Mengutip dari perkataan SBY bahwa tahun ini adalah tahun politik, Iya memang benar' ini bisa terlihat dari berbagai manuver yang diperlihatkan oleh berbagai politisi menjelang pemilu 2014 mendatang. Pemerintah juga tidak kalah ketinggalan dalam mejalankan manuvernya yang sangat populer yaitu rencana menaikan harga BBM tak tangguh-tangguh isu kenaikan BBM tersebut bisa mengalahkan berita tentang korupsi yang kian marak terjadi di negri ini. Rencana pemerintah dalam menaikan harga BBM sebenarnya telah lama menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Penolakan sejumlah kalangan tersebut bukan tanpa alasan akan tetapi mengingat dampak BBM sangat luas. Jika BBM naik maka otomatis harga barang akan semakin melambung. terutama harga kebutuhan pokok. Dengan demikian rakyat dalam memenuhi kebutuhanya akan semakin menderita. Tertundanya rencana kenaikan BBM pada tahun lalu membuktikan kegalauan pemerintah yang masih suam-suam mengambil keputusan menaiki harga BBM. Walau juga BBM belum naik tapi sebagian orang telah memanfaatkan kesempatan dalam menaikan harga pangan dipasar. Situasi ini membuat persoalan semakin rumit, harga barang hingga biaya trasportasi pun ikut-ikut naik sebelum harga BBM diumumkan naik. Ini semua akibat polemik kenaikan harga BBM yang tak kujung abis, demi merendam amarah rakyat langsung direspon oleh pemerintah dengan pengobatan program konyol yang tidak mendidik untuk jadi pemberdayaan masyarakat tetapi hanya menyebabkan ketergantungan banyak orang, bisa jadi angka kemiskinan di Negri ini akan semakin bertambah . Program BLSM (bantuan lansung tunai masyarakat) sebagai bentuk kompensasi BBM terindikasi sangat bermuatan politis karena momentum pembagiankanNya tidak pas, mengingat ini tahun politik bisa jadi menguntungkan parpol yang bergabung dalam koalisi pemerintah untuk pencitraan menjelang pemilu 2014. Rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM sebenarnya mayoritas ditolak oleh rakyat. Dari hasil riset LSN terlihat bahwa mayoritas publik menolak kenaikan harga BBM. Sebanyak 86,1 persen mayoritas publik dengan tegas menolak kenaikan harga BBM. Hanya 12,4 persen menyatakan setuju dan 1,5 persen responden menyatakan tidak tahu. Penolakan tersebut pula didapati bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa publik menolak kenaikan BBM. Pertama, kenaikan harga BBM dinilai akan semakin memberatkan ekonomi masyarakat. Kedua, kebijakan untuk kenaikan harga BBM dinilai tidak akan menolong kesehatan fiskal sebagaimana yang direncanakan pemerintah. Ketiga, publik menilai ada motif-motif politik praktis di balik kebijakan kenaikan BBM. Berdasarkan penemuan LSN dijelaskan bahwa 12,4 persen responden yang menyetujui kenaikan harga BBM hampir seluruhnya berasal dari segmen masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. (sumber:http://nasional.news.viva.co.id/news/read/417671-survei-lsn--mayoritas-publik-tolak-kenaikan-harga-bbm).
Menurut sejumlah pengamat politik juga berpendapat jika BLSM sangat bermuatan politis, terlepas dari itu, menurut pendapat penulis tentang program BLSM bukanlah solusi yang tepat untuk mengetaskan kemiskinan dibumi pertiwi tercinta ini, tetapi sebaliknya hanya menambah masalah baru dengan bertambahnya jumlah rakyat miskin karena program tersebut tidak membuat mandiri (pemberdayaan) rakyat tetapi sebaliknya membuat rakyat kecil ketergantungan, akibatnya menghasilkan pengangguran besar-besaran akibat tidak bisa memenuhi biaya produksi usaha rakyat kecil seperti nelayan, pedagang kecil, dan sebagaiNya. Polemik Pemberian dana kompensasi BBM dalam bentuk BLSM masih mewarnai kehidupan sosial politik mayarakat hingga kini. Menurut sejumlah pengamat dan aktivis lainya recana kenaikan BBM telah membuat SBY menjadi dilema. Menurut Zuhro yang juga sebagai pengamat politik LIPI menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang dilema. Jika bahan bakar minyak (BBM) tidak dinaikkan, maka akan berdampak pada jebolnya APBN. Atau sebaliknya, jika BBM dinaikkan maka akan mencekik rakyat. (sumber:okezone.com). Dari pernyataan tersebut penulis dapat mengemukakan jika demikian maka kebijakan mengurangi subsidi BBM oleh pemerintah benar –benar sangatlah tidak adil. Oleh sebab alasan pemerintah mengatakan bahwa subsidi BBM membengkak dan tidak tepat sasaran, karena itu tak lain demi mencari kambing hitam dibalik kegagalan pemerintah yaitu rakyat menengah keatas yang tidak berhak menikmati subsidi BBM. Memang tidaklah heran jika pemerintah banyak mencari alasan demi membela diriNya dan seakan-akan rakyat dianggap bodoh, padahal jelas - jelas rakyat tahu jika pemerintah telah gagal dalam meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi krisis keuangan APBN dimana rupiah yang semakin ditekan oleh nilai dollar. Walaupun seharusnya kegagalan pemerintah tersebut tidak boleh dibebani kepada rakyat. Defisit keuangan negara terjadi salah satu penyebab karena kemampuan sistem politik era pemerintahan SBY dibidang ekstraktif gagal. menurut Gabriel Almond mengemukakan bahwa kapabilitas ekstraktif, yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Mengikuti perjalanan era pemerintahan SBY-JK hingga SBY-Boediono kemampuan dalam mengelola hasil sumber daya alam masih lemah. eksploitasi terhadap hasil sumber daya alam yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun masih juga belum bisa diminimalisir oleh negara. Namun sebaliknya semakin membuka peluang bagi kapitalis dalam memanfaatkan hasil-hasil sumber daya alam Indonesia. Ekploitasi terhadap SDA seperti PT. Freeport di tanah Papua dan berbagai Perusahaan lainya diberbagi pulau besar di Indonesia seperti di kalimantan dan sumatra yang telah dikuasai oleh penguasa asing. Salahkah pemimpin yang lalu ?. Sebenarnya jika pemerintah telah jauh-jauh hari mengantisipasi masalah kemiskinan di Indoensia mungkin tidak sewajarnyalah rakyat dan Negara ini khawatir akan kenaikan BBM karena itu sama saja bagaikan negara kepulauan yang khawatir akan kekurangan garam. Pada hal indonesia termasuk salah satu negara sebagai penghasil minyak terbesar di dunia dengan memproduksi minyak sebesar 1.023.000 barrel/hari atau sebesar 1.21% dari produksi minyak dunia (sumber data : CIA World Factbook). Dari data tersebut sangat ironis sekali pemerintah mengurangi subsidi BBM yang seharusnya menjadi milik bangsa ini. Dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Tetapi dalam konteks kekinian ternyata yang terjadi dilapangan bumi, air dan kekayaan alam dikendalikan dan kuasai oleh penguasa asing dan kapitalis lokal demi kemakmuran kapitalis itu sendiri dan elit politik. Ada apa sebenarnya di negeri ini yang katanya tanah surga tapi hati rakyat seakan hidup di neraka ketika tekanan dan tuntutan kebutuhan hidup semakin berat. Momentum isu kenaikan BBM kali ini telah memberi rasa ketakutan bagi banyak orang. Tetapi disaat itu pula Negara menunjukan tajiNya serta membuktikan jatih dirinya bahwa kekuasaan itu ada pada diriNya siapapun tidak boleh membatahnya, walau dalam kamus demokrasi tidak boleh memaksa kebijakan yang merugikan rakyat, tetapi sekali lagi sebagaimana kita ketahui dalam sistem presidesial, presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintah, otomatis kekuatan yang dimilikiNya semakin besar apa lagi ditambah dukungang dari satgas koalisasi pemerintah. Alasan basa basi sebagai pencitraan kebijakan yang tidak pro rakyat seakan menutup mata atas beberapa demonstrasi penolakan kenaikan BBM yang terjadi diberbagai daerah diseluruh tanah air, Iy memang buat apa pemerintah ambil pusing khususnya elit politik kita disenayan sana, lagian yang ikut bertempuran yaitu aparat keamanan dan rakyat, masih ingat kalimat terakhir Marzuki ali sebagai pimpinan sidang paripurna pengesahkan RAPBN-P 2013 usai mengumumkan hasil votting, yang sempat diwarna bentrok oleh mahasiswa tapi diilarai oleh aparat yang khusus disiapkan mengamankan jalanNya persidangan dengan nada halus ia berkata kepada aparat keamanan "tolong bagi aparat keamanan untuk mengamankan mahasiswa tidak dengan kekerasan sebab mereka adalah anak-anak kita” sungguh kalimat teguran yang cukup berkelas dari seorang elit politik. Namun Semua sudah terjadi, apa boleh buat mau tidak mau harus dijalani dengan tabah dan sabar, namun setiap perjuangan rakyat akan tetap hidup dan abadi selamanya.
(Sumber; http://politik.kompasiana.com/2013/06/21/bbm-naik-sby-jadi-dilema-akhirnya-mencari-kambing-hitam--567094.html)
Oleh :
Fardin Laia
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
STPMD "APMD" Yogyakarta.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
STPMD "APMD" Yogyakarta.