki baik itu
secara material dan sosial, yang
diwujudkan dalam berbagai kegiatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan desa
bersifat multidimensional: mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka
kesempatan bagi rakyat desa menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa,
perbaikan infrastruktur fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik
komunitas warga desa, memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan
pembangunan, membuat demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi
kerentanan (sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh
perhatian pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang
memungkinkan rakyat miskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi
bagi dirinya sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa
merawat infrastruktur dan lain-lain.
Afrika Selatan
adalah sebuah negara yang telah menerapkan paradigma baru pembangunan desa
berkelanjutan. Sejak awal dekade 1990-an, pemerintah Afrika Selatan merumuskan
orientasi dan visi baru pembangunan desa, yakni pembangunan desa berkelanjutan
yang terpadu, dengan tujuan mencapai masyarakat desa yang stabil dan mempunyai
kohesivitas sosial dengan institusi lokal yang tersedia, keberlanjutan ekonomi
dan akses publik pada fasilitas sosial, mampu menunjukkan kemampuan dan
keterampilan rakyat, guna mendukung pertumbuhan dan pembangunan. Pembangunan
desa berkelanjutan yang terpadu ala Afrika Selatan tidak hanya berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi maupun penanggulangan kemiskinan, melainkan
menampilkan enam agenda utama.
a.
Membangun infstruktur fisik desa, yang mencakup
jalan, irigasi, listrik, jaringan komunikasi, air dan sanitasi, perumahan
desa. Infrastuktur desa ini merupakan
fasilitas publik paling dasar yang memungkinkan warga desa melakukan mobilisasi
fisik, menjalin komunikasi, mengairi lahan, menjalin transaksi ekonomi,
menikmati hidup sehat dan nyaman.
b.
Membangun keberlanjutan sosial (social sustainability), yakni membangun
keamanan dan ketahanan sosial warga dan komunitas desa dari berbagai aspek
sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang membuat kerentanan bagi
mereka. Selama ini warga desa sangat
rentan dengan banyak hal: eksploitasi tengkulak, penipuan tenaga kerja,
lemahnya kepastian hukum mengenai kepemilikan tanah, peredaran narkoba,
sengketa tanah, eksploitasi terhadap anak dan perempuan, serangan penyakit
menular, putus sekolah, buta huruf, kematian ibu dan bayi, konflik sosial, dan
seterusnya. Pembangunan sosial desa tentu harus mencakup aspek-aspek ini.
Bagaimanapun keamanan dan ketahanan sosial merupakan prakondisi bagi
pembangunan sosial dan ekonomi desa. Dalam konteks
ini, membangun keberlanjutan sosial mencakup:
·
pemberian jaminan hak-hak
bagi anak dan perempuan;
·
kepastian hukum mengenai pemilikan
tanah, perlindungan terhadap kelompok-kelompok lemah (lansia, penyandang cacat,
buruh tani, anak yatim piatu, dan lain-lain),
·
Pelayanan kesehatan desa
(pengurangan kematian ibu dan bayi, pengurangan penyakit menular, penyediaan
layanan kesehatan, kemudahan akses terhadap layanan kesehatan, dan lain-lain).
·
Pelayanan pendidikan
(penyediaan fasilitas pendidikan, wajib belajar, kemudahan askes pendidikan,
pengurangan buta huruf dan anak putus sekolah, dan lain-lain).
·
Akses informasi warga
terhadap hukum dan layanan sosial.
c.
Membangun ekonomi dan penghidupan desa,
yang mencakup penyediaan lapangan pekerjaan dan menggali pendapatan masyarakat
dengan memanfaatkan aset-aset desa maupun bantuan pendanaan dari pihak luar
desa (pemerintah, bank, NGO, pengusaha, dan lain-lain). Sasaran ini antara lain mencakup:
·
Pengembangan ekonomi desa:
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pariwisata, industri desa, dan
lain-lain.
·
Pengembangan usaha-usaha
kecil dan menengah desa.
·
Penyediaan pasar desa.
·
Pemberian layanan bagi
kelompok tani kecil.
·
Pengelolaan sumberdaya alam
bersama masyarakat setempat.
·
Optimalisasi pengelohan dan
pemasaran hasil-hasil pertanian.
·
Dukungan finansial bagi
usaha desa, kelompok tani, perempuan, dll.
·
Pelibatan kelompok-kelompok
atau organisasi masyarakat dalam menggarap proyek-proyek desa berskala kecil.
d.
Membangun demokratisasi desa. Ini merupakan aspek
politik dalam pembangunan desa, yang mencakup upaya-upaya mememperkuat
akuntabilitas pemimpin desa, transparansi pengelolaan kebijakan dan anggaran
desa, responsivitas pemimpin dan kebijakan desa, serta partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan pembangunan. Demokratisasi dimaksudkan untuk mencegah
dominasi elite desa dalam pembuatan keputusan maupun penguasaan sumberdaya
lokal, mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat
(terutama kelompok-kelompok marginal) ke dalam kebijakan pembangunan desa,
serta mengkondisikan pengelolaan pembangunan yang lebih adil dan merata. Tanpa
ada demokrasi, maka yang terjadi adalah dominasi elite, korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan, marginalisasi kelompok-kelompok yang lemah, ketidakadilan dan
seterusnya. Pengalaman di desa selama ini memperlihatkan fenomena ini dengan
jelas, sehingga demokratisasi merupakan political
space yang harus dibangun di desa. Beberapa
aspek demokratisasi antara lain:
·
Pemilihan kepala desa
secara langsung.
·
Keberadaan wadah perwakilan
rakyat desa yang dipilih secara demokratis dan yang bekerja secara akuntabel,
aspiratif dan representatif.
·
Penyelenggaraan
pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif.
·
Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan, termasuk dalam perencanaan
anggaran desa.
·
Terbukanya ruang publik di
desa.
·
Akses informasi.
·
Tersedianya
organisasi-organisasi atau forum-forum warga sebagai wadah untuk partisipasi.
e.
Membangun kapasitas institusional desa dalam perencanaan, penganggaran dan
pelaksanaan. Kapasitas lokal merupakan tujuan dan sekaligus prakondisi
desentralisasi dari pusat ke lokal. Di satu sisi, desentralisasi berupaya
memperkuat prakarsa dan kapasitas lokal sehingga bisa menopang kemandirian
lokal, dan di sisi lain, otonomi lokal akan berjalan dengan baik dan mencapai
keberhasilan apabila ditopang dengan kapasitas lokal dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan.
f.
Membangun modal sosial masyarakat desa.
Modal sosial sering dipahami sebagai struktur (organisasi lokal atau wadah)
untuk mengembangkan norma-norma sosial (kerjasama, kepercayaan, solidaritas,
swadaya, dan lain-lain) bagi masyarakat. Pembangunan desa tentu harus diorientasikan
juga untuk mengembangkan modal sosial ini, sebagai basis partisipasi dan
kemandirian masyarakat desa. Mengapa? Pertama, negara tidak mungkin mampu menyediakan
seluruh layanan sosial kepada seluruh warga masyarakat karena keterbatasan dan
kelangkaan. Kedua, sebagai self-governing community desa sudah lama
memiliki kekuatan modal sosial, misalnya dalam bentuk organisasi lokal,
gotong-royong maupun swadaya masyarakat untuk menopang dan bahkan membiayai
urusan-urusan publik yang tidak dijangkau negara. Karena itu upaya membangun
modal sosial desa mencakup beberapa hal penting:
·
Keberadaan
organisasi-organisasi lokal desa yang bekerja secara efektif sebagai wadah
kerjasama dan partisipasi masyarakat desa.
·
Bekerjanya gotong-royong
dan swadaya masyarakat desa.
Meminjam konsep
pembangunan desa berkelanjutan itu, makalah ini mengidentifikasi 8 pilar
penting dalam pembangunan desa. Delapan pilar itu adalah pemerintahan,
perencanaan, keuangan dan penganggaran, institusi lokal, ekonomi lokal,
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Perspektif kedua adalah tatakelola (governance) yang akan menjadi kerangka
integrasi 8 pilar ke dalam sistem pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan.
Kami merumuskan kerangka governance ke dalam bagan 1 di bawah. Kotak besar
(yang bersisi kewenangan, perencanaan dan penganggaran) merupakan komponen
kelembagaan otonomi desa, yang sekaligus menjadi wadah integrasi pembangunan desa.
Dengan kalimat lain, perencanaan dan penganggaran daerah bukan sekadar “bermula” dari bawah (bottom
up) dari desa, tetapi betul-betul berbasis dan berorientasi pada desa. Kewenangan beserta kebutuhan lokal disusun
menjadi perencanaan (RPJMD dan RKPD), dan perencanaan ini dilanjutkan dengan
penganggaran ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Perencanaan desa ini tentu akan mewadahi dan mempromosikan kesejahteraan
rakyat. Kotak besar itu sekaligus menjadi “alat politik” bagi desa untuk
mempekuat kemandirian dan kekuasaan lokal. Semua program dan dana yang masuk ke
desa terwadahi ke dalam kotak integrasi sistem perencanaan dan penganggaran (planning and budgetary system) desa
tersebut. Angka (1) memberikan gambaran tentang peran provinsi yang menyiapkan
kebijakan/peraturan pembangunan desa terpadu, yang menjadi acuan bagi
kabupaten/kota seluruh NAD.
Perencanaan terpadu desa
sebaiknya berorientasi pada target-target pencapaian kesejahteraan, misalnya
dengan menggunakan kriteria MDGs. Target dan indikatornya harus konkret,
fisibel serta mudah dipahami dan dijalankan oleh desa. Target-target ini akan
dimasukkan ke dalam perencanaan desa dan dijalankan oleh desa. Sebagai contoh: 100%
anak berusia sekolah tahun wajib bersekolah;
0% siswa wajib belajar yang putus sekolah; 0% angka mortalitas (kematian ibu
hamil/melahirkan dan anak baru lahir); 0% anak penderita
gizi buruk; 100% jalan utama di desa sekurang-kurangnya sudah dikeraskan dengan
matareial lokal; lebih dari 50% rumah penduduk berstatus rumah sehat; tersedia
sarana air bersih; setiap rumah tangga memiliki sarana MCK, dan sebagainya.
Angka (2), dengan
mengacu kebijakan makro provinsi, pemerintah kabupaten/kota menjabarkan dan
melembagakan perda tentang desa yang mengatur tentang kedudukan, penyerahan
kewenangan, alokasi dana desa serta sistem perencanaan dan penganggaran desa. Angka (3) provinsi
berperan memberikan insentif, stimulan dan akselerasi program dan dana terhadap
perencanaan-penganggaran untuk pembangunan desa. Angka (4) merupakan fondasi
lokal dari bawah, yakni dari masyarakat desa: kemampuan, inisiatif dan
partisipasi. Kapasitas memungkinkan sistem perencanaan dan penganggaran bisa
bekerja secara efektif; inisiatif merupakan kata kunci kemandirian desa dan
partisipasi (voice, akses dan kontrol) memungkinkan perencanaan-penganggaran desa
bekerja secara demokratis dan menjawab masalah dan kebutuhan warga. Angka (5)
adalah peran pemberdayaan (pendidikan, pengorganisasian dan partisipasi) yang
bisa dimainkan oleh CSOs. Dalam angka (6) CSOs bisa juga melakukan capacity
building terhadap desa untuk mengelola pemerintahan, perencanaan dan
penganggaran desa.
Bagan 1
Tatakelola integrasi
perencanaan dan penganggaran desa
(1)
(3)
(2)
(4)
(6)
(5)
Ada dua strategi besar yang bisa dilakukan. Pertama, capacity building sebagai strategi intervensi untuk
pemerintah dan pemerintah desa. Kedua,
strategi pemberdayaan (penguatan kemampuan, inisiatif dan partisipasi) untuk
masyarakat. Pengembangan kapasitas (capacity building) bukan sekadar pendidikan
dan pelatihan kepada individu yang terlibat atau berkaitan dengan pembangunan desa.
Dalam konteks ini, pengembangan kapasitas mencakup level sistem (kebijakan
pemerintah provinsi dan kabupaten), organisasional (desain kelembagaan, proses,
pembagian peran, instrumen, sumberdaya dan lain-lain) dan individual
(pengetahuan, inisiatif, keterampilan, komitmen). Tabel 2 mendeskripsikan
pengembangan kapasitas 3 level ini ke dalam level pemerintahan (provinsi,
kabupaten, kecamatan dan desa).
Tabel 2
Kerangka pengembangan
kapasitas
untuk 4 level
pemerintahan
Sistem
|
Organisasional/Institusional
|
Individual
|
|
Provinsi
|
Fasilitasi penyusunan perda tentang pembangunan desa
yang mengintegrasikan pemerintahan, perencanaan dan penganggaran
|
Penguatan program desa yang lebih canggih, dukungan dana yang lebih
besar dan proporsional, dan menyatu dalam sistem perencanaan-penganggaran desa
|
Pengembangan kemampuan pejabat/aparat provinsi
menyusun kebijakan yang lebih baik, sekaligus melakukan implementasi,
monitoring dan evaluasi.
|
Kabupaten
|
i Fasilitasi Kabupaten menyiapkan RPJMD yang pro desa dan pro poor
i Fasilitasi Kabupaten menyiapkan rencana strategis pembangunan desa.
i Fasilitasi kabupaten menyusun Perda tentang desa yang komprehensif dan
integratif, yang di dalamnya memuat ADD
|
Asistensi kabupaten menyiapkan delivery system (disain kelembagaan,
pembangian peran, implementasi, penegakan hukum, koordinasi, supervisi,
monitoring, evaluasi).
|
Pengembangan kemampuan pejabat/aparat kabupaten menyusun
kebijakan yang lebih baik, sekaligus melakukan mengawal delivery system
|
Kecamatan
|
Kecamatan mempunyai kedudukan dan kewenangan yang
jelas sebagai penyelia dan fasilitator desa
|
Fasilitasi kecamatan menyiapkan kerangka kerja
atau disain kelembagaan untuk kegiatan koordinasi dan fasilitasi desa.
|
Pengembangan kapasitas aparat kecamatan untuk
menjadi fasilitator desa
|
Desa
|
Fasilitasi desa menyiapkan peraturan desa tentang
sistem perencanaan dan penganggaran desa (RPJMDes, RKPDes, APBDes) yang
terpadu.
|
Asistensi terhadap penyiapan delivery system perencanaan-penganggaran desa untuk menjamin
efektivitas pemerintahan, pengembangan institusi lokal, pengembangan ekonomi
lokal, perbaikan infrastruktur, peningkatan pendidikan dan kesehatan
|
Pengembangan kapasitas pemerintah desa dan
institusi lokal menjalankan delivery system pengelolaan pemerintahan dan
pembangunan desa.
|
Pengembangan Kapasitas
Desa
Pengembangan
kapasitas khusus untuk desa perlu dijabarkan secara khusus dan lebih lanjut. Paling
tidak ada empat relevansi besar mengapa
pengembangan kapasitas pemerintah desa dibutuhkan. Pertama, seperti yang akan saya kemukakan di
bawah kapasitas pemerintah desa masih terbatas dalam menjalankan fungsi
regulasi, pelayanan dan pemberdayaan atau fungsi pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Para perangkat desa tidak
hanya menuntut kesejahteraan, tetapi mereka juga selalu mengusulkan kepada
pemerintah daerah agar dilakukan peningkatan kapasitas, atau “pembinaan”, yang
intensif kepada desa, lebih dari sekadar
sosialisasi peraturan dalam tempo satu hari.
Kedua, pengembangan kapasitas pemerintah desa tidak
memperoleh perhatian yang serius dari/oleh pemerintah. Sejak dulu pemerintah
telah mempunyai kebijakan dan perangkat pengembangan kapasitas, misalnya
melalui skema pendidikan dan latihan, terhadap para pegawai negeri sipil baik
pusat maupun daerah. Sekarang di era otonomi daerah, pemerintah pusat melalui
Depdagri dan Bappenas yang bekerjasama dengan sejumlah lembaga donor
internasional, telah mengeluarkan kerangka nasional dan langkah-langkah konkret
dalam mengembangkan kapasitas pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan
desentralisasi. Tetapi skema yang sama tidak masuk desa. Demikian juga dengan
pemerintah kabupaten, yang bertanggungjawab mengatur dan mengurus desa, sampai
sekarang belum mempunyai kebijakan dan kerangka kerja yang memadai untuk
mengembangkan kapasitas pemerintah desa. Fasilitasi pemerintah kabupaten selalu
terbatas pada sosialisasi kebijakan dan pemberian pelatihan singkat yang
bersifat ad hoc. Pengembangan kapasitas pemerintah desa justru sering dilakukan
oleh pihak ketiga (perguruan tinggi maupun NGOs), tentu dengan energi dan
jangkauan yang sangat terbatas.
Ketiga, kapasitas merupakan sebuah esensi dan basis otonomi (kemandirian) desa. Lennart Lundquist (1987: 38-39), misalnya, mengemukakan bahwa kapasitas merupakan salah satu dimensi internal dalam konsep otonomi, yaitu kapasitas untuk mewujudkan dan mencapai tujuan yang diputuskan. Dimensi ini menyatakan keadaan nyata pemerintah dan komunitas lokal, sumberdaya ekonomi sosial dan politik yang dimiliki untuk bertindak. Di sisi lain banyak orang sering mengemukakan bahwa kemampuan merupakan modal dasar bagi kemandirian. Bahkan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal merupakan bagian inheren dalam proses desentralisasi. Kecenderungan internasional ke arah desentralisasi dewasa ini menimbulkan perdebatan yang bersemangat tentang kapasitas pemerintah dan komunitas lokal untuk merencanakan, membiayai, dan mengelola tanggung jawab mereka (Jennie Litvack and Jessica Seddon, 2001). Penilaian, perbaikan, dan akomodasi tingkat kapasitas lokal yang beragam semakin lama semakin menjadi penting ketika kebijakan desentralisasi menyerahkan kekuasaan, tanggung jawab, dan anggaran yang lebih besar dari pemerintah nasional kepada pemerintah daerah, desa dan komunitas lokal.
Kapasitas
adalah sebuah konsep yang sangat teknokratis, dan sudah lama dikenal dalam
manajemen pemerintahan. Di dalamnya mengandung esensi keahlian, keterampilan,
profesionalitas, efektivitas, efisiensi, kinerja dan seterusnya. Kapasitas sering dimengerti sebagai kemampuan
seseorang atau individu, suatu organisasi atau suatu sistem untuk melaksanakan
fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuan-tujuan secara efektif
dan efisien (GTZ dan USAID, 2001). Tidak jauh berbeda, Anneli Milèn (2001)
mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individual, organisasi dan sistem
untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsinya secara efektif, efisien dan
berkelanjutan. Kapasitas juga harus dilihat sebagai kemampuan untuk mencapai
kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) dan hasil-hasil (outcomes). Kapasitas tidak dapat dipandang sebagai
sesuatu yang statis, melainkan harus ditempatkan di dalam suatu konteks dinamis
dengan kondisi-kondisi kerangka maupun perkembangan zaman yang berubah.
Berangkat
dari definisi itu tampaknya kapasitas bekerja pada tiga level yang saling
terkait. Pertama, level individu, yaitu tingkat pengetahuan, wawasan, keterampilan dan
kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja. Kedua,
level kelembagaan atau organisasi, yaitu tingkat kemampuan badan/lembaga dengan
struktur organisasi tertentu, mekanisme pengambilan keputusan, proses-proses
kerja, aturan main internal, budaya kerja dan lain-lain. Ketiga, level sistem yang menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang
memungkinkan (enabling) dan yang
membatasi (constraining) pemerintah,
dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama lain. Kapasitas
sistem ini mencakup kemampuan pemerintah menyiapkan dan melaksanakan kebijakan
secara efektif di tengah-tengah masyarakat. Karena itu kapasitas sistem ini
tidak lepas dari pengaruh konteks politik dan masyarakat.
Kapasitas yang bekerja pada tiga level itu juga merupakan
persoalan manajerial. Ada empat bidang keahlian umum:
mengidentifikasi dan menganalisis persoalan lokal untuk merencanakan tanggapan
yang tepat, mengerahkan dan mengelola sumberdaya, mengkomunikasikan dan
mengkoordinasikan implementasi kebijakan, dan memecahkan konflik lokal (Norman
Uphoff, 1997). Pandangan serupa juga
dikemukakan oleh Anelli Milèn (2001), bahwa kemampuan inti suatu organisasi
terdiri dari: menganalisis lingkungan, menetapkan isu-isu pokok, merumuskan
strategi, melaksanakan tindakan, memonitor kinerja, menjamin kinerja,
menyeseuaikan cara bertindak untuk mencapai sasaran dan memperoleh pengalaman
serta keahlian baru untuk menghadapi tantangan baru yang berkembang.
Perspektif di atas tentu relevan
untuk membuat kerangka tentang kapasitas desa. Di semua level pemerintahan,
termasuk di desa, selama ini mengenal ikon SDM (sumberdaya manusia), yang
sebenarnya untuk menunjuk kemampuan individual pemimpin, perangkat, maupun
masyarakat. Lebih dari sekadar kemampuan
individual (SDM), kapasitas desa merupakan sesuatu yang sistemik dan
manajerial, yang di dalamnya mengandung proses interaksi antara pemerintah
desa, BPD, lembaga-lembaga masyarakat dan warga. Rencana strategis desa,
rencana pembangunan, Peraturan Desa, dan APBDes merupakan empat basis dan
instrumen kapasitas desa. Keempatnya bukanlah sesuatu yang dimonopoli oleh
pemerintah desa dan BPD, meski keduanya mempunyai kewenangan dan tanggungjawab
besar, tetapi juga harus melibatkan unsur-unsur masyarakat, sehingga semua
aktor di desa mempunyai kesempatan bersama belajar mengembangkan kapasitas.
Kapasitas desa tentu tidak bisa
dilihat hanya dari sisi pekerjaan pemerintah desa menjalankan peraturan dan
perintah supradesa. Kita harus melihat basis kapasitas desa dari sisi
perencanaan pembangunan desa ataupun rencana strategis. Meski UU No. 25/2004
dan UU No. 32/2004 tidak mengenal perencanaan desa, tetapi PP No. 72/2005 telah
memberikan amanat dan arahan agar desa menyiapkan perencanaan jangka menengah
desa dan rencana pembangunan tahunan. Kita bisa mencermati sejumlah hal tentang
rencana desa, baik yang menyangkut substansi, proses dan relevansi. Pertama, visi, misi, tujuan, sasaran,
kebijakan, program dan strategi untuk mencapainya. Umumnya rencana strategis ini merupakan
jawaban terhadap masalah-masalah pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
yang dihadapi desa, sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat, sekaligus
sebagai pijakan untuk mengembangkan potensi dan prakarsa lokal untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua,
rencana desa idealnya dibangun secara partisipatif melibatkan berbagai komponen
pemerintahan dan masyarakat desa. Dengan kalimat lain, rencana desa sebenarnya
bukanlah sebuah dokumen master plan
desa, tetapi sebagai hasil dari sebuah proses kontrak sosial di desa. Tanpa
partisipasi biasanya renstra hanya berisi preferensi elite desa, kurang
responsif terhadap kebutuhan masyarakat, tidak dimiliki oleh seluruh komponen
desa sehingga renstra bagaikan dokumen yang mati. Karena itu rencana desa
sebaiknya disiapkan dengan mengikuti skema demokrasi deliberatif, yaitu melalui
diskusi, debat dan musyawarah yang melibatkan berbagai elemen masyarakat desa,
termasuk komponen perempuan maupun kaum miskin. Ketiga, rencana desa menjadi pijakan dan referensi bagi perumusan
rencana pembangunan, peraturan desa dan anggaran desa (APBDes).
Penguatan kapasitas atau sering disebut capacity building
atau “pembinaan” menurut bahasa birokrasi, bukan sekadar pendidikan, pelatihan,
penataran, penyuluhan, sosialisasi dan lain-lain. Jika berdasar pada kerangka nasional
pengembangan kapasitas pemda yang dirumuskan pemerintah pusat, engembangan dan
peningkatan kapasitas mengacu kepada kebutuhan akan: penyesuaian
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi
prosedur-prosedur kerja dan mekanisme-mekanisme koordinasi, peningkatkan
keterampilan dan kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan
sikap atau perilaku sedemikian rupa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan
kebutuhan otonomi daerah, sebagai suatu cara pendekatan baru kearah
pemerintahan, administrasi dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif
yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih demokratis.
Anelli Milèn (2001) menyatakan bahwa
pengembangan kapasitas adalah sebuah proses berkelanjutan, dimana individu,
kelompok, organisasi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk: (1)
menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah dan mencapai tujuan; dan (2)
memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam konteks yang
lebih luas dengan cara yang berkelanjutan.
Dengan mengikuti
pendekatan yang sistemik dalam proses politik dan pemerintahan, ada beberapa
bentuk kemampuan (kapasitas) desa yang perlu dikembangkan dalam rangka
membangun otonomi desa.
Pertama,
kapasitas regulasi (mengatur). Kapasitas regulasi adalah kemampuan pemerintah
desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk)
dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat.
Pengaturan bukan semata-mata bertujuan untuk mengambil sesuatu (melakukan
pungutan), tetapi begitu banyak pengaturan yang berorientasi pada pembatasan
kesewenang-wenangan, perlindungan, pelesatarian, pembagian sumberdaya (jabatan
desa, kekayaan desa, pelayanan publik), pengembangan potensi desa, penyelesaian
sengketa, dan seterusnya. Berbagai macam peraturan desa pada prinsipnya
dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keseimbangan, keadilan,
keberlanjutan dan lain-lain.
Kedua,
kapasitas ekstraksi. Kapasitas ekstraksi adalah kemampuan mengumpulkan,
mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan
(kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Paling tidak, ada enam aset
yang dimiliki desa: (a) Aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalan desa,
sarana irigasi, dll); (b) Aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang,
kolam, dll); (c) Aset manusia (penduduk, SDM); (d) Aset sosial (kerukunan
warga, lembaga-lembaga sosial, gotong-royong, lumbung desa, arisan, dll); (e)
Aset keuangan (tanah kas desa, bantuan dari kabupaten, KUD, BUMDes dan (f) Aset
politik (lembaga-lembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, rencana
strategis desa, peraturan desa, dll).
Untuk
meningkatkan kemampuan ekstraksi ini memang tidak mudah, tetapi juga tidak
terlalu sulit. Yang jelas tidak semuanya padat modal, atau butuh dana besar. Umumnya
langkah awal peningkatan kemampuan ekstraksi dimulai dengan analisis potensi
desa (termasuk pemetaan tata ruang desa) yang kemudian dirumuskan menjadi
rencana strategis desa. Rencana strategis mencakup tentang visi desa, yang
kemudian dijabarkan menjadi rangkaian kebijakan, program dan kegiatan. Seorang
Lurah Desa yang diberi mandat selama lima tahun memang bukan semata-mata untuk
membangun praja tetapi menghadapi tantangan yang berat, yaitu bagaimana dan
kemana desa akan dibawa selama lima tahun? Apakah Pak Lurah sudah cukup puas
karena bersedia memberikan pelayanan kepada masyarakat nonstop selama 24 jam,
atau sudah sangat puas karena peranannya sebagai “ujung tombak” dan “ujung
tombok”? Tentu saja tidak.
Termasuk
dalam kapasitas ekstraksi adalah kemampuan pemimpin, terutama kepala desa,
melakukan konsolidasi (merapatkan barisan) terhadap berbagai aktor, baik BPD,
lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat. Kalau Lurah Desa dan BPD
masih saja ribut, maka tidak bakal membawa pemerintahan dan pembangunan secara
efektif, apalagi membawa visi-misi besar desa. Karena itu berbagai unsur desa
itu harus membangun kesepahaman, keterbukaan, kemitraan, kebersamaan, saling
mengisi untuk mengawal visi-misi desa jangka panjang.
Ketiga,
kapasitas distributif. Kapasitas distributif adalah kemampuan pemerintah desa
membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas
kebutuhan masyarakat desa. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah
kemampuan pemerintah desa merancang APBDES, terutama dalam hal pengeluaran
(alokasi). Umumnya pemerintah desa mempunyai kapasitas distributif yang masih
sangat lemah, karena sebagian besar alokasi keuangan desa digunakan untuk
belanja rutin perangkat desa, sementara dana pembangunan masih sangat minim.
Sudah minim, itu pun lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan fisik,
sementara yang untuk alokasi ekonomi produktif sangat terbatas.
Keempat, kapasitas responsif. Kapasitas
responsif adalah kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap
aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam
perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini harus ditempa terus,
sebab selama ini agenda perencanaan pembangunan desa cenderung berangkat dari
kepentingan elite desa.
Kelima, kapasitas jaringan dan
kerjasama. Kapasitas jaringan adalah kemampuan pemerintah dan warga masyarakat
desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam rangka
mendukung kapasitas ekstraktif. Asosiasi kepala desa atau forum BPD, misalnya,
bisa digunakan sebagai wadah untuk membangun kerjasama antardesa. Demikian juga
kerjasama dengan perguruan tinggi maupun LSM. kelima kapasitas tersebut kalau
dijabarkan tampaknya akan diperoleh daftar panjang kemampuan yang harus
dikembangkan di level desa. Rangkaian kemampuan itu tentu bersifat sistemik,
baik secara individual maupun institusional.
Sebelum
berbicara tentang langkah-langkah strategis dan pendekatan pengembangan
kapasitas desa, ada baiknya kita perhatikan sejumlah prinsip dasar yang berguna
untuk mencapai kelima kapasitas desa di atas. Pertama, pengembangan kapasitas tentu tidak hanya mencakup proses
pembelajaran di tingkat lokal, melainkan juga membutuhkan kebijakan dan program
dari pemerintah supradesa, yang sampai sekarang sering disebut sebagai
pembinaan. Pembinaan, meski mengandung
substansi dan cara yang salah, sebenarnya menurut pemerintah keduanya identik
dengan pengembangan kapasitas desa. Sebagai kebijakan/program, tentu pengembangan
kapasitas desa tidak bisa dilakukan secara ad hoc, misalnya hanya dalam bentuk
pelatihan semata, tetapi juga membutuhkan kerangka tujuan, substansi dan
proses. Dengan kerangka ini, pengembangan kapasitas desa tidak hanya mencakup
pengembangan SDM, tetapi juga masuk ke ranah institusional (prosedur, tatacara
maupun mekanisme pengambilan keputusan di aras desa) dan ranah sistem
(perencaan, kebijakan dan peraturan desa). Pengembangan kapasitas desa
sebaiknya diarahkan pada titik pengelolaan kewenangan/urusan, perencanaan dan
keuangan desa, kemudian didukung oleh komponen lain seperti perangkat desa,
pembagian kerja, relasi pemerintah desa dengan unsur-unsur lain, serta
kapasitas menumbuhkan demokrasi desa.
Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama,
pengembangan kapasitas membutuhkan skala prioritas. Pengembangan dan
peningkatan kapasitas merupakan kegiatan multidimensi yang memerlukan orientasi
jangka menengah. Disamping kegiatan prioritas jangka pendek, perlu diimbangi
dengan kegiatan jangka menengah dan jangka panjang yang direncanakan secara
terpadu. Mengingat kebutuhan pengembangan kapasitas sangat besar bila
dibandingkan dengan sumber daya keuangan dan manusia yang tersedia, maka
penyusunan prioritas dan pentahapan kegiatan pengembangan kapasitas menjadi
sangat penting. Prioritas awal adalah mengklarifikasi kebijakan dan kerangka
peraturan yang berkaitan dengan desentralisasi, sehingga kapasitas yang
tersedia pada semua level pemerintah dan masyarakat bisa bergerak kearah yang
dituju.. Prioritas selanjutnya adalah memecahkan isu-isu yang saling terkait
dan antar-sektor sebelum berhubungan
dengan isu-isu masing-masing sektor dan masing-masing bidang.
Ketiga, program pengembangan
kapasitas desa mencakup semua
stakeholder yang berkepentingan terhadap desa. Pemberdayaan kapasitas dalam kaitannya dengan
desa harus mengalamatkan kepada tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda:
kabupaten/kota, kecamatan dan desa sendiri. Kegiatan ini juga harus ditujukan
kepada banyak pelaku atau pihak-pihak yang terkait lainnya (stakeholders), tidak hanya sektor
publik tetapi juga DPRD, partai politik, lembaga-lembaga pendukung,
kelompok-kelompok masyarakat setempat serta organisasi masyarakat sipil.
Pengembangan kapasitas desa memerlukan reformasi kelembagaan pada berbagai
tingkat pemerintahan, modifikasi sistem dan mekanisme kerja instansi sektor
publik dan penyesuaian gaya dan instrumen manajemen. Karena itu diperlukan
upaya yang substansial dalam pengembangan pengetahuan dan keterampilan,
pelatihan dan pendidikan politik.
Keempat, pengembangan kapasitas desa membutuhkan pola-pola interaksi yang baik.
Pengembangan kapasitas desa juga merupakan perubahan pola-pola interaksi di
antara instansi pemerintah dan antara instansi pemerintah dengan masyarakat.
Dalam konteks desa, pengembangan kapasitas harus mendukung terjadinya proses
pengembangan kelembagaan yang demokratis melalui partisipasi masyarakat dalam
proses pemerintahan dan pembangunan sejak tahap awal perencanaan, serta
menjamin terjadinya proses kontrol yang berimbang (checks and balances). Transparansi dan akuntabilitas dan
responsivitas pemerintah desa perlu dimulai melalui proses partisipasi
masyarakat. Berkembangnya budaya
penyediaan dan pelayanan yang baik dari setiap proses administrasi pada
pemerintahan desa merupakan salah satu sasaran yang harus tercapai dalam
program pengembangan kapasitas desa.
Kelima, pengembangan kapasitas juga
harus berbasis kebutuhan dan kemampuan
desa. Khususnya pelatihan dan bantuan teknis kepada pemerintah desa
seharusnya berdasarkan permintaan (demand-driven)
bukan program yang telah ditentukan sepihak oleh pemerintah supradesa (supply-driven). Prakarsa-prakarsa
pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk desa harus mempertimbangkan
kondisi dan kebutuhan spesifik desa, dan sejauh mungkin dihindari upaya
penggunaan pendekatan yang standar dan seragam. Pengembangan tukar menukar
inovasi, pengalaman yang diperoleh, dan pembelajaran pendekatan antar desa (horizontal
networking) adalah elemen kunci dalam strategi pengembangan kapasitas.
Pengalaman, hasil-hasil, pendekatan dan instrumen didokumentasikan secara
proporsional dan di koordinir oleh kabupaten sehingga tersedia dengan mudah
bagi desa atau bahkan daerah lain untuk mempercepat proses penyebaran dari
praktek yang baik dan teruji.
Bagian
terakhir tulisan ini akan menyajikan sejumlah strategi yang utuh dan
berkelanjutan untuk mengembangkan kapasitas desa, untuk mencapai kehidupan desa
baru yang lebih demokratis, mandiri dan sejahtera.
1. Strategi
desentralisasi
Pendekatan
tradisional terhadap desentralisasi adalah membangun kapasitas sebelum
menyerahkan tanggung jawab atau pendapatan. Cara yang hati-hati ini didorong
oleh kekhawatiran tentang pengeluaran yang tidak bertanggung jawab, korupsi
lokal, ketidakmerataan daerah, runtuhnya pelayanan juga oleh keengganan banyak
pemerintah pusat untuk melimpahkan otoritas. Beberapa analis bahkan berargumen
bahwa kurangnya kapasitas lokal, diantara faktor lain, membuat desentralisasi
tidak efektif dan bahkan tidak diinginkan di negara-negara berkembang. Di
Indonesia, seringkali pemerintah mengedepankan argumen bahwa daerah dan desa
tidak mempunyai kemampuan yang memadai, sehingga pemerintah enggan melakukan
desentralisasi ke daerah.
Pendekatan tradisional
sedang berubah, bukti semakin bertambah memperlihatkan bahwa kapasitas semua
lapis pemerintahan meningkat sama seperti sistem pelayanan yang
didesentralisasikan menjadi dewasa. Ada apresiasi bahwa “manajemen adalah
sebuah seni kinerja” lebih baik dipelajari
dengan melaksanakan daripada dengan mendengarkan. Banyak penelitian
melaporkan bahwa kapasitas pemerintah lokal tengah mengalami peningkatan,
menyusul prakarsa desentralisasi di India, Fipilina, Indonesia, Thailand dan
juga di kawasan Amerika Latin. Bagaimana pemerintah lokal menangani
desentralisasi yang lebih lengkap tidak diketahui. Penelitian yang
berkesinambungan di Bolivia memperlihatkan bahwa investasi pendidikan
pemerintah lokal lebih rasional dan lebih sejalan dengan kebutuhan lokal
daripada semua pengeluaran pemerintah
nasional (Jean-Paul Faguet, 1997). Secara umum, banyak bukti menunjukkan bahwa
desentralisasi meningkatkan partisipasi lokal dan karenanya pengaruh pemerintah
lokal dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya nasional dan mendorong
pengembangan keterampilan manajemen dan perencanaan publik.
Di Indonesia, keyakinan
tentang makna dan relevansi desentralisasi tampak mulai menipis antara karena
informasi yang paling mengemuka adalah sejumlah distorsi: munculnya raja-raja
kecil, korupsi berjamaah antara eksekutif dan legislatif, pemda yang tampil
sebagai predator, retribusi dan pajak daerah yang meningkat dan lain-lain. Di
balik itu, sebenarnya desentralisasi telah membuka kesempatan dan tantangan
yang luas bagi daerah, desa dan masyarakat untuk belajar secara serius dan
berkelanjutan dalam mengembangkan kapasitas, potensi dan prakarsa lokal,
inovasi pemerintahan, dan partisipasi masyarakat. Sekarang banyak daerah yang telah bekerja
keras melakukan reformasi pelayanan publik maupun pembaharuan desa, yang secara
langsung masyarakat bisa menikmati proses dan hasilnya. Jika dulu kepemimpinan
lokal tumbuh secara sentralistik dan dimonopoli oleh birokrasi dan militer,
sekarang potensi kepemimpinan lokal alternatif yang berbasis masyarakat mulai
tumbuh semarak, yang membuat desentralisasi lebih bermakna baik di daerah maupun
di desa.
Berbagai pelajaran
berharga itu kini merubah cara pandang lama tentang kapasitas sebagai penopang
desentralisasi. Kini argumennya
bergeser, bahwa desentralisasi dan penguatan kapasitas bisa berjalan bersama,
dan yang lebih penting, justeru desentralisasi sendiri dapat manjadi cara
paling baik untuk membangun kapasitas lokal (Xavier Furtado, 2001). Berikut ini
akan kami sampaikan rangkaian kesimpulan Lokakarya Konsultasi Teknik tentang
Desentralisasi dan Pembangunan Pedesaan yang digelar oleh Food
and Agriculture Organization (FAO), Roma, Desember 1997:
Lebih dari
sekadar merencanakan dan membuat investasi di muka yang besar dalam
pengembangan kapasitas lokal sebagai prasyarat devolusi, ada konsensus luas
bahwa akan lebih cepat dan lebih berbiaya-efektif untuk memulai proses
devolusi, memungkinkan learning by doing dan membangun kapasitas melalui
praktek. Banyak bukti makin memperlihatkan bahwa kapasitas lokal dapat dibangun
oleh proses desentralisasi, terutama ketika program-program yang tepat untuk
meningkatkan hubungan dengan sektor swasta dan masyarakat dimasukkan dalam
desain desentralisasi.
Rangkaian
keyakinan tentang desentralisasi, otonomi desa dan kapasitas di atas akan kami
eleborasi lebih lanjut, untuk menjawab kapasitas apa yang harus dimiliki desa
serta strategi dan langkah-langkah konket untuk menempa kapasitas desa.
2.
Strategi subsidiarity
Fasilitasi dan supervisi
bisa berjalan dengan baik kalau dikembangkan subsidiarity kepada desa. Subsidiarity
adalah lokalisasi pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan oleh struktur
atau organisasi di level bawah. Kalau organisasi lokal mempunyai kemampuan
bertindak yang bisa dipertanggungjawabkan, maka keputusan cukup diambil di
tingkat lokal, tidak perlu ditarik ke organisasi yang lebih tinggi (A.
Follesdal, 1998). Sebagai contoh, kalau desa mempunyai kemampuan mengelola
konflik, perkawinan, melakukan pungutan berskala kecil, harta desa, dan lain
sebagainya, maka keputusan dan kewenangan untuk hal-hal itu tidak perlu dibawah
naik ke kabupaten. Desa tidak perlu dipaksa menunggu keputusan maupun juklak
dan juknis dari kabupaten. Subsidiarity
niscaya akan memberikan banyak manfaat bagi desa: (1) membatasi
kesewenang-wenangan pemerintah atasan; (2) memberi ruang belajar untuk maju bagi
pemerintah desa; (3) memperkuat prakarsa, kapasitas, tanggungjawab dan
kemandirian pemerintah desa. Melalui subsidiarity,
niscaya semangat kemandirian dalam otonomi desa bisa dibangun meski membutuhkan
waktu panjang.
Jika kita percaya pada
desentralisasi dan subsidiarity, maka
tindakan menghargai, mempercayai dan menantang desa harus dilakukan untuk
memberdayakan dan membangun otonomi desa.
Menghargai, mempercayai dan menantang desa tentu tidak bakal kita
temukan dasar hukumnya, sebab ketiga tindakan itu adalah bentuk etika yang
harus ditanamkan ke dalam pola pikir (mindset) dan dijabarkan ke dalam
sikap dan perilaku yang konkret. Seorang bupati yang mempunyai pola pikir
birokratis, prosedural dan konservatif tentu tidak bakal mempunyai paradigma
menghargai, mempercayai dan menantang desa. Hanya seorang bupati yang
demokratis, visioner dan progresif yang bakal menunjukkan sikap menghargai,
mempercayai dan menantang desa.
Menghargai
Desa. Kebijakan
maupun tindakan yang menghargai desa harus terus-menerus disuarakan kepada
pihak-pihak yang terkait. Bagaimana kebijakan dan tindakan yang menghargai
desa? Apa yang harus dilakukan? Banyak!
Pertama, desentralisasi, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, merupakan kebijakan afirmatif yang menghargai
desa. Membagi kewenangan dan keuangan
kepada desa merupakan bentuk penghargaan terhadap desa paling dasar yang harus
dilakukan.
Kedua, membuat kebijakan dan anggaran
pemerintah, termasuk kabupaten, yang berpihak dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat desa. Pemberian bantuan yang selama ini menetes ke desa sama sekali
bukanlah bentuk penghargaan yang mengangkat kemandirian dan martabat desa,
melainkan merupakan tindakan keliru yang membuat desa tidak berdaya dan
tergantung. Kebijakan yang menghargai berarti menganggap bahwa desa mempunyai
hak atas sebagian APBD, sehingga kebupatan wajib sewajib-wajibnya melakukan
alokasi dana ke desa. Demikian juga bupati, yang memperoleh mandat dari rakyat,
hendaknya membuat kebijakan yang didasarkan kepada kebutuhan dan tuntutan
rakyat desa.
Ketiga, para pejabat, terutama para
bupati, seharusnya bersedia belajar secara langsung dengan orang desa. Pembelajaran bisa ditempuh melalui dialog
nonformal yang minim prosedur, upacara dan protokoler. Jangan anggap orang desa sebagai asuhan,
binaan atau (maaf) sebagai pengemis bantuan. Anggaplah mereka sebagai “guru”
tempat belajar bagi pengurus kabupaten. Kesediaan Bupati berdialog dengan
orang-orang desa merupakan bentuk penghargaan yang hakiki, sementara memberi
sambutan dalam kegiatan seremonial merupakan bentuk penghargaan yang semu.
Kelihatannya hanya dialog, yang dirasakan sepele. Dengan dialog, Bupati bisa
memperoleh informasi yang otentik, bisa
membangun kebijakan yang aspiratif dan legitimate, bisa menyelesaikan masalah secara cepat, bisa
merespons kebutuhan rakyat desa, bisa membangkitkan semangat dan potensi orang
desa, dan bisa menumbuhkan hubungan yang saling percaya.
Mempercayai
Desa. Pemerintah
dan pejabat biasanya tidak percaya pada desa, dengan mengatakan desa “tidak
siap” atau “tidak mampu”. Ketidakpercayaan kabupaten terhadap desa itulah yang
membuat desa kurang berkembang dan tertgantung kepada supradesa. Sementara
kabupaten tidak berbuat banyak meningkatkan kemampuan desa yang bisa
menumbuhkan kepercayaan. Tampaknya kondisi ini dipelihara terus karena
kabupaten enggan kehilangan sumberdaya jika diberikan kepada desa, dan para
pejabat kabupaten tetap senang karena bisa mengendalikan dan merawat
ketergantungan desa. Tetapi kalau kabupaten tidak memberikan kepercayaan dan
tidak merespons banyak tuntutan dari
desa, maka ke depan kabupaten justru akan menghadapi boomerang,
kedodoran dan menumpuk beban masalah
yang berat.
Bagaimanapun
kepercayaan merupakan etika dasar dalam desentralisasi. Mempercayai desa
merupakan sikap dasar untuk mendorong pemberdayaan dan penguatan kapasitas
desa. Kepercayaan (trust), menurut Francis Fukuyama (1995), merupakan harapan-harapan
terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kerjasama yang muncul dari dalam
sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh
anggota komunitas itu. Umumnya trust ditempatkan sebagai sebuah unsur modal
sosial yang sangat berguna untuk membangun soliditas relasi sosial secara
horizontal. Tetapi kepercayaan lebih
dari sekadar modal sosial. Bagi Goran Heyden (1992), kepercayaan (trust)
merupakan sebuah elemen struktural dalam governance yang bakal
menumbuhkan akuntabilitas dan inovasi pemerintahan. Trust bisa tumbuh kalau diawali dengan kerelaan atau ketulusan (compliance).
Kalau kabupaten
mempunyai komitmen terhadap inovasi pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat,
maka sikap mempercayai desa adalah pilihan yang harus dilaksanakan. Keengganan,
keraguan, dan kekhawatiran kabupaten terhadap desa harus diubah menjadi
kerelaan, ketulusan dan keyakinan, yang diterukan dengan pembagian kekuasaan,
kewenangan, keuangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada desa. Kepercayaan yang diberikan kepada desa tentu
harus diikuti dengan fasilitasi, supervisi dan capacity building sehingga kewenangan dan keuangan yang dibagi
kepada desa betul-betul dikelola secara efektif, bertanggungjawab dan
membuahkan kemajuan desa.
Kotak 2: Sejumlah Prinsip Menghargai,
Mempercayai dan Menantang Desa
·
Menghilangkan stigma-stigma buruk kepada desa.
·
Menggantikan keraguan, keengganan dan
kekhawatiran menjadi kerelaan, ketulusan dan keyakinan.
·
Mengurangi perintah, campur tangan dan
larangan kepada desa.
·
Membagi kewenangan dan keuangan kepada desa.
·
Kesediaan kabupaten belajar pada masyarakat
desa.
·
Membuat kebijakan dan anggaran kabupaten yang
responsif terhadap desa.
·
Menggantikan sikap defensif menjadi responsif
terhadap tuntutan dari desa.
·
Membuka ruang akses desa terhadap pembuatan
kebijakan kabupaten.
·
Membuka ruang dan mendorong akuntabilitas
& inovasi terhadap kreasi, prakarsa dan potensi desa.
|
Sumber: IRE 2005
3.
Strategi Pelatihan
Selama
ini ada pemahaman yang salah kaprah bahwa pengembangan kapasitas hanya dalam
bentuk pelatihan. Pengembangan kapasitas jelas lebih dari sekadar pelatihan,
sebab pelatihan (yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan) hanya mampu
menjangkau kapasitas pada sisi individual. Pelatihan tidak secara langsung
menjangkau kapasitas institusional dan sistem, kecuali kalau alumni pelatihan
secara gigih dan langsung menerapkan pembelajaran pelatihan pada level
institusi dan sistem pemerintahan desa. Meskipun demikian, pelatihan harus
disiapkan dan dilaksanakan sebagai langkah awal pengembangan kapasitas.
Pemerintah daerah diharapkan menjalankan pelatihan kepada berbagai elemen desa secara
intensif, sekaligus memperbaiki kualitas substansi dan metodologi pelatihan.
Substansi pelatihan diharapkan
mengarah pada penguatan pengetahuan dan keterampilan. Kewenangan, perencanaan
dan keuangan (jika ketiganya sudah dilembagakan oleh regulasi) merupakan
substansi utama, kemudian diteruskan dengan aspek-aspek kepemimpinan,
kepemerintahan, manajemen keuangan desa dan seterusnya. Keterampilan antara
lain mencakuo kapasitas dalam menyusun perencanaan desa, manajemen keuangan,
analisis potensi desa, administrasi desa dan lain-lain. Sedangkan metode
pelatihan tidak cukup dikemas dengan ceramah dan tanya-jawab, tetapi juga harus
dilengkapi dengan metode yang bervariasi berdasarkan metode pendidikan orang
dewasa.
Untuk menjalankan pelatihan
yang lebih berkualitas, pemerintah daerah dapat menempuh kerjasama dengan lembaga penyedia layanan. Penguatan kapasitas merupakan
kebutuhan yang sangat besar. Hal ini berdasarkan pertimbangan banyaknya
perubahan kebijakan dan tuntutan masyarakat yang kian melambung tinggi, yang
semuanya harus dimengerti oleh pemerintah desa. Untuk menjamin dimulainya
kegiatan pengembangan kapasitas yang paling cepat, maka instrumen dan
kelembagaan pengembangan kapasitas yang ada harus disesuaikan dan dimodifikasi
untuk mendukung pendekatan atau prinsip baru yang digariskan oleh visi tanpa
harus menciptakan instrumen dan kelembagaan baru dari awal. Pengembangan
kapasitas tidak perlu membentuk suatu baru, sepanjang yang ada masih dapat
disesuaikan dengan kerangka kondisi yang baru. Tetapi kalau pemerintah
kabupaten belum mempunyai skema tentang pengembangan kapasitas, maka hal itu
harus disiapkan sebaik mungkin, dengan memperhatikan kebutuhan desa. Sejalan
dengan sasaran pengembangan kapasitas dalam konteks desa, maka penyedia layanan
pengembangan kapasitas yang potensial, misalnya organisasi-organisasi sektor
publik maupun organisasi masyarakat sipil harus dapat memainkan perannya dalam
kerangka kerjasama yang saling memperkuat untuk pengembangan dan peningkatan
kapasitas.
Kerjasama
sangat penting karena masing-masing pihak mempunyai kekuatan tetapi juga
kelemahan. Pemerintah pusat berperan memberikan standar dan norma umum.
Pemerintah provinsi mempunyai perangkat dan bantuan. Pemerintah kabupaten
mempunyai kewenangan, kebijakan, tenaga, anggaran dan lain-lain yang sangat
dibutuhkan untuk memperkuat kapasitas desa. Selama beberapa tahun terakhir
pihak desa selalu menyampaikan aspirasi kepada kabupaten agar pengembangan
kapasitas, misalnya melalui skema pendidikan dan pelatihan, dilakukan secara
optimal. Pihak kabupaten telah memberikannya tetapi dalam kapasitas yang
terbatas, dengan alasan klasik: “anggaran terbatas”. Sebenarnya ini merupakan persoalan
responsivitas. Jika Diklat Penjenjangan untuk PNS bisa diberikan secara rutin,
kenapa hal itu tidak bisa dilakukan kepada para perangkat desa, toh kerja-kerja
mereka juga membantu pemerintah. Tampaknya hal ini perlu diperhatikan
pemerintah kabupaten. Satu hal lagi, diklat (yang terbatas) bagi desa itu juga
butuh pembaharuan dari sisi metodologi (metode, proses, substansi, dll) supaya
pengembangan kapasita betul-betul bermanfaat dan relevan.
Perguruan tinggi (PT) juga merupakan
lembaga strategis yang bisa memberikan kontribusi terhadap pengembangan
kapasitas desa. Kontribusi PT bisa melalui skema pendidikan formal maupun
pendidikan informal melalui skema pengabdian kepada masyarakat. Tetapi
kelemahan mendasar perguruan tinggi adalah terjadinya birokratisasi dan
formalisasi pendidikan yang membuat pendidikan itu tidak bermakna, kecuali
hanya menyajikan gelar sarjana. Demikian
juga skema pengabdian kepada masyarakat yang umumnya hanya dilakukan dengan KKN
dan penyuluhan sesaat yang tidak mempunyai kontribusi secara bermakna terhadap
pengembangan kapasitas desa. PT tampaknya belum melakukan reformasi dari sisi
substansi, proses, metodologi dan strategi pendidikan yang lebih berkualitas,
apalagi yang dipersembahkan kepada desa. Karena itu PT memang harus melakukan
refleksi dan reformasi pendidikan secara serius agar mempunyai kontribusi
terhadap cita-cita mencerdaskan bangsa, termasuk mengembangkan kapasitas desa.
LSM sekarang merupakan kekuatan baru
yang ikut terlibat dalam proses pengembangan kapasitas desa. Peran-peran yang
dilakukan antara lain penelitian aksi secara partisipatif, diskusi komunitas,
membuka ruang-ruang belajar, pendampingan, pelatihan, pengorganisasian dan
seterusnya. Kehadiran LSM sedikit-banyak membuka dan memperluas wacana baru
tentang pembaharuan desa. Dengan ruang-ruang belajar yang dikembangkan LSM,
sekarang para pemimpin desa memperoleh kesempatan belajar dan jaringan secara
luas, tidak hanya lingkup lokal tetapi juga nasional dan bahkan internasional.
Jika dulu para pemimpin desa hanya menerima ceramah, sekarang banyak lurah desa
yang memperoleh kehormatan berbicara dalam forum nasional bersama pejabat
tinggi, bupati, guru besar, pendekar LSM dan lain-lain. Dalam konteks ini,
proses belajar untuk menempa kapasitas memang harus mampu menembus batas-batas
birokrasi yang hirarkhis, menuju ruang-ruang terbuka yang tanpa batas. Seperti
yang dilakukan oleh IRE Yogyakarta, dalam empat tahun terakhir ini, melakukan
program pembaharuan pemerintahan desa yang memberikan nuansa baru bagi desa
dalam menempa kapasitas pengelolaan tata
pemerintahan di desa-desa.
4.
Fasilitasi dan supervisi
Etika desentralisasi
jelas melarang intervensi, kontrol dan birokratisasi yang berlebihan terhadap
desa. Berbagai bentuk negaranisasi itu hanya dikenal dalam ideologi dan praktik
sentralisme yang sebenarnya telah terbukti menabur ketergantungan, kebodohan,
dan kemandulan desa. Sentralisme telah membuat desa marginal dan selalu
terbelakang. Desentralisasi, sebaliknya, menganjurkan fasilitasi dan supervisi
pemerintah supradesa terhadap desa. Fasilitasi adalah sebuah langkah pemerintah
supradesa untuk memudahkan, membangkitkan dan memberikan “pembinaan”. Supervisi identik dengan kontrol yang
berupaya untuk merawat agar pelaksanaan otonomi desa sesuai dengan visi dan
konstitusi. Supervisi tentu bukanlah tindakan represi terhadap pelanggaran yang
dilakukan pemerintah desa, melainkan tindakan yang memantau, mengevaluasi dan
memperbaiki.
Dalam skema pengembangan
kapasitas, supervisi dan fasilitasi pemerintah daerah merupakan bentuk
intervensi pada level institusional dan sistem. Asistensi teknis sangat dibutuhkan
untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan ke
dalam institusi dan sistem pemerintahan dan pembangunan desa. Agar semua ini
lebih bermakna, dibutuhkan juga pendekatan atau strategi learning by doing dengan mengikuti siklus perencanaan desa.
Bagaimanapun rencana desa disusun tidak secara teknokratis, melainkan melalui
proses belajar dan partisipasi berbagai elemen desa. Prinsip learning by doing sebenarnya sangat
efektif sebagai guru yang menampa kapasitas pemerintah desa dalam mengelola
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Learning by doing memang
membutuhkan penalaran, dedikasi dan sikap yang menikmati setiap proses, mulai
dari merumuskan sampai menjalankan renstra desa. Dengan mengikuti skema
pembelajaran orang dewasa, proses itu akan berjalan seperti siklus, mulai dari
pengalaman, refleksi dan perbaikan. Para
perangkat desa tentu tidak cukup hanya menjalankan perintah apa adanya, tetapi
juga perlu mengembangkan nalar untuk
berkarya dengan berbasis pada rencana strategis desa.
Penutup
Sesuai dengan skema
desentralisasi, pemkab melakukan penyerahan urusan untuk menjadi kewenangan
desa, memberi ADD, supervisi dan pengembangan kapasitas. Kebijakan itu
sebaiknya didasarkan pada prinsip subsidiarity bukan residuality
(memberikan sisanya sisa). Subsidiarity berarti pengambilan keputusan dan
penggunaan kewenangan sejauh mungkin dilakukan di level lokal. Kalau lokal
tidak mampu, baru dibawa naik ke atas. Subsidiarity didasari sikap menghargai,
mempercayai dan menantang. Kalau kita mengatakan desa “tidak siap” berarti
bertentangan dengan prinsip subsidiarity. Kebijakan ini yang akan mengarah pada
pengembangan otonomi/kemandirian desa. Ada banyak manfaat yang diperoleh jika
kabupaten mengembangkan otonomi desa.
a. Memungkinkan
pembagian kerja antara pemkab dan desa. Desa mengatur dan mengurus pemberdayaan
dan pelayanan publik berskala lokal dan komunitas. Pemkab mengatur-mengurus
pelayanan publik yang lebih strategis dan pengembangan kawasan pertumbuhan
ekonomi lintas desa.
b. Jika desa
tergantung, maka akan jadi beban berat bagi pemkab. Kalau otonomi dijalankan
maka akan mengurangi beban berat itu.
c. Dengan
otonomi, desa menjadi lebih hidup dan dinamis, baik dari sisi pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. Pemerintah
desa akan semakin berfungsi dalam melayani masyarakat.
d. Otodes juga
bermakna sebagai bentuk pemerataan kue pembangunan ke desa, yang akan mendukung
agenda kesejahteraan rakyat.
Pemerintah kabupaten
sebaiknya memadukan pendekatan “membangun
desa” dengan “desa membangun”,
dengan cara memastikan dan memperkuat perencanaan dan penggaran desa yang
terpadu. Jangan sampai program dan uang yang masuk ke desa berserakan tanpa
kerangka perencanaan yang terpadu. Langkah pertama yang ditempuh adalah
memfasilitasi penyusunan RPJMDes yang berorientasi pada pencapaian
kesejahteraan rakyat dengan mengacu pada RPJMD.[2] Jika
RPJMDes terbentuk, maka semua program dan dana “membangun desa” yang masuk ke
desa sebaiknya mengacu (berpedoman) dan mengarah pada RPJMDes, atau malah
sekaligus uang itu masuk ke RAPBDes.
[1] Drs. Sutoro Eko, M.Si adalah Staf Pengajar pada Program Pascasarjana (S-2) Ilmu Pemerintahan
STPMD "APMD"
[2]RPJMDes sebaiknya diarahkan pada target-target kesejahteraan yang
ideal, mudah dipahami dan fisibel dijalankan. Dari sisi pendidikan misalnya:
semua anak usia sekolah menempuh wajib sekolah; tidak ada siswa yang putus
sekolah, tidak ada warga yang buta huruf dan buta Bahasa Indonesia. Dari sisi
kesehatan: bayi dalam kandungan sehat, tidak ada ibu yang mati pada waktu
melahirkan, bayi yang lahir dan sampai balita dalam keadaan sehat, tidak ada
anak yang kekurangan gizi, tidak ada busung lapar, dan lain-lain. Untuk
mencapai ini tentu dibutuhkan perencanaan, gerakan masyarakat, dukungan
sumberdaya yang mencukupi, maupun program-program yang tepat. Pendataan
penduduk merupakan kewajiban dasar yang harus dijalankan oleh pemerintah desa.
Posyandu di PKK merupakan program yang baik dan fisibel dijalankan di tingkat
desa, yang memberikan pelayanan terhadap ibu hamil dan anak-anak. Sebagai
contoh lain, Kabupaten Bantul melancarkan progam “babonisasi”, dimana setiap
anak sekolah diberdayakan dan diberikan satu pasang ayam (jantan dan betina).
Telur ayam digunakan untuk menambah gizi anak, kalau ayam berkembang biak
menjadi banyak juga bisa digunakan untuk menambah gizi atau dijual untuk
membeli buku, peralatan sekolah atau segaram.