Kemandirian, Keberlangsungan Hidup dan Pembaharuan Desa
Oleh :
Drs. Hastowiyono, M.Si
Drs. Hastowiyono, M.Si
Pengatar
Kita tahu bahwa sebagian besar masyarakat pedesaan di Indonesia hidup dalam kerentanan sosial. Fenomena yang dapat ditampilkan pada kelemahan mereka untuk menangani risiko gagal panen, epidemi, bencana alam, kerugian dalam persaingan pasar terhadap kapitalis yang kuat, kebijakan pemerintah yang tidak memihak mereka, dll Beberapa masyarakat pedesaan kali tidak bisa menangani berbagai risiko kegagalan hidup mereka, terutama risiko kegagalan pada tingkat menengah dan makro. Jadi, mereka membutuhkan perlindungan sosial yang cukup untuk mencapai ketahanan sosial sebagai kondisi yang cukup untuk mempertahankan hidup mereka. Keberlanjutan kehidupan masyarakat pedesaan akan tercapai, jika mereka memiliki cukup atau daya tahan sangat sosial. Pertanyaan yang harus dijawab adalah: "Apa jenis skema melindungi sosial harus dilakukan untuk mempromosikan ketahanan sosial mereka?".
Ada dua tingkat skema melindungi sosial. Tingkat pertama bisa dilakukan dengan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk dipromosikan sosial melindungi melalui penguatan modal sosial mereka sendiri, dan tingkat kedua ini dapat dilakukan dengan mendorong peran pemerintah untuk serius membuat dan melaksanakan kebijakan tentang pelayanan sosial, asuransi sosial dan Lindungi sosial pedesaan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat desa dimaksudkan untuk tumbuh kesadaran kritis mereka dalam posisi struktur sosial dan politik, dan percaya diri untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Dengan skema ini, menopang kehidupan masyarakat pedesaan akan dicapai berdasarkan potensi mereka sendiri. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kesejahteraan diwajibkan pemerintah untuk mempromosikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, jadi, kebijakan pemerintah harus berpihak kepentingan rakyat terbesar ini, yaitu mempromosikan kehidupan keberlanjutan masyarakat pedesaan dalam kondisi kesejahteraan.
Ada dua tingkat skema melindungi sosial. Tingkat pertama bisa dilakukan dengan memberdayakan masyarakat pedesaan untuk dipromosikan sosial melindungi melalui penguatan modal sosial mereka sendiri, dan tingkat kedua ini dapat dilakukan dengan mendorong peran pemerintah untuk serius membuat dan melaksanakan kebijakan tentang pelayanan sosial, asuransi sosial dan Lindungi sosial pedesaan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat desa dimaksudkan untuk tumbuh kesadaran kritis mereka dalam posisi struktur sosial dan politik, dan percaya diri untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Dengan skema ini, menopang kehidupan masyarakat pedesaan akan dicapai berdasarkan potensi mereka sendiri. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kesejahteraan diwajibkan pemerintah untuk mempromosikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, jadi, kebijakan pemerintah harus berpihak kepentingan rakyat terbesar ini, yaitu mempromosikan kehidupan keberlanjutan masyarakat pedesaan dalam kondisi kesejahteraan.
Pendahuluan
Pembaharuan desa, sebagai suatu usaha perubahan, pada dasarnya adalah
langkah gerakan social. Keberhasilan gerakan pembaharuan desa akan
sangat ditentukan oleh sejauh mana usaha-usaha yang dilakukan mampu
mentransformasikan kelemahan menjadi kekuatan, dan bagaimana
mentransformasikan segala potensi menjadi kekuatan pendorong perubahan
Juliantoro, 2003:3). Menurut Eko (2003::4), pembaharuan desa adalah
sebuah upaya berkelanjutan untuk mengawal perubahan relasi
ekonomi-politik desa secara internal maupun eksternal menuju tatanan
kehidupan desa yang lebih demokratis, mandiri dan adil.
Lebih luas dari itu, cakupan pembaharuan desa pada dasarnya ingin
menciptakan kemakmuran rakyat dengan melakukan perubahan atas penataan
beberapa aspek kehidupan, yakni sosiopolitik, sosioekologi,
sosioekonomi, sosiobudaya dan aspek spasial (Poernomo, 2004:vii-viii).
Berdasarkan gagasan di atas, penulis menangkap sebuah makna bahwa
pembaharuan desa itu bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup atau
kemakmuran warga masyarakat desa. Dalam hal ini, yang dimaksud
keberlangsungan hidup adalah kemampuan melakukan berbagai aktivitas oleh
warga masyarakat desa, baik secara individu maupun kelompok, untuk
memenuhi kebutuhan materiil maupun imateriil secara terus menerus. Untuk
mencapai tujuan itu, pembaharuan desa dilakukan melalui upaya
pembangunan atau transformasi kelemahan menjadi kekuatan dan segala
potensi untuk mendorong perubahan secara berkelanjutan. Oleh karena itu,
pembaharuan desa tidak hanya terbatas pada satu aspek kehidupan saja,
melainkan meliputi berbagai aspek yang melingkupi kehidupan warga
masyarakat desa.
Lain dari itu, segala upaya yang dilakukan dalam kerangka pembaharuan
desa harus berazaskan demokratis, kemandirian dan berkeadilan. Dengan
demikian, bagian penting dari pembaharuan desa terletak pada kemampuan
memilih nilai-nilai sosial-budaya dan kelembagaan sosial yang mampu
mendukung secara terus menerus proses pembangunan, sehingga kehidupan
warga masyarakat desa dapat terselenggara semakin baik dan
berkelanjutan. Hal ini dapat berarti memilih nilai sosial-budaya dan
lembaga-lembaga lokal yang sudah ada kemudian diperbaharui, dipelihara
dan dikembangkan secara terus menerus dan mandiri oleh warga masyarakat
desa atas kekuatan yang dimiliki.
Jika demikian, ciri dalam proses penciptaan keberlanjutan hidup pada
masyarakat desa adalah pertumbuhan kemandirian. Di dalam kemandirian
seorang pribadi atau suatu satuan masyarakat mampu memilih dan
memutuskan apa yang baik bagi dirinya maupun kepentingan pihak lain dan
lingkungan lebih luas, mengingat ada keterkaitan kepentingan bersama
(Sajogyo,1994: 43). Menumbuhkan potensi kemandirian masyarakat lokal
berarti mendorong proses belajar bersama antara stakeholders yang
terlibat di dalamnya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
dihadapi, mengenali potensi atau sumber-sumber yang dimiliki dan
bagaimana mencari peluang-peluang untuk mengatasi permasalahan.
Dalam kenyataan, kehidupan masyarakat desa ternyata seringkali rentan
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kehidupannya.
Kerentanan sosial merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan, karena
dapat mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, untuk
menjaga keberlangsungan hidup masyarakat diperlukan perlindungan sosial
sebagai penopang ketahanan sosial. Berdasarkan persoalan tersebut,
pertanyaan yang muncul adalah skema perlindungan sosial seperti apa yang
dapat dikembangkan agar warga masyarakat desa (terutama kelompok
miskin) tetap mampu menjaga keberlangsungan hidupnya? Bagaimana
seharusnya peran negara dalam menyelenggarakan perlindungan sosial
kepada warga masyarakat desa untuk mengatasi kerentanan sosial itu?
Dalam konteks pembaharuan desa yang mencita-citakan terciptanya
kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, penulis akan mencoba
menggali persoalan tersebut berdasarkan perspektif pembangunan
kesejahteraan sosial.
Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial selalu terkait dengan lemahnya kemampuan untuk
menghadapi persoalan yang terjadi secara mendadak yang dialami individu
atau masyarakat tertentu. Dalam kenyataan, ketahanan sosial masyarakat
desa seringkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar,
mulai dari wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam dan kekeringan
sampai kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, teknologi modern,
kapitalisme global dan masih banyak lagi.
Risiko kerentanan dapat terjadi pada segala aras: mikro (skala
individu atau rumahtangga), meso (skala kelompok atau masyarakat),
bahkan makro (nasional atau internasional). Kegoncangan pada aras meso
dan makro dapat lebih berbahaya daripada kegoncangan mikro, karena kedua
risiko kerentanan tersebut seringkali melampaui kemampuan masyarakat
untuk menanggulanginya. Seperti bencana gelombang Tsunami di Aceh,
misalnya, penanganannya tidak mungkin diserahkan kepada warga Aceh
sendiri, tetapi harus dipikul oleh pemerintah dan warga masyarakat pada
skala regional, nasional dan internasional.
Data menunjukkan, 10% anak balita di NTB menderita busung lapar.
Menurut data Dinkes NTB, para penderita gizi buruk itu ditemukan di
Kabupaten Lombok Timur (175 kasus), Kabupaten Lombok Barat (133 kasus),
Kota Mataram (23 kasus), dan Lombok Tengah (7 kasus). Di Daerah Istimewa
Yogyakarta ternyata angka gizi buruknya mencapai 3 persen atau 4.755
anak balita dari total 142.647 anak balita di daerah itu. Ini merupakan
contoh konkrit kerentanan yang dialami warga masyarakat NTB dan DIY
(Kompas, 28 Mei 2005). Semua itu merupakan contoh kerentanan sosial yang
dialami oleh warga masyarakat di kedua daerah tersebut.
Bentuk kerentanan sosial yang lain tampak dari gejala degradasi
hubungan antar individu dengan kelompok, hubungan antar kelompok, atau
dalam bentuk lain, seperti menurunnya nilai-nilai kepemimpinan desa dan
disfungsionalisasi kelembagaan lokal. Tindakan penyerangan atau
kekerasan fisik antara warga desa satu dengan desa tetangga yang
dilakukan secara masal, penganiayaan terhadap perangkat desa yang
dilakukan oleh warga yang tidak memperoleh Subsidi Langsung Tunai
sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, bunuh diri, pelecehan seksual,
pemabukan, dan lain-lain merupakan penguat bukti kerentanan sosial di
kalangan masyarakat desa.
Kerentanan sosial yang dialami masyarakat desa seperti telah
disebutkan, dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor sosial-budaya,
sosial-ekonomi maupun sosial-politik. Sekitar empat dasa warsa yang lalu
masih banyak wujud solidaritas komunal di daerah pedesaan, seperti
gotong-royong atau “sambatan”, tanggung-renteng, rembug desa, institusi
lokal atau pranata-pranata, kearifan lokal (local wisdom),
pengetahuan lokal dan lain-lain yang menjadi ciri khas masyarakat
agraris. Bersamaan dengan penerapan kebijakan pembangunan pertanian
(revolusi hijau), perempuan desa yang sebelumnya banyak melakukan
pekerjaan buruh petik padi di sawah, sekarang mereka harus kehilangan
pekerjaan. Cara panen dari ani-ani beralih ke sabit merupakan salah satu
contoh penyebab hilangnya kesempatan kerja perempuan di sektor
pertanian. Akibatnya, banyak perempuan yang menyerbu ke pusat-pusat
industri di kota atau pergi keluar negeri menjadi TKW. Kekerabatan
maupun ketetanggaan tidak hanya terwujud dalam acara-acara
ritual-mitologis dan keagamaan, seperti slametan dan kenduri,
tetapi juga pada tataran survivalnya, misalnya mendirikan institusi
lumbung padi sebagai lembaga ketahanan pangan masyarakat setempat. Hukum
adat yang berabad-abad lamanya dijalankan oleh masyarakat lokal,
menjadi hancur dengan lahirnya Undang-Undang No: 5 Tahun 1979 yang
sangat ambisius untuk menyeragamkan bentuk desa di seluruh pelosok tanah
air Indonesia. Akibat dari itu semua, masyarakat desa menjadi
masyarakat yang anomali, sehingga mengalami disorganisasi karena tidak
lagi memiliki pegangan hidup yang jelas (Bdk.Mubyarto1993: 11-16; Rais,
1999; Dwipayana, 2003: 110-112; Kutanegara, 2002: 277-293).
Seiring berkembangnya peradaban dan pola pikir manusia yang didukung
rekayasa teknologi modern dan sistem massifikasi komunikasi kian
berdampak pada tatanan sosial di masyarakat pedesaan, termasuk di
dalamnya, terjadinya erosi besar-besaran pada modal sosial (social capital).
Pada hal, modal sosial dapat berfungsi sebagai penguat ketahanan
sosial, terutama apabila terjadi risiko-risiko yang dapat mengancam
keberlangsungan hidup masyarakat.
Sektor industri pedesaan juga mengalami kegoncangan yang maha hebat
dan akhirnya banyak yang gulung tikar sebagai akibat penetrasi pasar
dari barang-barang sejenis yang dihasilkan industri manufaktur. Kemajuan
sarana transportasi otomotif yang semakin meluas di daerah pedesaan
juga telah menggulung habis-habisan usaha transportasi tradisional
(seperti: gerobak pedati, andong, dokar, dll). Akibatnya, pengangguran
dan kemiskinan di desa bertambah.
Kedudukan lembaga keluarga juga mengalami perubahan, sebagai akibat
pengenalan teknologi dan komersialisasi di bidang pertanian.Pengenalan
tanaman komersial merubah hubungan kerja kontrak atau sistem upah,
ketrampilan dan modal, serta pemisahan antara aktifitas produksi dan
konsumsi. Akibat dari itu semua, fungsi keluarga yang semula sebagai
satuan proses produksi mengalami kemerosotan, karena tidak lagi
menangani proses produksi sendiri. Keluarga berubah menjadi unit
konsumsi.
Arus globalisasi yang begitu cepat juga menjadi ancaman bagi
kerentanan sosial masyarakat desa. Globalisasi merupakan sebuah fenomena
universal yang ditandai dengan perluasan dan integrasi pasar, baik di
kalangan negara-negara maju, negara-negara berkembang atau antar
keduanya. Menurut Nugroho (2001: 29), dampak sosiologis dari ekspansi
pasar adalah perilaku konsumtif masyarakat di berbagai kategori usia,
lapisan, dan kelompok. Perilaku konsumtif yang berlebihan dapat memicu
munculnya berbagai problem sosial seperti kriminalitas, korupsi, gaya
hidup boros, deteriorasi ekologi, dan lain-lain.
Penguatan Modal Sosial sebagai Basis Perlindungan Sosial secara Mandiri
Menurut James Coleman, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat
untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam
berbagai kelompok dan organisasi. Kemampuan masyarakat untuk berasosiasi
satu sama lain memiliki peranan sangat penting bukan saja dalam
kehidupan ekonomi, tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang
lain. Kemampuan berasosiasi ini sangat ditentukan oleh kondisi
masyarakat untuk mau saling berbagi dalam rangka mencari titik temu
diantara norma-norma dan nilai-nilai bersama. Nilai-nilai bersama ini
akan membangkitkan kepercayaan. Modal manusia (human capital) berupa
pengetahuan dan ketrampilan maupun modal yang berupa uang, tanah,
pabrik, alat-alat dan mesin belum tentu dapat menjamin terciptanya
kesejahteraan masyarakat secara meluas dan berkelanjutan jika tidak
disertai kehadiran modal sosial (Bdk, Fukuyama, 2004:12-13)
Fukuyama (2004: 13-14) menggambarkan, betapa besar kerugian yang
harus ditanggung oleh negara maupun masyarakat ketika kepercayaan itu
tidak hadir dalam kehidupan masyarakat. Di Amerika Serikat misalnya,
merosotnya kepercayaan dan melemahnya sosiabilitas (kemampuan melakukan
sikap dan tindakan relasional) telah melahirkan meningkatnya kekerasan
dan kriminalitas; meluapnya problem-problem sipil; hancurnya struktur
keluarga; runtuhnya fungsi sejumlah besar struktur mediasi dan terutama
merosotnya rasa kebersamaan diantara warga masyarakat. Akibat dari itu
semua, Amerika menjadi negara paling boros jika dibandingkan dengan
negara industri lainnya, karena terpaksa harus mengeluarkan anggaran
biaya yang lebih banyak untuk menanggung biaya penahanan lebih dari 1 %
penduduknya yang dipenjara dan untuk membayar seluruh proses hukum.
Dengan demikian, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang
dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan masyarakat.
Oleh karena itu, modal sosial dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat
untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
manusia. Hal ini berlangsung dalam konteks interaksi sosial yang mewujud
dalam bentuk jaringan atau asosiasi informal. Modal sosial juga dapat
berfungsi sebagai perekat hubungan sosial antar warga masyarakat
(penguat kohesivitas sosial) dan sarana mediasi antar struktur sosial.
Membangun modal sosial merupakan suatu unsur pokok pemberdayaan, dan
pemberdayaan pada gilirannya merupakan agenda penting dalam pengurangan
kemiskinan maupun sebagai arena untuk menjawab kerentanan sosial yang
dihadapi masyarakat desa. Modal sosial ini terletak dalam hubungan
sosial yang membuat organisasi masyarakat desa kuat, yang menghubungkan
organisasi ini kepada pelaku lain, dan yang membantu perkembangan
keterlibatan lebih penuh warga desa ke dalam proses sosial, ekonomi dan
politik. Modal sosial yang dimaksud adalah lembaga-lembaga atau
organisasi yang hidup dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai
institusi mediasi. Menurut Nugroho (2001: 202), institusi mediasi
merupakan lembaga-lembaga sosial yang memiliki posisi diantara wilayah
kehidupan individu yang bersifat privat dengan lembaga-lembaga sosial
makro yang berhubungan dengan kehidupan publik. Di satu sisi
institusi-institusi mediasi memberikan makna privat, sedangkan pada sisi
lain memiliki makna publik sehingga merupakan sarana untuk menyampaikan
makna dari privat ke publik atau sebaliknya. Posisi strategis yang
dimiliki oleh lembaga tersebut cenderung mengurangi alienasi bagi
individu dan mengurangi ancaman keberadaan public orders.
Apabila institusi-institusi ini dapat diberdayakan, maka kecenderungan
pemegang kekuasaan bertindak koersif atau para individu melakukan
tindakan anarkis dapat dihindarkan sehingga berbagai program pembangunan
dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Perlu ditegaskan bahwa, dalam kehidupan masyarakat desa di Indonesia
sebenarnya terdapat banyak bentuk modal sosial yang dapat didayagunakan
sebagai penguat ketahanan sosial. Penegasan ini dapat ditunjukkan dengan
beberapa contoh modal sosial bermuatan nilai perlindungan sosial yang
dilakukan masyarakat lokal, seperti uraian berikut ini.
1. Aktivitas sosial-ekonomi berbentuk pertukaran:
a. Resiprositas
Resiprositas adalah pertukaran barang atau jasa timbal-balik antar
individu atau kelompok. Hampir semua masyarakat tradisional
mengembangkan berbagai bentuk resiprositas sebagai manifestasi dari
nilai budaya yang mengedepankan semangat egalitarian dan komunitarian.
Dari segi sosial, pertukaran ini dapat memperkuat solidaritas sosial,
dan dari segi ekonomi dapat menjamin individu mampu memenuhi
kebutuhannya tanpa harus tunduk pada mekanisme pasar. Pertukaran ini
terlembaga pula di kalangan kelompok masyarakat miskin sebagai suatu
mekanisme jaring pengaman sosial. Prinsip dari resiprositas dalam
konteks pertukaran timbal-balik itu adalah kewajiban moral untuk memberi
dan mengembalikan dengan takaran yang nilainya kurang lebih sebanding.
Istilah-istilah lokal yang termasuk kategori resiprositas ini adalah
gotong-royong, sambatan, sumbang-menyumbang kepada orang yang mengadakan hajatan, dan lain-lain.
b. Redistribusi
Redistribusi adalah pertukaran barang atau jasa yang dilakukan oleh
kelompok atau masyarakat dengan cara barang dan jasa itu dikumpulkan
dari anggota-anggota dan kemudian didistribusikan kembali kepada mereka
dalam bentuk yang sama atau berbeda. Pertukaran ini merupakan suatu
bentuk mobilisasi sosial yang sering terlembaga dalam masyarakat dan
berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, solidaritas sosial dan
khususnya dapat dipakai untuk asuransi sosial. Pertukaran ini dilandasi
oleh kewajiban moral untuk mewujudkan nilai kedermawanan,
kesetiakawanan, dan kecintaan kepada masyarakat serta kebersamaan tanpa
menuntut imbalan yang sebanding. Beberapa jenis dari redistribusi
adalah: dompet dhuafa, jimpitan beras, dana kematian di kampung; dana
setia kawan, kerja bakti, gugur gunung, lumbung paceklik, dan lain sebagainya.
c. Arisan
Pertukaran ini merupakan suatu aktivitas kelompok untuk mengembangkan
kerjasama antar anggota dalam mengakumulasi harta benda dengan secara
bergilir mendistribusikan akumulasi iuran yang dikumpulkan kepada
masing-masing anggota. Arisan itu diselenggarakan untuk memenuhi fungsi
sosial yakni mengadakan berbagai kegiatan kelompok sambil memenuhi
tujuan khusus yang bersifat ekonomi. Pertukaran ini dilandasi oleh
semangat kesetiakawanan dan komitmen untuk dapat bekerjasama dengan
kelompoknya, sambil memanfaatkan kelompok untuk memungkinkan memperoleh
kemudahan dalam menabung uang atau barang karena berhasil mewujudkan
kepercayaan dari kelompok. Arisan merupakan perkembangan dari bentuk
resiprositas. Arisan telah melembaga di berbagai kelompok sosial dari
tingkat organisasi komunitas, profesi sampai dengan jaringan hubungan
personal.
2. Musyawarah/ Forum Warga
Lembaga musyawarah ada di setiap masyarakat pedesaan yang basisnya
biasanya masyarakat setingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW),
dusun sampai desa. Forum ini biasanya dipakai untuk memecahkan masalah
atau merumuskan berbagai program kegiatan di tingkat masyarakat yang
pelaksanaannya dikerjakan oleh pemerintah atau suatu kepanitiaan yang
dibentuk oleh forum itu sendiri. Melalui forum ini proses pengambilan
keputusan yang demokratis dapat diwujudkan, meskipun harus diadvokasi
sehingga forum ini benar-benar mempunyai keberpihakan terhadap
pemberdayaan masyarakat, dan memberikan akses yang kuat bagi lapisan
warga paling bawah.
3. Kebiasan Berkumpul
Di setiap masyarakat, ada kebiasaan warga untuk berkumpul dengan
melakukan berbagai aktivitas yang positif bagi kepentingan masyarakatnya
dan bahkan kelompok masyarakat lapisan bawah. Kebiasaan berkumpul ini
memungkinkan individu sebagai warga masyarakat agar tidak mudah
mengalamai alienasi sosial-budaya dan sekaligus mudah menyerap informasi
publik. Kebiasaan berkumpul dengan disertai ngobrol memungkinkan
individu dapat terbiasa berbicara di forum-forum
masyarakat. Ada berbagai jenis kebiasaan berkumpul di dalam
masyarakat-masyarakat diIndonesia. Beberapa jenis dan nama itu misalnya:
jagongan; lesehan, sarasehan (di Jawa), ngobrol di kedai kopi (Aceh,
Sumatera Utara, Riau)
4. Kebiasaan Makan dan Pakaian adat
Dalam masyarakat tertentu, selalu ada kebiasaan makan dan minum yang
dipelihara sehingga dapat menjadi suatu modal budaya yang memberikan
kesempatan bagi warga masyarakat untuk tidak konsumtif terhadap produk
dari luar. Imbasnya masyarakat lokal, khususnya lapisan bawah, dapat
memperoleh akses untuk menyediakan dan menikmati produk-produk lokal
yang relatif murah. Kebiasaan ini berkaitan dengan nilai budaya yang
memberikan penghargaan kepada jati diri yang menjunjung sesuatu yang
bersifat local genius. Contoh kebiasaan makan adalah memilih
makanan yang terbuat dari hasil bumi setempat, misalnya: sagu (bagi
orang Maluku dan Irian), umbi-umbian (bagi orang Irian), dan tepung ubi
kayu (bagi orang Gunungkidul dan Wonogiri). Contoh kebiasaan minum
minuman produk lokal misalnya tuak (orang Timor dan Rote), minuman
dengan gula aren atau gula kelapa, gula lontar, geplak (Bantul), dll.
Contoh kebiasaan memakai pakaian adat misalnya pakaian batik tulis dan tenun ATBM.
5. Organisasi / Perkumpulan
Di banyak desa terdapat perkumpulan atau organisasi masyarakat dengan
berbagai karakter dan tujuan. Basis keanggotaannya juga beragam, ada
yang berbasis kesamaan profesi, kesamaan hobi, kesamaan agama, kesamaan
keturunan, dll. Organisasi atau perkumpulan seperti ini sangat
bermanfaat bagi perlindungan sosial masyarakat, karena mereka dapat
menyalurkan aspirasi kepada struktur yang lebih tinggi (penguasa) dan
dapat membangun posisi tawar yang lebih kuat. Contoh: Perkumpulan olah
raga, paguyuban seni tari, perkumpulan trah, persatuan pemuda desa,
kelompok tani, kelompok pengrajin, dan lain-lain.
Pemberdayaan Masyarakat: Upaya Membangun Ketahan Sosial
Proses perlindungan sosial yang nantinya diharapkan dapat
diselenggarakan secara mandiri oleh warga masyarakat lokal dapat
ditempuh melalui pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini dimaksudkan
untuk: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak
tertindas oleh kelompok kuat; menghindari terjadinya persaingan yang
tidak seimbang antara yang kuat dan yang lemah; dan mencegah terjadinya
eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus
diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang
tidak menguntungkan. Prinsip dasar pemberdayaan menurut perspektif
pembangunan pekerjaan sosial, meliputi:
1. Proses kolaboratif, artinya pekerja sosial atau sosiatrisi harus bekerja sama dengan masyarakat sebagai partner.
2. Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai
aktor atau subyek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan
kesempatan-kesempatan.
3. Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan.
4. Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui
pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu
pada masyarakat.
5. Solusi-solusi yang berasal dari situasi khusus harus
beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang
berada pada situasi masalah tersebut.
6. Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber
dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan
kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang.
7. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan
mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka
sendiri.
8. Tingkat kesadaran kritis merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan.
9. Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.
10. Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif, permasalahan selalu memiliki beragam solusi.
11. Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel (Suharto, 2005: 68-69)
Sejalan dengan prinsip dasar pemberdayaan masyarakat tersebut di
atas, langkah-langkah konkrit yang dapat ditempuh, terutama pemberdayaan
bagi kelompok miskin di desa, yaitu:
Pertama, membangun kesadaran kritis atas posisi dirinya dalam
struktur sosial-politik dimana orang miskin tersebut tinggal. Tanpa
kesadaran kritis orang miskin akan tetap bersifat tidak berdaya dan
cenderung akan menyerah pada nasibnya.
Kedua, setelah kesadaran kritis muncul, upaya-upaya memutuskan
hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang
miskin perlu dilakukan. Biarkan kesadaran kritis orang miskin muncul dan
bersamaan dengan itu biarkan pula mereka melakukan reorganisasi dalam
rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.
Ketiga, menanamkan rasa kesetaraan (egalitarian) dan berikan gambaran
bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi sebagai penjelmaan
konstruksi sosial. Yakinkan bahwa nasib orang miskin dapat diubah dan
yang mempunyai kekuatan untuk merubahnya adalah diri sendiri.
Keempat, melibatkan masyarakat miskin secara penuh dalam perumusan
pembangunan. Dengan demikian, program-program pembangunan yang
dilaksanakan di desa akan berkesesuaian dengan masalah, kebutuhan dan
kemampuan masyarakat miskin.
Kelima, perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat
miskin. Selain perubahan struktural yang diperlukan juga perubahan
nilai-nilai budaya. Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara
mensosialisasikan nilai-nilai positif kepada lapisan masyarakat miskin,
seperti: perencanaan hidup, optimisme, perubahan kebiasaan hidup,
peningkatan produktivitas dan kualitas kerja, dan lain lain.
Keenam, diperlukan redistribusi infrastruktur pembangunan yang lebih
merata. Langkah ini sangat penting untuk dilakukan, karena tanpa
dukungan infrastruktur yang memadai, orang miskin tetap saja tidak akan
memperoleh akses ekonomi dan bidang-bidang lainnya (Nugroho, 2001,
195-197).
Apabila langkah-langkah pemberdayaan masyarakat desa, khususnya bagi
lapisan miskin, seperti tersebut di atas dijalankan dengan simultan dan
terpadu ketahanan sosial masyarakat desa akan semakin kuat. Ketahanan
sosial yang mandiri dan semakin kuat, pada gilirannya akan membawa
masyarakat desa ke dalam situasi kehidupan yang sejahtera dan
berkelanjutan.
Perlindungan Sosial
Pembangunan kesejahteraan sosial, yang paling dasar, adalah berupaya
memberikan pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan
lain-lain). Pada level yang lebih tinggi pembangunan kesejahteraan
sosial berupaya untuk menjawab kerentanan sosial masyarakat, mengubahnya
menjadi ketahanan sosial dan integrasi sosial secara berkelanjutan (social sustainability). Tujuan akhir dari pembangunan sosial adalah tercapainya kesejahteraan sosial (social welfare).
Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV
yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan Pasal 34
tentang tanggung jawab negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan
anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan
sosial sebenarnya merupakan platform sistem ekonomi dan sistem
sosial di Indonesia, sehingga Indonesia sebetulnya merupakan negara
yang menganut paham “negara kesejahteraan” (welfare state) dengan model “negara kesejahteraan partisipatif” (participatory welfare state)yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah pluralisme kesejahteraan (welfare pluralism). Dalam model ini negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalnya tetap melibatkan masyarakat (Suharto, 2005: 2).
Warga masyarakat desa sebagai bagian dari manusia yang mendiami bumi
memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya untuk hidup dan
mengembangkan kehidupannya. Ini sesuai dengan makna Deklarasi PBB
tentang Hak-hak Azasi Manusia, khususnya pasal 3 yang berbunyi: Everyone has the right to life, liberty and security of person (Setiap
orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan/perlindungan
diri). Hal tersebut juga berlaku di Indonesia. Di dalam UUD 1945 Bab XA
pasal 28A Amandemen II berbunyi: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya dalam UUD 1945 pasal 28 I Ayat 4 Amandemen II dinyatakan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.”.
Berdasarkan makna dari pasal-pasal tersebut dapat dimaknai bahwa
keberlangsungan hidup warga masyarakat desa merupakan hak azasi manusia.
Ini berarti, upaya-upaya atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
menghormati, menjaga dan mengembangkan hak azasi manusia tidak lain
merupakan implementasi perlindungan sosial. Selain itu, sangat jelas
bahwa penyelenggaraan perlindungan sosial kepada warga masyarakat
merupakan kewajiban negara. Dengan demikian, pemerintah sebagai
penyelenggara negara merupakan penanggungjawab utama dalam
penyelenggaraan perlindungan sosial.
Perlindungan sosial adalah skema yang dirancang secara terencana oleh
pemerintah maupun masyarakat untuk melindungi warga dari berbagai
risiko, baik risiko yang timbul dari dirinya (kecelakaan, sakit,
meninggal dunia), maupun yang timbul dari lingkungannya (menganggur,
bencana alam/sosial, dll). Perlindungan sosial dapat bersifat formal dan
informal. Perlindungan sosial yang bersifat formal adalah berbagai
skema jaminan sosial (social security) yang diselenggarakan oleh negara yang umumnya berbentuk bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance),
misalnya tunjangan bagi orang cacat atau miskin, tunjangan
pengangguran, tunjangan keluarga. Beberapa skema yang dapat
dikategorikan sebagai perlindungan sosial informal antara lain usaha
ekonomi produktif, kredit mikro, arisan, dan berbagai skema
jaring-jaring pengaman sosial (social safety nets) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat, organisasi sosial lokal, atau lembaga swadaya masyarakat (Suharto, 2005: 3).
Sistem jaminan sosial di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
RI Nomor 6 Tahun 1974, khususnya dalam pasal 2 ayat 4 ditegaskan: “Jaminan
Sosial” sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial, adalah seluruh
sistim perlindungan dan pemeliharaan Kesejahteraan Sosial bagi
Warganegara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat
guna memelihara taraf Kesejahteraan Sosial. Lebih lanjut dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan: Pemerintah mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu sistim jaminan sosial yang menyeluruh.
Bunyi pasal-pasal tersebut dengan jelas menegaskan bahwa, selain
masyarakat secara mandiri dapat menyelenggarakan jaminan sosial secara
mandiri, pemerintah harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan seluruh
sistem pelindungan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki alasan apapun untuk
mengingkari kewajibannya untuk menyelenggarakan perlindungan sosial
secara menyeluruh, terutama dalam hal resiko-resiko kegagalan yang tidak
mungkin diatasi sendiri oleh warga masyarakat desa..
Kebijakan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah
hendaknya diarahkan untuk memberdayakan masyarakat agar dapat
meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya secara mandiri. Bentuk-bentuk
jaminan sosial yang bersifat karitatif hendaknya diletakkan sebagai
tindakan darurat, sehingga tidak menimbulkan ketergantungan dan
mendorong sifat malas bagi masyarakat. Misalnya pemberian SLT (Subsidi
Langsung Tunai) hanya karena hasrat pemerintah menaikkan harga BBM,
tidak perlu dijadikan modus kebijakan pemerintah. Akan lebih baik jika
dana SLT kenaikan BBM tersebut disalurkan kepada warga miskin melalui
suatu program kegiatan produktif, sehingga mereka dapat menerima uang
karena ada sesuatu yang dikerjakan, bukan gratisan. Dengan cara ini,
berarti warga miskin akan tetap terjaga kehormatannya, harkat dan
martabatnya sebagai manusia, dan lebih bermakna pemberdayaan terhadap
dirinya.
Dalam rangka menjamin keberlangsungan hidup masyarakat desa,
pemerintah harus berlaku adil dalam menyelenggarakan perlindungan
sosial. Dalam hal ini, institusi hukum harus berlaku adil dan konsisten.
Dalam UU Dasar 1945 pasal 28 I Ayat 3 Amandemen II dinyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Bunyi pasal ini dapat dimaknai bahwa kehadiran hukum positip tidak
ditujukan untuk memarginalisasi keberadaan hukum adat. Dengan kata lain,
pemberlakuan hukum positip harus menghormati dan mengakui hak-hak adat
(nilai-nilai lokalitas). Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang
hendak dirancang dan dilaksanakan harus memperhatikan nilai-nilai budaya
dan adat istiadat masyarakat lokal. Kebijakan-kebijakan yang
bertentangan atau yang merusak nilai sosial budaya setempat harus
dihindari sejauh mungkin, agar tidak menimbulkan disorganisasi sosial
bagi masyarakat setempat.
Akhirnya, untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat desa,
pemerintah berkewajiban menyusun anggaran biaya pembangunan yang lebih
mengedepankan kepentingan hidup rakyat desa. Dalam hal ini, bukan saja
anggaran biaya yang berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial saja
yang harus diperbesar, melainkan peningkatan anggaran biaya secara
signifikan untuk penyediaan infrastruktur pembangunan di wilayah
pedesaan menjadi suatu keharusan.
PENUTUP
Kerentanan sosial yang terjadi di berbagai desa di Indonesia
berkecenderungan disebabkan karena ketimpangan struktur sosial yang
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan internal maupun eksternal
masyarakat yang bersangkutan. Untuk mengubah kerentanan sosial menuju
keberlangsungan hidup, masyarakat desa harus diberdayakan agar memiliki
kesadaran kritis dan percaya diri untuk memperbaiki keadaan hidupnya.
Selanjutnya, pemberdayaan perlu ditempuh dengan melibatkan individu
maupun kelompok untuk mengakses sumber-sumber pembangunan dan kemampuan
untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.
Dalam konteks pembaharuan desa, penguatan modal sosial merupakan
wahana efektif untuk menyelenggarakan perlindungan sosial oleh warga
masyarakat secara mandiri sehingga akan terwujud ketahanan sosial yang
semakin kuat. Semakin kuatnya ketahanan sosial yang diupayakan atas
spirit kemandirian masyarakat desa, maka keberlangsungan hidupnya
menjadi keniscayaan.
Sebagai konsekuensi logis Indonesia sebagai negara kesejahteraan,
maka tanggung jawab terhadap kelompok lemah, dan sistem jaminan sosial
harus menjadi platform sistem ekonomi dan sistem sosial di
Indonesia. Untuk mewujudkannya, negara harus meneguhkan kembali sebagai
“negara kesejahteraan” (welfare state) dengan model “negara kesejahteraan partisipatif” (participatory welfare state). Model ini menekankan bahwa negara harus bertanggungjawab dalam penanganan masalah sosial dan penyelengaraan jaminan sosial (sosial security) dalam arti luas dengan melibatkan masyarakat. Artinya negara berkewajiban melakukan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak azasi manusia” secara demokratis, beradab dan berkeadilan.
Daftar Bacaan
Dwipayana, AAGN Ari dan Sutoro Eko. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Eko, Sutoro, 2003. Mengubah Cara Pandang terhadap Desa.Makalah
Seminar Sehari “Pembaharuan Desa di Era Otonomi Daerah” dalam rangka
Dies Natalis ke 38 STPMD “APMD”, tanggal12 November 2003 di Yogyakarta.
Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: CV. Qalam.
Juliantoro, Dadang. 2003. Jalan Realisasi Pembaharuan Desa.
Makalah Seminar Sehari “Pembaharuan Desa di Era Otonomi Daerah” dalam
rangka Dies Natalis ke 38 STPMD “APMD”, tanggal12 November 2003 di
Yogyakarta.
Kutanegara, Pande Made. 2002. Akses Terhadap Tanah dan Mobilitas Penduduk Pedesaan Jawa. Dalam Tukiran, dkk. Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Disiplin. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Mubyarto, dkk. 1993. Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan.Yogyakarta: Aditya Media.
Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poernomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa: Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Rais, M. Amien, dkk. 1999. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.
Sajogyo, 1994.”Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia
dalam Pembangunan Masyarakat Desa“, dalam Sumarjono,dkk (eds): Pembangunan Masyarakat Desa dalam Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahap Kedua. Yogyakarta: STPMD “APMD” .
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
1) Makalah ini telah dipresentasikan pada acara Seminar Nasional
dalam rangka Dies Natalis ke 40 STPMD “APMD” Yogyakarta, tanggal 16
Nopember 2005 di Yogyakarta.
2) Dosen tetap & Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STPMD “APMD” Yogyakarta