STRATEGI
KOMISI PEMILIHAN UMUM UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PEMILU TAHUN 2014
(Studi di KPU Kabupaten
Sleman Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta)
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Pemilu merupakan
program pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan diseluruh wilayah
Negara Indonesia. Menurut UU
Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pasal 1 bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan implementasi dari salah satu
ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan dalam menentukan arah
dan kebijakan politik negara untuk lima tahun ke depan. Pada saat ini, pemilu
secara nasional dilakukan dua kali yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg),
yaitu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif, baik
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Disamping itu,
diselenggarakan pula pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara
langsung oleh rakyat sesudah pemilihan anggota legislatif dilaksanakan.
Partisipasi politik
dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan
kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang
dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin
tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan
memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat
partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat
kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan.
Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan
putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap
golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi, sehingga perlu demokratisasi
dalam menghadapi pesta demokrasi pada tanggal 9 April 2014 .
Sebagai konsekuensi
negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum
(Pemilu) yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009 untuk pemilihan calon
legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara kuantitatif tampilan tingkat partisipasi
politik (lihat table 1.1) menunjukkan,
bahwa tingkat partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1995), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup
tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative
rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tabel. 1.1
Tingkat Partisipasi Politik Pemilih dan Golput
Dalam Pemilu di Indonesia
No
|
Pemilu
|
Tingkat Partisipasi
Politik (%)
|
Golput (%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
|
1955
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Pileg 2004
Pilpres I
Pilpres II
2009
|
91,4
96,6
96,5
96,5
96,4
95,1
93,6
92,6
84,1
78,2
76,6
71
|
8,6
3,4
3,5
3,5
3,6
4,9
6,4
7,3
15,9
21,8
23,4
29
|
Sumber : Diolah dari KPU
Jika dilihat dari aspek partisipasi
politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan
awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai
meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya
dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun
1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala
Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah,
terutama di wilayah Jawa ( lihat table.1.2) sebagai konsentrasi mayoritas
penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32%
sampai 41,5%. Realitas tersebut
mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus
demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya.
Tabel. 1.2
Perkembangan Tingkat Golput Dalam Pilkada di Pulau Jawa
No
|
Provinsi
|
Pelaksanaan Pemilu
|
Tingkat Golput (%)
|
1
2
3
4
5
|
Banten
DKI
Jabar
Jateng
Jatim
|
26-11-2006
08-08-2007
13-04-2008
22-06-2008
29-07-2008
|
39,17
34,59
32,70
41,50
39,37
|
Sumber:
Lingkaran
Survey Indonesia (LSI)
2006,2007,2008.
Penurunan
partisipasi pemilih pada pemilihan umum nasional yang diikuti penurunan partisipasi
pemilih pada pemilihan kepala daerah akan menjadi berita buruk bagi partai politik, terutama
bagi kehidupan demokrasi Indonesia yang sedang berkembang sebab ke depan, potensi golput dikhawatirkan semakin tinggi. Ada 5 (lima) faktor penyebab menurunya
partisipasi masyarakat dalam pemilu yakni : Pertama, penurunan tingkat kepercayaan
terhadap partai politik sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku korup para
elite politik. Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara, partai politik kini justru lebih menjadi sumber masalah akibat
perilaku korup sejumlah elite mereka. Kedua, faktor kekritisan
artinya masyarakat
yang kritis dapat menganalisis hasil dari pemilu-pemilu sebelumnya dalam
merealisasikan janji-janji saat kampanye. Tingkat realisasi dari janji kampanye
yang relatif rendah serta tidak dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi
rakyat menjadi dasar alasan untuk golput.
Ketiga, faktor keadaan
dimana orang tersebut tidak dapat memberikan suaranya pada TPS tempat
tinggalnya karena orang tersebut terdaftar di TPS daerah lain. Misalnya adalah
orang-orang yang merantau ke daerah lain baik untuk mencari nafkah, menuntut
ilmu, maupun keperluan lain. Keempat, kurangnya sosialisasi pemilu oleh
lembaga pemilihan umum sehingga orang-orang tidak mengetahui seberapa besar
manfaat dari keterlibatan pada pemilu itu sendiri. Sedangkan yang Kelima,
kurangnya peran parpol dalam sosialisasi politik sehingga masyarakat tidak
mengetahui secara jelas apa visi, misi atau bahkan tidak mengenal profil dari
bakal calon yang diusung oleh parpol itu sendiri.
Begitupun halnya yang terjadi pada pemilihan
kepala Daerah di tiga Kabupaten dan 1 Kota, Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa sejak
digelarnya Pilkada di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul pada
tahun 2005 dan Pilkada kota
Yogyakarta, Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2006 tingkat partisipasi masyarakat
menggunakan hak pilihnya
cenderung menurun. Berdasarkan pengamatan
peneliti KPUD Kabupaten Sleman dikhawatirkan akan mengalami kemunduran dalam
menggalang partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014, ini didukung dengan
pernyataan salah satu anggota
KPUD Kabupaten
Sleman
Divisi Sosialisasi, Pendidikan
Pemilih dan Humas, Ibu.
Indah Sri Wulandari, SE,MSc, beliau mengatakan :
“…‘template braille' untuk tuna netra pemilu tahun ini tidak disediakan namun hanya
terdapat untuk dua surat suara yakni
DPD dan DPR RI.
Karena penyediaan 'template
braille' ditolak oleh Kantor Kesatuan
Bangsa dan Politik (Kesbangpol)
kabupaten dengan alasan sudah disediakan sendiri oleh KPU. Sementara yang
disediakan oleh KPU hanya
surat suara DPD saja. Sedangkan surat suara DPR RI pengadaannya dilakukan oleh
KPU DIY. Kemudian surat
suara DPRD Kabupaten/Kota tidak disediakan 'template braille'. Sebagai persoalan yaitu di
KPUD Kabupaten
Sleman tidak ada anggaran untuk pengadaan 'template braille' ”
Ketidaktersedian ‘template
braille' untuk tuna netra” menjadi tantangan tersendiri KPUD Kabupaten
Sleman untuk dicarikan solusinya agar tidak mempengaruhi penurunan partisipasi
masyarakat pada pemilu tahun ini yang telah ditargetkan pencapaiannya 95% dimana angka
tersebut KPUD Kabupaten Sleman
mengacu
pada pemilu sebelumnya yang mencapai 70%.
Selain itu, ada
dua faktor lain yang
mempengaruhi angka partisipasi pemilih yakni, sosialisasi dari KPU sebagai
penyelenggara pemilu, termasuk pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang
juga punya tanggungjawab menyukseskan pemilu dan peran dari partai politik. Persentase (%) partisipasi tingkat
kehadiran pemilih ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut ini :
Tabel. 1.3
Tingkat Partisipasi Masyarakat Daerah Pemilihan
Kabupaten Sleman
No
|
PEMILU
|
2004
(%)
|
2005
(%)
|
2009
(%)
|
2010
(%)
|
1
|
Pileg
|
81,30
|
72,68
|
||
2
|
Pilpres I
|
78,81
|
77,61
|
||
3
|
Pilpres II
|
76,04
|
|||
4
|
Pilkada
|
77,69
|
|||
5
|
Pemilukada
|
70,68
|
Sumber: data KPUD kabupaten
sleman
Dari table
1.3 diatas menunjukkan kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi
pemilih dalam beberapa pemilu.
oleh karena itu mengenai partisipasi masyarakat dalam pemilu, maka
Langkah-langkah yang perlu dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi pemilu
2014 yakni, dengan memaksimalkan beberapa konsep dan sarana bagi
partisipasi masyarakat Pertama,
memaksimalkan proses sosialisasi tentang pentingnya Pemilu dalam sebuah Negara
yang demokratis, bukan hanya sosialisasi teknis penyelenggaraan Pemilu. Meskipun
dalam ketentuan undang-undang menyatakan bahwa sosialisasi dilakukan terkait
dengan teknis penyelenggaraan Pemilu, namun sosialisasi segala hal yang
melatarbelakangi penyelenggaraan Pemilu perlu untuk dilakukan. Hal ini
menjadi penting karena penanaman pemahaman terkait dengan esensi dan
kaidah-kaidah demokrasi merupakan inti penggerak semangat masyarakat untuk
terus menjaga demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu di Negara ini. Kedua, pendidikan bagi pemilih
perlu mendapatkan fokus yang jelas. Ini terkait dengan proses segmentasi
pendidikan pemilih. Pemilih pemula merupakan segmentasi penting dalam upaya
melakukan pendidikan bagi pemilih dan tentunya pendidikan bagi pemilih pemula
ini tidak hanya dilakukan ketika masuk usia pilih. Namun lebih dari itu, pendidikan
bagi pemula seyogyanya dilakukan sedini mungkin, sehingga pemahaman tersebut
terbangun dan ketika sudah mencapai usia pemilih, para pemilih pemula sudah
siap menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Ketiga, survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat yang
kini banyak mendapatkan sorotan publik terkait dengan integritas
pelaksanaannya. Banyak anggapan bahwa survei atau jajak pendapat dan
penghitungan cepat dilakukan hanya untuk kepentingan profit saja. Namun, di
satu sisi, perlu diperhatikan bahwa keberadaan kegiatan survei atau jajak
pendapat dan penghitungan cepat sangatlah penting. Kegiatan tersebut juga bisa
dijadikan sebuah sarana untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan
penyelenggaraan Pemilu. Untuk itu, kegiatan survei atau jajak pendapat dan
penghitungan cepat perlu mendapatkan dukungan, karena kegiatan tersebut
merupakan sarana yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk menghitung atau
profit saja, namun lebih dari itu, ada proses pendidikan bagi para pemilih
serta informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Keempat, tentu saja terkait dengan peningkatan kinerja
penyelenggara Pemilu, bukan hanya terkait dengan kinerja teknis
penyelenggaraan, namun juga dalam hal penumbuhan kesadaran tentang pentingnya
partisipasi masayarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, sehingga masyarakat bisa
memahami partisipasi apa saja yang dapat dilakukan dan apa output dari
partisipasi tersebut.
Menurunnya partisipasi masyarakat pada pemilu-pemilu
sebelumnya khususnya di Kabupaten Sleman menjadi tantangan tersendiri bagi KPUD
Kabupaten Sleman dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam
implementasinya tentunya tidak menutup kemungkinan ada hambatan-hambatan/ dalam
upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian
dan pengkajian yang lebih mendalam terhadap strategi KPUD Kabupaten Sleman
dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu tahun 2014.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Bagaimana Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU Kabupaten Sleman Daerah Istimewa
Yogyakarta”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Bertujuan Untuk mengetahui Strategi Komisi Pemilihan
Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian
a.
Bagi pejabat KPUD Kabupaten Sleman : dapat dijadikan
sebagai refernsi dan masukan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada
pemilu;
b.
Bagi peneliti : dapat dijadikan referensi untuk
melakukan kajian/penelitian lebih lanjut tentang strategi KPU dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu ataupun masalah lain yang
berkaitan;
c.
Bagi para pembaca : hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi
untuk menambah pengetahuan baru dan wawasan luas tentang strategi
KPU dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu.
D.
Kerangka
Teori
1. Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan suatu wujud nyata
dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya
terhadap Negara dan Pemerintah. Kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses
pemilu untuk menentukan siapa yang harus menjalankan dan mengawasi pemerintahan
dalam suatu negara. Dengan adanya pemilu maka telah melaksanakan kedaulatan
rakyat sebagai perwujudan hak asas politik rakyat, selain itu dengan adanya
pemilu maka dapat melaksanakan pergantian pemerintahan secara aman, damai dan
tertib, kemudian untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Hal
ini sejalan dengan
pendapat Haryanto (1998 :
81)
manyatakan bahwa:
“Pemilihan umum merupakan
kesempatan bagi para warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah dan
memutuskan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah dan
dalam membuat keputusan itu para warga negara menentukan apakah yang sebenarnya
yang mereka inginkan untuk dimiliki”
Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya kesadaran politik, tingkat pendidikan, sosial
ekonomi masyarakat, keberagaman ideologi, etik dan suku, dan kondisi geografis.
Pelaksanaan pemilu dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan baik dari
jumlah partai politik maupun tata cara dalam pemilihan, oleh karena itu
dibutuhkan suatu kerjasama yang baik antara rakyat dan pemerintahan yang
mengatur jalnnya pemilu.
Berlangsungnya pemilu yang demokratis harus menjamin
pemilihan yang jujur, adil dan perlindungan bagi masyarakat yang memilih.
Setiap masyarakat yang mengikuti pemilu harus terhindar dari rasa ketakutan,
intimidasi, penyuapan, penipuan dan berbagai praktek curang lainnya. Hal ini
sesuai dengan isi undang-undang dasar 1945 Amandemen 1V pasal 28G bahwa di
dalam negara demokrasi “Setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.
Menurut Undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 1,
bahwa pemilihan umum selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun
macam-macam pemilihan umum antara lain :
a.
Pemilihan
Presiden (Pilpres)
Presiden adalah pemimpin kekuasaan eksekutif dan
dapat dipilih sebanyak-banyaknya dua kali untuk jangka waktu masing-masing lima
tahun. Sebuah partai politik atau koalisi partai politik yang memenangkan 25
persen suara sah atau memperoleh paling sedikit 20 persen kursi DPR dapat
mengajukan calon untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum
Presiden diadakan setelah Pemilu legislatif guna memastikan pemenuhan
persyaratan diatas dalam mencalonkan diri menjadi Presiden. Pasangan Presiden
dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu
Presiden akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 terkait tanggal
akan ditetapkan
selanjutnya oleh komisi pemilihan umum.
b. Pemilu
Legislatif (Pileg)
Pemilu legislatif
di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota legislatif. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilu legislatif bahwa Pemilu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Di
Indonesia, terdapat
dua lembaga legislatif nasional
yaitu :
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR
merupakan badan yang sudah ada yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 dan DPD, yang dibentuk pada tahun 2001 adalah lembaga perwakilan jenis
baru yang secara konstitusional dibentuk melalui amandemen UUD 1945 sebagai pergerakan menuju bicameralism
di Indonesia. Akan tetapi, hanya DPR yang melaksanakan fungsi legislatif secara
penuh, DPD
memiliki mandat yang lebih terbatas. Gabungan kedua lembaga ini disebut Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari perwakilan DPR dan DPD yang dipilih untuk
jangka waktu lima tahun. DPR terdiri dari 560 anggota yang berasal dari 77 daerah
pemilihan berwakil majemuk (multi-member electoral districts) yang
memiliki tiga sampai sepuluh kursi per daerah pemilihan (tergantung populasi
penduduk dapil terkait) yang dipilih melalui sistem proporsional terbuka.
DPD
memiliki 132 perwakilan, yang terdiri dari empat orang dari masing-masing
provinsi yang dipilih melalui sistem mayoritarian dengan varian distrik
berwakil banyak. Sedangkan DPRD Provinsi (Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi) dipilih di 34
provinsi, masing masing dengan jumlah 35 sampai 100 anggota, tergantung
populasi penduduk provinsi yang bersangkutan. Para
anggota legislatif di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota terpilih
untuk menempuh masa jabatan selama lima tahun, yang dimulai pada hari yang
sama, melalui sistem perwakilan proporsional terbuka. Ini berarti bahwa tiap pemilih di
Indonesia akan menerima empat jenis surat suara yang berbeda pada tanggal 9 April
2014, yakni surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pada pemilu
legislatif tahun 2014, KPU telah menetapkan partai politik yang menjadi peserta
pemilu yaitu terdiri dari 12 (dua belas) partai politik nasional, dan 3 partai
politik Aceh. Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional
pada pemilu legislatif tahun 2014 adalah :
1.
Partai Nasdem
2.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
4.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP)
5.
Partai Golongan Karya (Golkar)
6.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
7.
Partai Demokrat
8.
Partai Amanat Nasional (PAN)
9.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10.
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
11.
Partai Damai Aceh (PDA)
12.
Partai Nasional Aceh (PNA)
13.
Partai Aceh (PA)
14.
Partai Bulan Bintang (PBB)
15.
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI).
Tahapan-tahapan pada pemilu tahun 2014 sebagaimana
diatur dalam Undang-undang
No.
8 tahun 2012 pasal 4 adalah sebagai berikut:
a)
Perencanaan program dan anggaran, serta
penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu;
b)
Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan
daftar pemilih;
c)
Pendaftaran dan verivikasi peserta
pemilu;
d)
Penetapan peserta pemilu;
e)
Penetapan jumlah kursi dan penetapan
daerah pemilihan;
f)
Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;
g)
Masa kampanye pemilu;
h)
Masa tenang;
i)
Pemungutan dan penghitungan suara;
j)
Penetapan hasil pemilu;
k)
Pengucapan sumpah/janji anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
c.
Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada)
Pilkada adalah upaya
demokrasi untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas dengan cara-cara yang
damai, jujur dan adil. Salah satu prinsip demokrasi yang terpenting adalah
pengakuan terhadap perbedaan dan penyelesaian perbedaan secara damai. Upaya
penguatan demokrasi lokal melalui pilkada langsung adalah mekanisme yang tepat
sebagai bentuk terobosan atau tidak berjalannya pembangunan demokrasi di
tingkat lokal (Amirudin dan A. Zaini Bisri, 2006: 12-14). Pemilihan umum daerah
yang resmi diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum disebut Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Pemilukada. Pemilukada adalah
pemilihan umum terputus (staggered) untuk memilih kepala dan wakil
kepala eksekutif di 33 provinsi (kecuali Yogyakarta) dan di 502 kabupaten/kota.
Pemilukada provinsi yang menjadi kepala
eksekutif adalah gubernur, dibantu oleh wakil gubernur. Gubernur dan wakil
gubernur dipilih sebagai pasangan untuk masa jabatan lima tahun dengan
mayoritas relatif minimal 30 persen dari jumlah suara yang ada (50 persen untuk
Jakarta). Jika mayoritas relatif ini tidak tercapai, putaran kedua antara dua
kandidat yang memperoleh suara terbesar akan diselenggarakan. Pemilukada kabupaten/kota yang menjadi kepala eksekutif adalah Bupati,
dan kepala eksekutif sebuah kota adalah Walikota. Bupati atau Walikota, beserta
wakilnya, dipilih sebagai pasangan untuk masa jabatan lima tahun dengan
mayoritas relatif minimal 30 persen dari jumlah suara yang ada.
Pemilukada desa dimana kepala
desa
adalah warga negara yang secara langsung dipilih oleh warga desa dalam
pemilihan umum yang sifatnya informal dan diorganisir secara lokal. Pemilihan
umum ini dilaksanakan secara terputus untuk masa jabatan enam tahun. Pilkada diselenggarakan oleh KPUD langsung
diselenggarakan oleh lembaga yang independen, mandiri dan non-partisan. Dengan
penyelenggaraan yang objektivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi
pemilih dan peserta pilkada relatif bisa dioptimalkan. Fungsi utama
penyelenggara adalah merencanakan dan menyelenggarakan tahapan-tahapan kegiatan.
UU No. 32 / 2004 membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada langsung kepada
tiga institusi, yakni DPRD, KPUD, dan Pemerintah Daerah. Secara teknis, pilkada
langsung diselenggarakan oleh KPUD (Provinsi, Kabupaten/Kota). Sebagai pemegang
mandat penyelenggaraan, KPUD bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan
dari tahapan pendaftaran pemilih sampai penetapan calon pemilih. KPUD juga
membuat regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus
sesuai dengan koridor hukum dan ketentuan perundangan (Joko J. Prihatmoko,
2005: 112-124).
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil
gubernur maupun bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota secara
langsung merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar dalam memilih pemimpin
di daerah. Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk
menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, dan rahasia tanpa adanya
intervensi sama halnya mereka memilih prasiden dan wakil presiden dan
wakil-wakilnya di legislatif dalam pemilu (Joko J. Prihatmoko, 2005: 112-124). Salah satu
ciri sistem pilkada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianut.
Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan
sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang kita
kehendaki. Asas pilkada adalah pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan
pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman
yang harus mewarnai proses penyelenggaraan. Asas pilkada juga berarti jalan
atau saran agar agar pilkada trlaksanakan secara demokratis (Joko J.
Prihatmoko, 2005: 206).
Lebih lanjut, Joko J. Prihatmoko,( 2005: 207-208) menjabarkan mengenai
pengertian asas-asas tersebut, yaitu:
a.
Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b.
Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
c.
Bebas
Setiap warga negara berhak memilih secara bebas menentukan pilihan tanpa
tekanan dan paksaan dari siapapun.
d.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
e.
Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada harus bersikap
dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f.
Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilih Umum (Pemilu) merupakan salah satu media
demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat. Pemilu dianggap
penting dalam proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemilihan umum
sudah menjadi bagian yang terpisahkan dari suatu negara demokrasi. Dalam negara
hukum yang demokratis, kegiatan memilih otang atau sekelompok orang menjadi
pemimpin idealnya dilakukan melalui pemilu dengan berasaskan prinsip pemilu
yang langsung, umum, rahasia, jujur dan adil (LUBERDIL). Namun meskipun prinsip tersebut terus dijadikan
pedoman dan asas demokrasi, tetapi
bukan berarti pemilu tidak bebas dari perselisihan-perselisihan lainnya.
Indonesia menjadikan
pemilu sebagai bagian yang sangat penting dalam kegiatan bernegara, peraturan
tertinggi mengenai pemilu pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
hasil amandemen. Pemilu secara tegas diatur
pada UUD 1945 perubahan III,
Bab VIIB tentang Pemilihan umum, pasal 22E. Berikut
ini adalah pasal tersebut.
1.
Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
2.
Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota dewan perwakilan rakyat. Dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan
perwakilan rakyat daerah.
3.
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah patrai politik.
4.
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah
adalah perseorangan.
5.
Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6.
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan
umum diatur dengan undang-undang.
Pada
undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan dearah, dan dewan perwakilan rakyat daerah
dinyatakan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana
perwujudan kedaulatan rakyat guna mengahasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan
pemilu diselenggarakan dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
1.
Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan
daftar pemilih.
2.
Pendaftaran peserta pemilu.
3.
Penetapan peserta pemilu.
4.
Penetapan jumlah kursi dan penetapan
daerah pemilihan.
5.
Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
6.
Masa kampanye.
7.
Masa tenang.
8.
Pemungutan dan penghitungan suara.
9.
Penetapan hasil pemilu.
10. Pengucapan
supmah / janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan
seluruh proses pemilihan umum (Pemilu) di indonesia melibatkan beberapa pihak
yang saling berhubungan satu dengan yang lainya. Berikut ini adalah penjelasan
setiap bagian pihak yang terkait pemilu.
1.
Komisi pemilihan umum (KPU) merupakan
lembaga penyelenggara pemilu yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri.
2.
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota
merupakan penyelenggara pemilu ditingkat provinsi dan kabupaten/kota.
3.
Panitia pemilihan kecamatan (PPK)
merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota, bertugas untuk menyelenggarakan pemilu pada
tingkat kecamatan.
4.
Panitia pemungutan suara (PPS) merupakan
panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota, bertugas untuk menyelenggarakan
pemilu di tingkat desa/kelurahan.
5.
Panitia pemilihan luar negeri (PPLN)
merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan seluruh proses
pemilu di luar negeri.
6.
Kelompok penyelenggara pemugutan suara
(KPPS) adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan
suara di tempat pemungutan suara.
7.
Kelompok penyelenggara pemungutan suara
luar negeri (KPPSLN) merupakan kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat
pemungutan suara di luar negeri.
8.
Badan pengawas pemilu (Panwaslu)
merupakan badan yang bertugas mengawasi penyelenggraan pemilu di seluruh
indinesia.
9.
Panitia pengawas pemilu (Panwaslu)
provinsi dan panwaslu kabupaten/kota merupakan panitia yang dibentuk oleh
banwaslu dan bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
10. Panwaslu
kecamatan merupakan panitia yang dibentuk oleh panwaslu kabupaten/kota untuk
mengawasi mengawasi penyelenggraan
pemilu di tingkat kecamatan.
11. Pengawas pemilu lapangan merupakan petugas
yang dibentuk oleh panwaslu kecamatan,
bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa/kelurahan.
12. Pemilih
adalah warga negara indonesia yang telah berusia sekurang-kurangnya 17 tahun
atau telah/sudah pernah menikah dan tidak sedang dicabut
hak pilihnya.
hak pilihnya.
2.
Strategi Komisi Pemilihan Umum
Kata
strategi berasal
dari kata Strategos dalam bahasa Yunani merupakan gabungan dari Stratos
atau tentara dan ego atau pemimpin. Suatu strategi mempunyai
dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi pada
dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut
Kamus Bahasa Besar Indonesia
(KBBI),
yang dimaksud dengan strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua
sumber daya (bangsa-bangsa) untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu.
Menurut
Marrus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses
penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan
jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya
bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. Selanjutnya Quinn (1999:10)
mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan
tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian
tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Strategi diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan
pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi menjadi suatu bentuk yang
unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan
kemampuan internal dan kelemahan organisasi
serta antisipasi perubahan
dalam lingkungan.
Sedangkan pengertian strategi menurut Bryson (Dalam Agung
Kurniawan , 2009; 82), strategi adalah salah satu cara un tuk membantu
orgnisasi mengatasi lingkungan yang
selalu berubah serta membantu organisasi untuk membantu dan memecahkan masalah terpenting
yang mereka hadapi. Untuk itu dengan strategi, organisasi dapat membangun
kekuatan dan memecahkan masalah dan mengambil keuntungan dari peluang,
mengatasi dan kelemahan dan ancaman dari
luar. Adapun pendapat dari Bryson (Dalam
Agung Kurniawan , 2009; 83) bahwa
manajemen strategi adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat, serta sebagian
karena sifat khas praktik perencanaan sector public di tingkat local.
Menurut Hax dan Majluf (Dalam J. Solusu,
2008; 100-101), dapat merumuskan yang
komprehensif tentang strategi sebagai
berikut :
a.
merupkan suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu, dan integral;
b.
menentukan dan menampilkn tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka
panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya;
c.
menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti organisasi;
d.
mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan
memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan
eksternal organisasi, dan kekuatan serta
kelemahannya;
e.
melibatkan semua tingkat hierarki
dari organisasi.
Dengan definisi ini menurut perumusan diatas
strategi menjadi kerangka fundamental suatu norganisasi untuk mampu dalam
menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara saat yang bersamaan ia akan
memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Sedangkan
definisi dari McNichols bertolak belakang dengan definisi Hax dan Majluf yaitu;
“Strategi ialah seni mengunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi
untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan
lingkungan dalam kondisi yang paling
menguntungkan.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
strategi adalah penempatan suatu misi,
visi tujuan dan sasaran suatu organisasi dengan mengikuti kekuatan eksternal
dan internal, atau peran –peran kelembagaan serta individu penyelenggaraan
pemerintahan, pada perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai
sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat, sebagai tujuan dan sasaran
utama dalam organisasi akan tercapai.
Selanjutnya, menurut Undang-undang No. 8 tahun
2012, KPU yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu.
KPU Provinsi adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di
Provinsi. Sedangkan KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara pemilu yang
bertugas melaksanakan pemilu di Kabupaten/Kota.
1.
Visi dan Misi KPU
Visi :
“Terwujudnya
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya
demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Misi :
1)
Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang
memiliki kompetensi, kredibilitas dan
kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;
2)
Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif
dan beradab;
3)
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang bersih, efisien dan efektif;
4)
Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan
Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara
konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5)
Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk
berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat
Indonesia yang demokratis.
2.
Tugas dan Kewenangan KPU
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun
1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan
Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1)
Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan
Umum;
2)
Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai
Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
3)
Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya
disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat
pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4)
Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II
untuk setiap daerah pemilihan;
5)
Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua
daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6)
Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta
data hasil Pemilihan Umum;
7)
Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
3.
Manajemen
Pemilu
Manajemen pemilihan umum memerlukan
suatu institusi atau badan/lembaga yang bertanggung jawab
atas aktivitas pemilu. Lembaga yang mempunyai berbagai ukuran dan bentuk yang meliputi : Komisi
Pemilihan Umum, Departemen Pemilihan Umum, Unit
Pemilihan atau Jawatan Pemilihan Umum. Istilah Electoral Management Body (EMB) atau
Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum (LPP) telah menjadi sebuah nama yang
mengacu kepada badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk pemilu.
Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah suatu badan atau organisasi
yang mempunyai satu-satunya tujuan dan menurut hukum bertanggung jawab untuk
memanage beberapa atau semua unsur-unsur yang penting untuk mengadakan pemilu
dan mewujudkan instrument demokrasi secara langsung. Ada 3 (tiga) Model dari manajemen pemilu antara lain :
1). The Independent Model of Electoral Management
The Independent Model
manajemen pemilu artinya pemilu
diatur dan dikelola oleh EMB yang secara kelembagaan independen dan otonom dari
cabang eksekutif dari pemerintah , dan yang memiliki dan mengelola anggaran
sendiri . Berdasarkan Model Independen, EMB tidak bertanggung jawab kepada
kementerian atau departemen pemerintah. Tetapi bertanggung jawab
kepada badan legislatif , yudikatif , atau kepala negara . Badan pelaksana
pemilu di bawah Model Independen dapat menikmati berbagai tingkat otonomi
keuangan dan akuntabilitas, serta
berbagai tingkat akuntabilitas kinerja. beberapa negara demokrasi baru dan muncul telah
memilih Model Independen manajemen pemilu diantaranya termasuk Armenia ,
Australia , Bosnia dan Herzegovina , Burkina Faso , Kanada , Costa Rika, Estonia , Georgia , India ,
Indonesia , Malaysia , Liberia , Mauritius , Nigeria, Polandia , Afrika Selatan
, Thailand dan Uruguay.
2). The Governmental Model of Electoral
Management The
Governmental Model ini terdapat dalam Negara-negara yang pemilunya
diorganisir dan diatur oleh badan eksekutif melalui suatu kementrian dan/atau
melalui otoritas lokal. Lembaga penyelenggara pemilu dibawah Governmental Model
ada pada tingkatan nasional yang dipimpin
oleh seorang menteri atau pegawai sipil dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
menteri. Dengan sangat sedikit pengecualian tidak
mempunyai anggota. Anggaran di jatuhkan pada pemerintah dan/atau dibawah
otoritas lokal.
3). The Mixed
Model of Electoral Management
Di model ini, terdapat dua komponen
dari lembaga penyelenggara pemilu itu dan memiliki struktur rangkap yaitu : sebuah kebijakan, monitoring atau pengawasan yang tidak terikat pada
badan eksekutif dari pemerintah (seperti LPP
Independent Model) dan sebuah implementasi LPP yang terletak di dalam sebuah
departemen dan/atau pemerintah lokal (seperti LPP Govermental Model). Di dalam
Mixed Model, pemilihan diorganisir oleh komponen LPP di bidang Govermental
Model, dengan level tertentu dari kesalahan yang disajikan oleh komponen LPP
Independent Model.
Manajemen penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia tidak efisien dari segi biaya dan terlalu menguras energi
sosial-politik masyarakat. Sehingga diperlukan
langkah serius untuk menyederhanakan manajemen Pemilu. Dalam waktu
lima tahun sedikitnya akan terjadi 475 pemilihan di Indonesia (dengan asumsi
cukup satu kali putaran). Hal itu belum
termasuk Pilkades yang melibatkan lebih 70 ribu desa. Dengan frekuensi "event" pemilihan yang demikian
tinggi, kenyatannya
manajemen penyelenggaraannya menjadi tidak efisien dari sisi pembiayaan, baik
berupa dana negara yang digunakan maupun dana para kontestan yang mengikuti
Pemilu dan Pilkada. Selain itu, energi politik masyarakat banyak terkuras untuk
kontestasi politik praktis. Jadi diperlukan
adanya penyederhanaan sistem pemilihan dengan memasukkan Pilkada ke dalam rezim
pemilu atau setidaknya
penyelenggaranya adalah lembaga yang sama secara nasional.
Dalam ilmu politik dikenal
bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua
prinsip pokok, yaitu :
“single-member
constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau disebut sistem distrik) dan multi-member
constituency (satu daerah pemilihan
memilih beberapa wakil atau dinamakan proportional
representation atau sistem perwakilan berimbang)’’ (Rahman, 2007:151).
a.
Single-member constituency (Sistem Distrik)
Sistem ini
merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah
pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat
ditentukan oleh jumlah distrik.
b.
Multi-member constituency (Sistem Perwakilan Berimbang)
Satu daerah
pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau sistem perwakilan berimbang.
Sistem inni dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem
distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu
golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk
keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan (Rahman, 2007:152).
Jumlah total
anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar pertimbangan dimana
setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk
dalam daerah pemilihan itu. Indonesia merupakan salah satu Negara demokrasi
dimana dengan adanya sistem pemilihan umum yang bebas untuk membentuk dan
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis.
Hal ini sesuai dengan tujuan
Negara Republik Indonesia bagaimana tercantum didalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan
pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemilu tahun 2014 dilakukan dua kali putaran dimana pemilu
putaran pertama memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislative) kemudian
pemilu putaran ke dua yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif).
Dalam pemilu legislatif rakyat dapat
memilih secara langsung wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilihan umum anggota legislatif
mengunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dimana dalam
memilih, rakyat dapat mengetahui siapa saja calon wakil-wakilnya yang akan
mewakili daerahnya. Selain dilaksanakan sistem proporsional juga adanya sistem
distrik dalam pemilihan untuk anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan
adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih
wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan benar-benar mewakili aspirasi,
keragaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya.
3. Partisipasi Politik
Pemilih
Partisipasi politik merupakan faktor
terpenting dalam suatu pengambilan keputusan, karena tanpa partisipasi politik
keputusan yang dibuat oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan baik. Sebelum
menguraikan pengertian partisipasi politik, maka penulis menguraikan terlebih
dahulu definisi partisipasi yakni :
Menurut
Surbakti (1992) bahwa partisipasi merupakan salah salah satu aspek penting demokrasi.
Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu
tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu. Karena keputusan
politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan
mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut
serta menentukan isi keputusan politik” (Surbakti, 1992).
Bertolak dari pendapat di atas,
dapat dikatakan bahwa partisipasi itu sikap individu atau kelompok atau
organisasi warga masyarakat yang terlibat atau ikut serta dalam pencapaian
tujuan dan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pendapat
Syafiie (2010) yang dikutip dari buku “Pengantar Ilmu Pemerintahan” (Syafiie, 2001) mengatakan
bahwa : Partisipasi
adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan
kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk
berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap
pertanggungjawaban bersama.
Berdasarkan definisi di atas,
partisipasi merupakan keterlibatan individu dalam situasi dan kondisi
organisasinya. Keterlibatan tersebut dapat mendorong individu untuk berperan
serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasinya yaitu partai
politik.
Selanjutnya, definisi
partisipasi politik Menurut Sastroatmodjo (1959:67) bahwa : Partisipasi
politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk
terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah (Sastroatmodjo, 1959:67).
Sejalan dengan pendapat Budiarjo (dalam Sasrtoatmodjo, 1995 : 68)
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan
negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Sedangkan Menurut Hutington & Nelson dalam Budiarjo, 1998:3) bahwa : Partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah.
Pemerintah dalam
membuat dan melaksanakan keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi
kehidupan warga masyarakat. Dasar inilah yang digunakan warga masyarakat agar
dapat ikut serta dalam menentukan isi politik. Prilaku-prilaku yang demikian
dalam konteks politik mencakup semua kegiatan sukarela, dimana seorang ikut
serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan umum.
Menurut davis (dalam Sastroatmodjo, 1995:85) mengatakan
bahwa partisipasi
politik adalah sebagai mental dan emosional yang mendorong untuk memberikan
sumbangan kepada tujuan atau cita-cita kelompok atau turut bertanggung jawab
padanya).
Dalam negara demokratis
yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaultan ada di tangan
rakyat, yang dilaksanakannya melalui
kegiatan bersama untuk menentukan tujuan
serta masa depan suatu negara itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan
memegang pemimpinan.
Dari pengertian
mengenai partisipasi politik di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga
negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga
yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik
dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pada dasarnya kesuksesan sebuah
Pemilu ditentukan oleh beberapa hal yang diantaranya menyangkut
pemilih/konstituen yang merupakan salah satu karakteristik pemerintah demokrasi
yaitu pemerintahan didasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai sarana
kedaulatan rakyat yang memilih dan menentukan pejabat politik ditingkat
nasional hingga tingkat daerah lewat Pemilihan Umum. Beberapa bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai
berikut :
a.
Kegiatan pemilihan yaitu : mencakup
suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan
bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil
proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas
dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Walaupun
demikian pemilihan adalah salah satu bagian dari bentuk partisipasi, jadi tidak
bisa dikatakan bahwa jika partisipasi masyarakat dalam pemilihan atau
pemungutan suara meningkat berarti bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya
juga meningkat demikian juga sebaliknya.
b.
Lobbying, mencakup upaya-upaya
perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan
pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan – keputusan
mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
Contoh-contoh yang jelas adalah kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan
dukungan bagi atau oposisi terhadap, suatu usul legislative atau keputusan
administrasif tertentu.
c.
Kegiatan organisasi, tujuan
utama dan eksplisitnya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
Organisasi ini dapat memusatkan usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang
sangat khusus atau pada masalah umum yang beraneka ragam. Menjadi anggota
organisasi sudah merupakan bentuk partisipasi politik tak peduli apakah orang
yang bersangkutan ikut atau tidak dalam upaya organisasi untuk mempengaruhi
keputusan pemerintah. Keanggotan yang tidak aktif dapat dianggap sebagai
partisipasi melalui orang lain.
d.
Mencari koneksi ( contacting, merupakan
tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan
biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir
orang.
e.
Tindak kekerasan (violence), Upaya
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah dengan jalan
menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Pakar ilmu politik, Samuel P. Huntington mamandang
partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, dengan maksud mempengaruhi keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat indifidual atau kolektif, terorganisir atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau ilegal, dan efektif atau tidak efektif.
Sedangkan menurut James Rosenaudan Nimo, partisipasi
politik dilaksanakan oleh khalayak politik yang
bukan politikus atau bukan pemimpin politik dan pengikutnya. Mereka itu disebut
sebagai partisipan politik. Dengan kata lain, jika politikus sebagai
komunikator politik, maka partisipan
politik adalah khalayak politik. Jadi, dari mekanistis komunikasi politik,
dapat dijelaskan bahwa dalam partisipasi politik terdapat komunikator politik
yaitu politikus, dan terdapat pula khalayak politik yang disebut partisipan
politik.
Partisipasi politik menurut rosenau, terdiri atas
dua jenis yakni,
Pertama, para pengamat
yang memperhatikan politik tidak hanya selama pemilihan umum, melainkan
diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum yang lain. Mereka pada
umumnya khalayak media (pembaca surat kabar, pendengar radio, dan pemirsa
televisi), serta aktif dalam diskusi, seminar dan memberikan komentar melalui
media massa. Kedua, partisipan aktif adalah khalayak yang bukan saja
mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi dengan para pemimpin politik atau
politikus, baik di pemerintah maupun parlemen dan di luar parlemen. Biasanya
partisipan politik ini dimobilisasi oleh komunikator politik, terutama oleh
para politikus (Anwar Arifin, 2006
: 34-35).
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
masalah partisipasi politik memang cukup rumit. Pada umumnya negara-negara ini
sedang giat-giatnya melaksanakan usaha untuk kesejahteraan masyarakatnya dan
sekaligus berusaha untuk mengejar ketertinggalan mereka dari bangsa-bangsa lain
dalam hal pembangunan. Menurut Huntington dan Nelson (dalam Bambang Sunggono, 1992: 169), dapat
disimpulkan bahwa Inonesia termasuk negara yang pembangunannya cenderung
teknokratis. Model pembangunan teknokratis mencirikan di dalamnya adanya
partisipasi politik yang rendah. Model ini mengasumsikan bahwa partisipasi
politik perlu ditekan. Pada setiap masyarakat, bentuk-bentuk partisipasi
politik jauh lebih banyak ditentukan oleh politik dari pada faktor lain.
Menurut Huntington dan Nelson, dalam tulisannya tersebut, sikap elit-elit
terhadap partisipasi politik di dalam setiap masyarakat mungkin merupakan
satu-satunya faktor yang paling menentukan yang mempengaruhi sifat dari pada
partisipasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Partisipasi yang dikerahan
hanya terjadi bila elit-elit politik mengadakan usaha untuk melibatkan massa rakyat
ke dalam kegiatan politik, sedangkan partisipasi otomatis dapat terjadi dengan
pengorbanan yang tidak terlalu tinggi, jika hanya elit politik itu yang
menganjurkannya.
Dengan demikian, partisipasi politik rakyat
merupakan manifestasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang sah
(legilitasi politik) dari rakyat. Dengan partisipasi politik rakyat misalnya
melalui pemilihan umum, pada gilirannya akan mempengaruhi kebijaksanaan negara
(Bambang Sunggono, 1992: 138). Dalam
jangka panjang, perubahan-perubahan
dalam susunan sosial, ekonomi dan
demografi dari suatu masyarakat akan merubah sifat partisipasi dari masyarakat
yang bersangkutan, namun perubahan yang terjadi seringkali melalui perubahan di
dalam susunan atau tinjauan dari elit politik. Elit yang sedang memodernkan di
muka umum hampir selalu menyatakan dukungan dan mencanangkan keinginan mereka
terhadap partisipasi politik yang lebih meluas. Strategi yang demikian
tampaknya merupakan upaya untuk mengubah perimbangan kekuasaan dalam pentas
politik itu dengan cara mengembangkan bentuk-bentuk partisipasi baru, namun
tingkatan pada sikap umum itu tercermin dalam tindakan dan kebijaksanaannya.
Akan tetapi, mereka enggan menanggung resiko dari partisipasi itu yang berarti
merupakan pembatasan ataupun perintang bagi kekuasaannya. Mereka juga memandang
bahwa perubahan dalam setiap pola partisipasi sebagai suatu ancaman trhadap status quo politik yang lebih banyak
menguntungkan puhak partisipan.
Oleh karena itu, bila elit politik berkeinginan untuk
meluaskan partisipasi, hal itu sebenarnya lebih mencerminkan pandangan mereka
bahwa partisipasi merupakan alat yang justru akan mengokohkan keberadaannnya
(Bambang Sunggono, 1992: 170-171). Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara
secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy). Setiap
perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara
Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan
politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin
tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika
partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena
itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik
yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana
lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya,
maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau
negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan
berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan
masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan
dalam proses beradaptasi. Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilihan
umum menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah
negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap
penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting
dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada
logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang
diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk
itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu
saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi
politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabill karena hambatan partisipasi politik ketika
stabilitas politik belum bisa diwujudkan, oleh sebab
itu stabilitasi politik penting
untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Disamping itu pula proses
berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk
memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya. Partisipasi politik tidak lebih dari
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan. Secara subtantif bisa berarti upaya
atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih
para pemimpin yang di nilai
baik. Partispasi ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab terhadap
kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik
ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan
misi elit politik tetentu. Peningkatan partisipasi masyarakat
sangat penting dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam proses memilih anggota
legislatif dan eksekutif. Karena bagaimanapun masyarakat memiliki andil yang
cukup besar dalam proses pemilihan umum dimana masyarakat sebagai pemilih yang
menentukan dalam pemenangan dalam proses pemilihan umum tersbut. Akan tetapi
beberapa tahun terakhir partisipasi masyarakat akhir-akhir ini menurun karena
disebabkan banyak faktor. Sudah menjadi tanggungjawab bersama bagaimana upaya
untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemilu sebagai proses demokratisasi
yang sudah berjalan di Indonesia Lembaga penyelenggara pemilu harus berupaya
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum agar masyarakat mau
memberikan hak suaranya dalam proses pesta demokrasi tersebut.
Komisi
pemilihan umum sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum di Indonesia sudah banyak strategi yang
dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum
diantaranya memberikan pendidikan pemilih (vote
education). Kegiatan ini tidak hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara
pemilu, namun bisa juga dilaksanakan oleh semua elemen bangsa ini, karena
pemilu itu yang menentukan nasib bangsa, dalam menentukan wakil rakyat diparlemen
dan pemimpin bangsa baik ditingkat pusat maupun di daerah. Kegiatan ini
bertujuan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bagaimana tata cara dan
peran masyarakat dalam pemilu dengan demikian masyarakat akan mengerti peran
meraka dalam pesta demokrasi tersebut. Selain memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada
masyarakat, pendidikan pemilu juga bertujuan memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai demokrasi dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam
mensukseskan terselenggaranya pemilu dan pemilukada. Selain itu kegiatan
tersebut juga bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu yang
berkualitas dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik.
Selain
berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam proses
pemilihan pemilu, komisi pemilihan umum juga berusaha menarik minat pemilih
pemula untuk turut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Partisipasi pemilih
pemula sangat penting sebagai pembelajaran untuk berpartisipasi dalam dunia
perpolitikan di Indonesia. Selain menarik minat, memberikan pemahaman dan
pendidikan kepada pemilih pemula merupakan langkah yang sangat penting sehingga
pemilih pemula tidak pragmatis dalam menentukan pilihannya. Agar supaya sistem demokrasi semakin
baik, dibutuhkan partisipasi semua pemilih, khususnya partisipasi pemilih
pemula, hingga level partisipan bahkan level subjek. Pada kedua level
ini, pemilih sudah sangat paham dan aktif terlibat pada semua tahapan pemilihan
umum. Strategi yang dilakukan lembaga
penyelenggara pemilu dan pemerintah dalam menggalang suara pemilih pemula yang
notabene masih muda maka strategi yang digunakan oleh KPU melalui aktifitas
positif anak muda. Misalnya lembaga pemilihan umum menyelenggarakan pertemuan
pelajar dan mahasiswa dalam sebuah seminar terkait pendidikan pemilihan umum
atau mengadakan pertemuan komunitas pemuda.
E.
RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.Pelayanan Publik
Adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu memfasilitasi
kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel,
transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum) sesuai peraturan yang
berlaku.
Prinsip-prinsip
Pelayanan publik antara lain :
1.
Kesederhanaan
2.
Adanya Kejelasan
3.
Keterbukaan
4.
Efisiensi
5.
Ekonomis
6.
Keadilan
7.
Ketetapan waktu
2. Profesionalisme Aparatur Pemerintah
a.
Profesionalisme adalah
kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu
tinggi.
b.
Aparatur Pemerintah adalah Birokrat (pegawai pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi,
mempunyai tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi
yang diatur dalam peraturan perundangan.
Untuk menggambarkan
fokus
penelitian dalam skripsi ini menjelaskan Profesionalisme Aparatur dalam
Pelayanan Publik di Kantor KecamatanSentolo dapat dilihat dari indikator
sebagai berikut :
a.
Kreatifitas
i.Kemampuanaparatur
menghadapi hambatan dalam pelayanan publik
ii.Kemampuan aparatur membangun ide menciptakan sebuah inovasi
2. Inovasi
a. Hasrat aparatur untuk mencari dan menemukan caru baru dalam
pelaksanaan tugas
b. Tekad aparatur untuk menggunakan metode kerja barudalam pelaksanaan
tugas
c. Keinginan untuk berkembang dan mengembangkan diri dalam
pelaksanaan
tugas
3. Responsifitas
a. Kemampuan mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru
b. Kemampuan mengenali kebutuhan masyarakat
c. Kemampuan mengembangkan program pelayanan sesuai kebutuhan dan
aspirasi masyarakat.
F. METODE
PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Menurut Moleong (2006:11) bahwa
penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu
masalah dan keadaan sebagaimana adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya
mengungkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa. Penelitian deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan
sosial yang timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menitikberatkan pada Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014.
b. Unit Analisis
Untuk unit analisis
dalam penelitian ini adalah obyek dan sekaligus subyek
penelitian atau kesatuan unit yang akan
diteliti. Obyek penelitian ini adalah Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
dalam Pemilu Tahun 2014.
Subyek
penelitian yaitu keseluruhan
komponen yang terdapat dalam pelaksanaan
pemilu tahun 2014, lokasi penelitian terdapat di KPU Kabupaten Sleman Istimewa
Yogyakarta. Selanjutnya untuk menentukan informan dipakai teknik purposive sampling, yaitu sampel dimana pengambilan elemen-elemen
yang dimasukkan dalam sampel dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian.
Maka dalam penelitian
ini jumlah informan sebanyak
20orang, yang terdiri dari:
1. Ketua KPU : 1
2.
Anggota KPU
: 4
3. Masyarakat : 5
+
Jumlah
c.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh
bahan-bahan yang relevan dan akurat. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini, teknik yang dilakukan adalah:
a. Observasi (pengamatan)
Observasi
adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek
penelitian mengenai hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan masalah
untuk mendapatkan data pelengkap (Kartono,1996:157).Observasi ini bisa dikatakan
merupakan suatu cara pengumpulan data
dengan melihat atau meninjau lokasi penelitian untuk melihat secara
langsung potensi-potensi yang ada tetapai belum dimanfaatkan, serta mencari
permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat dari potensi-potensi terkait
dengan pengelolaan.
b. Interview
(wawancara)
Interview
adalah metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan,
pelaksanaannya bisa dengan cara langsung bertatap mata maupun lewat media
seperti telepon, yang bertujuan untuk mendapat gambaran nyata tentang pokok
persoalan yang diteliti (Kartono, 1996:187). Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung. Bertanya
yang dilakukan seorang peneliti kepada seorang
informan yang kompeten
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah merupakan salah satu
pola untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur baik berupa
dokumentasi kegiatan, data, table, gambar, serta sumber-sumber lain yang relevan dan
terkait dengan permasalahan dalam penelitian.
Data tersebut meliputi semua data yang berkaitan dengan Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa
Yogyakarta.
d. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini di
menggunakan teknik analisis data Model Miles dan Huberman. Data dikumpulkan
dalam bentuk transkrip dari hasil rekaman dan catatan reflektif untuk
memberikan gambaran suasana, sikap, dan emosi dari responden, kemudian
dilakukan editing. Data dikelompokkan dalam unit-unit kecil dan merangkum
kembali dalam kategori-kategori tertentu. Unit-unit tersebut berupa kata,
kalimat atau paragraf atau bagian dari data yang mempunyai makna tersendiri.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan
dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan
membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami.
Langkah- langkah analisis data menurut Miles dan Huberman
(2007:16)
a.
Data Reduction ( Reduksi Data )
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup
banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama
peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit.
Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal- hal
yang pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting dicari tema dan polanya.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,
dan mencari yang diperlukan.
b.
Data Display ( Penyajian Data )
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah
menyajikan data. Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang
bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
difahami tersebut.
c.
Conclusion Drawing
( Verifikasi )
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti- bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan yang kredibel.
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan
langkah-langkah analisis data diantaranya reduksi data, penyajian data dan
verifikasi data.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
Anwar Arifin. (2006). Pencitraan dalam Politik: Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif Komunikasi Politik.
Jakarta: Pustaka Indonesia
Bambang Sunggono. (1992). Partai Politik dalam Kerangka Pembangunan Politik di
Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu
Burhan Bungin. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. 2 Aktualisasi Metodelogis Kearah Ragam Varian Kontemporer.
Jakarta: PT Raja Grafinda Persada
Hetifa Sj. Sumarto. (2004). Inovasi, Partisipasi dan Good Goverment: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasif di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Joko J.Prihatmoko. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung : Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Intergrafika
Lexy J. Moleong. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
Lexy J. Moleong. (2002). Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: ANDI
Martin Jimung. (2005). Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama.
Robert Dahl. (1985). Analisa Politik Modern. Jakarta: Bumi Aksara
Revrisond Baswir, dkk, (2009). Kepemimpinan Nasional: Demokratisasi dan Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Syamsul Hadi Turbani. (2005). Pilkada Bima 2005: Era Baru
Demokratisasi Lokal di Indonesia.
Tuban: Bima Swagiri-FITRA
Peraturan
Perundang-undangan:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945
Undang-undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilu
anggota DPR, DPD, DPRD tahun 2014
Peraturan KPU No.21 tahun 2013 tentang Program dan
jadwal penyelenggaraan pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD tahun 2014.
Peraturan KPU No.23 tahun 2013 tentang Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pemilu