Penelitian tentang STRATEGI KPU DALAM PEMILU

STRATEGI KOMISI PEMILIHAN UMUM UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT  DALAM PEMILU TAHUN 2014
(Studi di KPU Kabupaten Sleman  Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Pemilu merupakan program pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan diseluruh wilayah Negara Indonesia. Menurut UU Nomor 15 Tahun  2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pasal 1 bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk lima tahun ke depan. Pada saat ini, pemilu secara nasional dilakukan dua kali yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg), yaitu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif, baik anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Disamping itu, diselenggarakan pula pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat sesudah pemilihan anggota legislatif dilaksanakan.
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi, sehingga perlu demokratisasi dalam menghadapi pesta demokrasi pada tanggal 9 April 2014 .  
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).  Secara kuantitatif tampilan tingkat partisipasi politik (lihat table 1.1)  menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1995),  rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tabel. 1.1
Tingkat Partisipasi Politik Pemilih dan Golput
Dalam Pemilu di Indonesia

No
Pemilu
Tingkat Partisipasi
Politik (%)
Golput  (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.

1955
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Pileg 2004
Pilpres I
Pilpres II
2009
91,4
96,6
96,5
96,5
96,4
95,1
93,6
92,6
84,1
78,2
76,6
71
8,6
3,4
3,5
3,5
3,6
4,9
6,4
7,3
15,9
21,8
23,4
29
                  Sumber : Diolah dari KPU
                        Jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa ( lihat table.1.2) sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.  Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya.
Tabel. 1.2
Perkembangan Tingkat Golput Dalam Pilkada di Pulau Jawa
No
Provinsi
Pelaksanaan Pemilu
Tingkat  Golput (%)
1
2
3
4
5
Banten
DKI
Jabar
Jateng
Jatim
26-11-2006
08-08-2007
13-04-2008
22-06-2008
29-07-2008
39,17
34,59
32,70
41,50
39,37
     Sumber: Lingkaran Survey Indonesia (LSI) 2006,2007,2008.
Penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan umum nasional yang diikuti penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah akan menjadi berita buruk bagi partai politik, terutama bagi kehidupan demokrasi Indonesia yang sedang berkembang sebab ke depan, potensi golput dikhawatirkan semakin tinggi. Ada 5 (lima) faktor penyebab menurunya partisipasi masyarakat dalam pemilu yakni : Pertama, penurunan tingkat kepercayaan terhadap partai politik sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku korup para elite politik. Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik kini justru lebih menjadi sumber masalah akibat perilaku korup sejumlah elite mereka. Kedua, faktor kekritisan artinya masyarakat yang kritis dapat menganalisis hasil dari pemilu-pemilu sebelumnya dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye. Tingkat realisasi dari janji kampanye yang relatif rendah serta tidak dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi dasar alasan untuk golput. Ketiga, faktor keadaan dimana orang tersebut tidak dapat memberikan suaranya pada TPS tempat tinggalnya karena orang tersebut terdaftar di TPS daerah lain. Misalnya adalah orang-orang yang merantau ke daerah lain baik untuk mencari nafkah, menuntut ilmu, maupun keperluan lain. Keempat, kurangnya sosialisasi pemilu oleh lembaga pemilihan umum sehingga orang-orang tidak mengetahui seberapa besar manfaat dari keterlibatan pada pemilu itu sendiri. Sedangkan yang Kelima, kurangnya peran parpol dalam sosialisasi politik sehingga masyarakat tidak mengetahui secara jelas apa visi, misi atau bahkan tidak mengenal profil dari bakal calon yang diusung oleh parpol itu sendiri.  
Begitupun halnya yang terjadi pada pemilihan kepala Daerah di tiga Kabupaten dan 1 Kota, Daerah Istimewa  Yogyakarta bahwa sejak digelarnya Pilkada di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul pada tahun 2005 dan Pilkada kota Yogyakarta, Kabupaten Kulonprogo Tahun 2006  tingkat partisipasi masyarakat menggunakan hak pilihnya cenderung menurun. Berdasarkan pengamatan peneliti KPUD Kabupaten Sleman dikhawatirkan akan mengalami kemunduran dalam menggalang partisipasi masyarakat dalam pemilu 2014, ini didukung dengan pernyataan  salah satu  anggota KPUD  Kabupaten Sleman Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Humas, Ibu. Indah Sri Wulandari, SE,MSc, beliau mengatakan : 
“…‘template braille' untuk tuna netra pemilu tahun ini tidak disediakan namun hanya terdapat untuk dua surat suara yakni DPD dan DPR RI. Karena   penyediaan 'template braille'  ditolak oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) kabupaten  dengan alasan  sudah disediakan sendiri oleh KPU. Sementara yang disediakan oleh KPU hanya surat suara DPD saja. Sedangkan surat suara DPR RI pengadaannya dilakukan oleh KPU DIY. Kemudian surat suara DPRD Kabupaten/Kota tidak disediakan 'template braille'. Sebagai persoalan yaitu di KPUD Kabupaten Sleman tidak ada anggaran untuk pengadaan 'template braille'

Ketidaktersedian ‘template braille' untuk tuna netra   menjadi tantangan tersendiri KPUD Kabupaten Sleman untuk dicarikan solusinya agar tidak mempengaruhi penurunan partisipasi masyarakat pada pemilu tahun ini yang telah ditargetkan pencapaiannya 95% dimana  angka tersebut KPUD Kabupaten Sleman mengacu pada pemilu sebelumnya yang mencapai 70%.  Selain itu, ada dua faktor lain yang mempengaruhi angka partisipasi pemilih yakni, sosialisasi dari KPU sebagai penyelenggara pemilu, termasuk pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang juga punya tanggungjawab menyukseskan pemilu dan peran dari partai politik. Persentase (%) partisipasi tingkat kehadiran pemilih ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut ini :
Tabel. 1.3
Tingkat Partisipasi Masyarakat  Daerah Pemilihan Kabupaten Sleman
No
PEMILU
2004  (%)
2005  (%)
2009  (%)
2010 (%)
1
Pileg
81,30

72,68

2
Pilpres I
78,81

77,61

3
Pilpres II
76,04



4
Pilkada

77,69


5
Pemilukada



70,68
           Sumber: data KPUD kabupaten sleman
Dari table 1.3 diatas menunjukkan kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi pemilih dalam beberapa pemilu. oleh karena itu mengenai partisipasi masyarakat dalam pemilu, maka Langkah-langkah yang perlu dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi pemilu 2014 yakni, dengan memaksimalkan beberapa konsep dan sarana bagi partisipasi masyarakat Pertama, memaksimalkan proses sosialisasi tentang pentingnya Pemilu dalam sebuah Negara yang demokratis, bukan hanya sosialisasi teknis penyelenggaraan Pemilu. Meskipun dalam ketentuan undang-undang menyatakan bahwa sosialisasi dilakukan terkait dengan teknis penyelenggaraan Pemilu, namun sosialisasi segala hal yang melatarbelakangi penyelenggaraan Pemilu perlu untuk dilakukan.  Hal ini menjadi penting karena penanaman pemahaman terkait dengan esensi dan kaidah-kaidah demokrasi merupakan inti penggerak semangat masyarakat untuk terus menjaga demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu di Negara ini. Kedua, pendidikan bagi pemilih perlu mendapatkan fokus yang jelas. Ini terkait dengan proses segmentasi pendidikan pemilih. Pemilih pemula merupakan segmentasi penting dalam upaya melakukan pendidikan bagi pemilih dan tentunya pendidikan bagi pemilih pemula ini tidak hanya dilakukan ketika masuk usia pilih. Namun lebih dari itu, pendidikan bagi pemula seyogyanya dilakukan sedini mungkin, sehingga pemahaman tersebut terbangun dan ketika sudah mencapai usia pemilih, para pemilih pemula sudah siap menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Ketiga, survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat yang kini banyak mendapatkan sorotan publik terkait dengan integritas pelaksanaannya. Banyak anggapan bahwa survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat dilakukan hanya untuk kepentingan profit saja. Namun, di satu sisi, perlu diperhatikan bahwa keberadaan kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat sangatlah penting. Kegiatan tersebut juga bisa dijadikan sebuah sarana untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Untuk itu, kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat perlu mendapatkan dukungan, karena kegiatan tersebut merupakan sarana yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk menghitung atau profit saja, namun lebih dari itu, ada proses pendidikan bagi para pemilih serta informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Keempat, tentu saja terkait dengan peningkatan kinerja penyelenggara Pemilu, bukan hanya terkait dengan kinerja teknis penyelenggaraan, namun juga dalam hal penumbuhan kesadaran tentang pentingnya partisipasi masayarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, sehingga masyarakat bisa memahami partisipasi apa saja yang dapat dilakukan dan apa output dari partisipasi tersebut.
Menurunnya partisipasi masyarakat pada pemilu-pemilu sebelumnya khususnya di Kabupaten Sleman menjadi tantangan tersendiri bagi KPUD Kabupaten Sleman dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam implementasinya tentunya tidak menutup kemungkinan ada hambatan-hambatan/ dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam terhadap strategi KPUD Kabupaten Sleman dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu tahun 2014.
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Bagaimana Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta”




C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
Bertujuan Untuk mengetahui Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.  Manfaat Penelitian
a.         Bagi pejabat KPUD Kabupaten Sleman : dapat dijadikan sebagai refernsi dan masukan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu;
b.         Bagi peneliti : dapat dijadikan referensi untuk melakukan kajian/penelitian lebih lanjut tentang strategi KPU dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu ataupun masalah lain yang berkaitan;
c.         Bagi para pembaca : hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi untuk menambah pengetahuan baru dan wawasan luas tentang strategi KPU dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pemilu.

D.      Kerangka Teori
1.    Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap Negara dan Pemerintah. Kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses pemilu untuk menentukan siapa yang harus menjalankan dan mengawasi pemerintahan dalam suatu negara. Dengan adanya pemilu maka telah melaksanakan kedaulatan rakyat sebagai perwujudan hak asas politik rakyat, selain itu dengan adanya pemilu maka dapat melaksanakan pergantian pemerintahan secara aman, damai dan tertib, kemudian untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Hal ini sejalan dengan pendapat Haryanto (1998 : 81) manyatakan bahwa:
Pemilihan umum merupakan kesempatan bagi para warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah dan memutuskan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah dan dalam membuat keputusan itu para warga negara menentukan apakah yang sebenarnya yang mereka inginkan untuk dimiliki
Penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kesadaran politik, tingkat pendidikan, sosial ekonomi masyarakat, keberagaman ideologi, etik dan suku, dan kondisi geografis. Pelaksanaan pemilu dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan baik dari jumlah partai politik maupun tata cara dalam pemilihan, oleh karena itu dibutuhkan suatu kerjasama yang baik antara rakyat dan pemerintahan yang mengatur jalnnya pemilu.
Berlangsungnya pemilu yang demokratis harus menjamin pemilihan yang jujur, adil dan perlindungan bagi masyarakat yang memilih. Setiap masyarakat yang mengikuti pemilu harus terhindar dari rasa ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan dan berbagai praktek curang lainnya. Hal ini sesuai dengan isi undang-undang dasar 1945 Amandemen 1V pasal 28G bahwa di dalam negara demokrasi “Setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk  berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. 
Menurut Undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 1, bahwa pemilihan umum selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun macam-macam pemilihan umum antara lain :
a.    Pemilihan Presiden (Pilpres)
Presiden adalah pemimpin kekuasaan eksekutif dan dapat dipilih sebanyak-banyaknya dua kali untuk jangka waktu masing-masing lima tahun. Sebuah partai politik atau koalisi partai politik yang memenangkan 25 persen suara sah atau memperoleh paling sedikit 20 persen  kursi DPR dapat mengajukan calon untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum Presiden diadakan setelah Pemilu legislatif guna memastikan pemenuhan persyaratan diatas dalam mencalonkan diri menjadi Presiden. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.  Pemilu Presiden akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 terkait  tanggal akan ditetapkan selanjutnya oleh komisi pemilihan umum.
b.   Pemilu Legislatif (Pileg)
Pemilu legislatif di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota legislatif. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilu legislatif bahwa Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di Indonesia, terdapat dua lembaga legislatif nasional yaitu : Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  DPR merupakan badan yang sudah ada yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan DPD, yang dibentuk pada tahun 2001 adalah lembaga perwakilan jenis baru yang secara konstitusional dibentuk melalui amandemen UUD 1945 sebagai pergerakan menuju bicameralism di Indonesia. Akan tetapi, hanya DPR yang melaksanakan fungsi legislatif secara penuh, DPD memiliki mandat yang lebih terbatas.  Gabungan kedua lembaga ini disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari perwakilan DPR dan DPD yang dipilih untuk jangka waktu lima tahun. DPR terdiri dari 560 anggota yang berasal dari 77 daerah pemilihan berwakil majemuk (multi-member electoral districts) yang memiliki tiga sampai sepuluh kursi per daerah pemilihan (tergantung populasi penduduk dapil terkait) yang dipilih melalui sistem proporsional terbuka. DPD memiliki 132 perwakilan, yang terdiri dari empat orang dari masing-masing provinsi yang dipilih melalui sistem mayoritarian dengan varian distrik berwakil banyak. Sedangkan DPRD Provinsi  (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi) dipilih di 34 provinsi, masing masing dengan jumlah 35 sampai 100 anggota, tergantung populasi penduduk provinsi yang bersangkutan.  Para anggota legislatif di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota terpilih untuk menempuh masa jabatan selama lima tahun, yang dimulai pada hari yang sama, melalui sistem perwakilan proporsional terbuka. Ini berarti bahwa tiap pemilih di Indonesia akan menerima empat jenis surat suara yang berbeda pada tanggal 9 April 2014, yakni surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pada pemilu legislatif tahun 2014, KPU telah menetapkan partai politik yang menjadi peserta pemilu yaitu terdiri dari 12 (dua belas) partai politik nasional, dan 3 partai politik Aceh. Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional pada pemilu legislatif tahun 2014 adalah :
                1.           Partai Nasdem
                2.           Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
                3.           Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
                4.           Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
                5.           Partai Golongan Karya (Golkar)
                6.           Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
                7.           Partai Demokrat
                8.           Partai Amanat Nasional (PAN)
                9.           Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
              10.         Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
              11.         Partai Damai Aceh (PDA)
              12.         Partai Nasional Aceh (PNA)
              13.         Partai Aceh (PA)
              14.         Partai Bulan Bintang (PBB)
              15.         Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Tahapan-tahapan pada pemilu tahun 2014 sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 4 adalah sebagai berikut:
a)         Perencanaan program dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu;
b)        Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
c)         Pendaftaran dan verivikasi peserta pemilu;
d)        Penetapan peserta pemilu;
e)         Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f)         Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;
g)        Masa kampanye pemilu;
h)        Masa tenang;
i)          Pemungutan dan penghitungan suara;
j)          Penetapan hasil pemilu;
k)        Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.



c.    Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
          Pilkada adalah upaya demokrasi untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas dengan cara-cara yang damai, jujur dan adil. Salah satu prinsip demokrasi yang terpenting adalah pengakuan terhadap perbedaan dan penyelesaian perbedaan secara damai. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pilkada langsung adalah mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobosan atau tidak berjalannya pembangunan demokrasi di tingkat lokal (Amirudin dan A. Zaini Bisri, 2006: 12-14). Pemilihan umum daerah yang resmi diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Pemilukada. Pemilukada adalah pemilihan umum terputus (staggered) untuk memilih kepala dan wakil kepala eksekutif di 33 provinsi (kecuali Yogyakarta) dan di 502 kabupaten/kota.
Pemilukada provinsi yang menjadi kepala eksekutif adalah gubernur, dibantu oleh wakil gubernur. Gubernur dan wakil gubernur dipilih sebagai pasangan untuk masa jabatan lima tahun dengan mayoritas relatif minimal 30 persen dari jumlah suara yang ada (50 persen untuk Jakarta). Jika mayoritas relatif ini tidak tercapai, putaran kedua antara dua kandidat yang memperoleh suara terbesar akan diselenggarakan. Pemilukada kabupaten/kota  yang menjadi kepala eksekutif adalah Bupati, dan kepala eksekutif sebuah kota adalah Walikota. Bupati atau Walikota, beserta wakilnya, dipilih sebagai pasangan untuk masa jabatan lima tahun dengan mayoritas relatif minimal 30 persen dari jumlah suara yang ada.
Pemilukada desa dimana kepala desa adalah warga negara yang secara langsung dipilih oleh warga desa dalam pemilihan umum yang sifatnya informal dan diorganisir secara lokal. Pemilihan umum ini dilaksanakan secara terputus untuk masa jabatan enam tahun. Pilkada diselenggarakan oleh KPUD langsung diselenggarakan oleh lembaga yang independen, mandiri dan non-partisan. Dengan penyelenggaraan yang objektivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi pemilih dan peserta pilkada relatif bisa dioptimalkan. Fungsi utama penyelenggara adalah merencanakan dan menyelenggarakan tahapan-tahapan kegiatan. UU No. 32 / 2004 membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada langsung kepada tiga institusi, yakni DPRD, KPUD, dan Pemerintah Daerah. Secara teknis, pilkada langsung diselenggarakan oleh KPUD (Provinsi, Kabupaten/Kota). Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD bertugas melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan dari tahapan pendaftaran pemilih sampai penetapan calon pemilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hukum dan ketentuan perundangan (Joko J. Prihatmoko, 2005: 112-124).
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota secara langsung merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, dan rahasia tanpa adanya intervensi sama halnya mereka memilih prasiden dan wakil presiden dan wakil-wakilnya di legislatif dalam pemilu (Joko J. Prihatmoko, 2005: 112-124). Salah satu ciri sistem pilkada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianut. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang kita kehendaki. Asas pilkada adalah pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain, asas pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus mewarnai proses penyelenggaraan. Asas pilkada juga berarti jalan atau saran agar agar pilkada trlaksanakan secara demokratis (Joko J. Prihatmoko, 2005: 206).
Lebih lanjut, Joko J. Prihatmoko,( 2005: 207-208) menjabarkan mengenai pengertian asas-asas tersebut, yaitu:
a.    Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b.    Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
c.    Bebas
Setiap warga negara berhak memilih secara bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.
d.   Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
e.    Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f.     Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Pemilih  Umum (Pemilu) merupakan salah satu media demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat. Pemilu dianggap penting dalam proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemilihan umum sudah menjadi bagian yang terpisahkan dari suatu negara demokrasi. Dalam negara hukum yang demokratis, kegiatan memilih otang atau sekelompok orang menjadi pemimpin idealnya dilakukan melalui pemilu dengan berasaskan prinsip pemilu yang langsung, umum, rahasia, jujur dan adil (LUBERDIL). Namun  meskipun prinsip tersebut terus dijadikan pedoman dan asas demokrasi, tetapi bukan berarti pemilu tidak bebas dari perselisihan-perselisihan lainnya.
Indonesia menjadikan pemilu sebagai bagian yang sangat penting dalam kegiatan bernegara, peraturan tertinggi mengenai pemilu pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen. Pemilu secara tegas diatur  pada UUD 1945 perubahan III, Bab VIIB  tentang Pemilihan umum, pasal 22E. Berikut ini adalah pasal tersebut.
1.        Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
2.        Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat. Dewan perwakilan daerah,  presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah.
3.        Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah  adalah patrai politik.
4.        Peserta pemilihan umum untuk  memilih anggota dewan perwakilan daerah adalah perseorangan.
5.        Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6.        Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Pada undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan dearah, dan dewan perwakilan rakyat daerah dinyatakan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna mengahasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan pemilu diselenggarakan dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
1.        Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih.
2.        Pendaftaran peserta pemilu.
3.        Penetapan peserta pemilu.
4.        Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan.
5.        Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
6.        Masa kampanye.
7.        Masa tenang.
8.        Pemungutan dan penghitungan suara.
9.        Penetapan hasil pemilu.
10.    Pengucapan supmah / janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan seluruh proses pemilihan umum (Pemilu) di indonesia melibatkan beberapa pihak yang saling berhubungan satu dengan yang lainya. Berikut ini adalah penjelasan setiap bagian pihak yang terkait pemilu.
1.        Komisi pemilihan umum (KPU) merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri.
2.        KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota merupakan penyelenggara pemilu ditingkat provinsi dan kabupaten/kota.
3.        Panitia pemilihan kecamatan (PPK) merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota,  bertugas untuk menyelenggarakan pemilu pada tingkat kecamatan.
4.        Panitia pemungutan suara (PPS) merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota, bertugas untuk menyelenggarakan pemilu di tingkat desa/kelurahan.
5.        Panitia pemilihan luar negeri (PPLN) merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan seluruh proses pemilu di luar negeri.
6.        Kelompok penyelenggara pemugutan suara (KPPS) adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
7.        Kelompok penyelenggara pemungutan suara luar negeri (KPPSLN) merupakan kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk  menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.
8.        Badan pengawas pemilu (Panwaslu) merupakan badan yang bertugas mengawasi penyelenggraan pemilu di seluruh indinesia.
9.        Panitia pengawas pemilu (Panwaslu) provinsi dan panwaslu kabupaten/kota merupakan panitia yang dibentuk oleh banwaslu dan bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan  pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
10.    Panwaslu kecamatan merupakan panitia yang dibentuk oleh panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi mengawasi  penyelenggraan pemilu di tingkat kecamatan.
11.      Pengawas pemilu lapangan merupakan petugas yang dibentuk oleh panwaslu   kecamatan, bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa/kelurahan.
12.    Pemilih adalah warga negara indonesia yang telah berusia sekurang-kurangnya 17 tahun atau telah/sudah pernah menikah dan tidak sedang dicabut
hak pilihnya.









2.      Strategi Komisi Pemilihan Umum
Kata strategi berasal dari kata Strategos dalam bahasa Yunani merupakan gabungan dari Stratos atau tentara dan ego atau pemimpin. Suatu strategi mempunyai dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya (bangsa-bangsa) untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu.
Menurut Marrus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.  Selanjutnya Quinn (1999:10) mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan organisasi serta antisipasi perubahan dalam lingkungan.
Sedangkan pengertian  strategi menurut Bryson (Dalam Agung Kurniawan , 2009; 82), strategi adalah salah satu cara un tuk membantu orgnisasi mengatasi lingkungan  yang selalu berubah serta membantu organisasi untuk membantu dan memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Untuk itu dengan strategi, organisasi dapat membangun kekuatan dan memecahkan masalah dan mengambil keuntungan dari peluang, mengatasi dan  kelemahan dan ancaman dari luar.  Adapun pendapat dari Bryson (Dalam Agung  Kurniawan , 2009; 83) bahwa manajemen strategi adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat, serta sebagian karena sifat khas praktik perencanaan sector public di tingkat local.
Menurut Hax dan Majluf (Dalam J. Solusu, 2008; 100-101), dapat merumuskan  yang komprehensif tentang strategi  sebagai berikut :
a.         merupkan suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu, dan integral;
b.        menentukan dan menampilkn tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya;
c.         menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti organisasi;
d.        mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal  organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya;
e.         melibatkan semua  tingkat hierarki dari organisasi.
Dengan definisi ini menurut perumusan diatas strategi menjadi kerangka fundamental suatu norganisasi untuk mampu dalam menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara saat yang bersamaan ia akan memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap  lingkungan yang selalu berubah. Sedangkan definisi dari McNichols bertolak belakang dengan definisi Hax dan Majluf yaitu; “Strategi ialah seni mengunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan  dalam kondisi yang paling menguntungkan.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi  adalah penempatan suatu misi, visi tujuan dan sasaran suatu organisasi dengan mengikuti kekuatan eksternal dan internal, atau peran –peran kelembagaan serta individu penyelenggaraan pemerintahan, pada perumusan kebijakan dan strategi tertentu untuk mencapai sasaran dan memastikan implementasinya secara tepat, sebagai tujuan dan sasaran utama dalam  organisasi akan tercapai.
Selanjutnya, menurut Undang-undang No. 8 tahun 2012, KPU yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu. KPU Provinsi adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di Provinsi. Sedangkan KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di Kabupaten/Kota.
1.        Visi dan Misi KPU
Visi :
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
       Misi :
1)        Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki  kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;
2)         Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
3)        Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif;
4)        Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5)        Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
2.        Tugas dan Kewenangan KPU
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1)        Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
2)        Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
3)        Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4)        Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
5)        Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6)        Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
7)        Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

3.    Manajemen Pemilu
Manajemen pemilihan umum memerlukan suatu institusi atau  badan/lembaga yang bertanggung jawab atas  aktivitas pemilu.  Lembaga yang mempunyai berbagai ukuran dan bentuk yang meliputi : Komisi Pemilihan Umum,  Departemen Pemilihan Umum, Unit Pemilihan atau  Jawatan Pemilihan Umum. Istilah Electoral Management Body (EMB) atau Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum (LPP) telah menjadi sebuah nama yang mengacu kepada badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk pemilu. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai satu-satunya tujuan dan menurut hukum bertanggung jawab untuk memanage beberapa atau semua unsur-unsur yang penting untuk mengadakan pemilu dan mewujudkan instrument demokrasi secara langsung. Ada 3 (tiga) Model dari manajemen pemilu antara lain :
1). The Independent Model of Electoral Management
The Independent Model manajemen pemilu artinya pemilu diatur dan dikelola oleh EMB yang secara kelembagaan independen dan otonom dari cabang eksekutif dari pemerintah , dan yang memiliki dan mengelola anggaran sendiri . Berdasarkan Model Independen, EMB tidak bertanggung jawab kepada kementerian atau departemen pemerintah. Tetapi bertanggung jawab kepada badan legislatif , yudikatif , atau kepala negara . Badan pelaksana pemilu di bawah Model Independen dapat menikmati berbagai tingkat otonomi keuangan dan akuntabilitas, serta berbagai tingkat akuntabilitas kinerja. beberapa negara demokrasi baru dan muncul telah memilih Model Independen manajemen pemilu diantaranya termasuk Armenia , Australia , Bosnia dan Herzegovina , Burkina Faso , Kanada , Costa Rika, Estonia , Georgia , India , Indonesia , Malaysia , Liberia , Mauritius , Nigeria, Polandia , Afrika Selatan , Thailand dan Uruguay.

2). The Governmental Model of Electoral
Management  The Governmental Model ini terdapat dalam Negara-negara yang pemilunya diorganisir dan diatur oleh badan eksekutif melalui suatu kementrian dan/atau melalui otoritas lokal. Lembaga penyelenggara pemilu dibawah Governmental Model ada pada tingkatan nasional yang dipimpin oleh seorang menteri atau pegawai sipil dan dapat dipertanggungjawabkan kepada menteri. Dengan sangat sedikit pengecualian tidak mempunyai anggota. Anggaran di jatuhkan pada pemerintah dan/atau dibawah otoritas lokal.
3). The Mixed Model of Electoral Management
Di model ini, terdapat dua komponen dari lembaga penyelenggara pemilu  itu dan memiliki struktur rangkap yaitu : sebuah kebijakan, monitoring atau pengawasan yang tidak terikat pada badan eksekutif dari pemerintah (seperti LPP Independent Model) dan sebuah implementasi LPP yang terletak di dalam sebuah departemen dan/atau pemerintah lokal (seperti LPP Govermental Model). Di dalam Mixed Model, pemilihan diorganisir oleh komponen LPP di bidang Govermental Model, dengan level tertentu dari kesalahan yang disajikan oleh komponen LPP Independent Model.
Manajemen penyelenggaraan Pemilu di Indonesia tidak efisien dari segi biaya dan terlalu menguras energi sosial-politik masyarakat. Sehingga diperlukan langkah serius untuk menyederhanakan manajemen Pemilu. Dalam waktu lima tahun sedikitnya akan terjadi 475 pemilihan di Indonesia (dengan asumsi cukup satu kali putaran). Hal itu belum termasuk Pilkades yang melibatkan lebih 70 ribu desa.  Dengan frekuensi "event" pemilihan yang demikian tinggi, kenyatannya manajemen penyelenggaraannya menjadi tidak efisien dari sisi pembiayaan, baik berupa dana negara yang digunakan maupun dana para kontestan yang mengikuti Pemilu dan Pilkada. Selain itu, energi politik masyarakat banyak terkuras untuk kontestasi politik praktis. Jadi diperlukan adanya penyederhanaan sistem pemilihan dengan memasukkan Pilkada ke dalam rezim pemilu atau setidaknya penyelenggaranya adalah lembaga yang sama secara nasional.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau  disebut sistem distrik) dan  multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil atau dinamakan proportional representation atau sistem perwakilan berimbang)’’ (Rahman, 2007:151).
a.       Single-member constituency (Sistem Distrik)
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil  rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan oleh jumlah distrik.
b.      Multi-member constituency (Sistem Perwakilan Berimbang)
Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau sistem perwakilan berimbang. Sistem inni dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan (Rahman, 2007:152).
Jumlah total anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan atas dasar pertimbangan dimana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Indonesia merupakan salah satu Negara demokrasi dimana dengan adanya sistem pemilihan umum yang bebas untuk membentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang demokratis.
 Hal ini sesuai dengan  tujuan  Negara Republik Indonesia bagaimana tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu tahun 2014 dilakukan dua kali putaran dimana pemilu putaran pertama memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislative) kemudian pemilu putaran ke dua yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif). Dalam pemilu  legislatif rakyat dapat memilih secara langsung wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilihan umum anggota legislatif mengunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dimana dalam memilih, rakyat dapat mengetahui siapa saja calon wakil-wakilnya yang akan mewakili daerahnya. Selain dilaksanakan sistem proporsional juga adanya sistem distrik dalam pemilihan untuk anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan benar-benar mewakili aspirasi, keragaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya.

3. Partisipasi Politik Pemilih  
Partisipasi politik merupakan faktor terpenting dalam suatu pengambilan keputusan, karena tanpa partisipasi politik keputusan yang dibuat oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan baik. Sebelum menguraikan pengertian partisipasi politik, maka penulis menguraikan terlebih dahulu definisi partisipasi yakni :
Menurut Surbakti (1992) bahwa partisipasi merupakan salah salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi  yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang  apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi  kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta  menentukan isi keputusan politik” (Surbakti, 1992).
Bertolak dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa partisipasi itu sikap individu atau kelompok atau organisasi warga masyarakat yang terlibat atau ikut serta dalam pencapaian tujuan dan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pendapat Syafiie (2010) yang dikutip dari buku “Pengantar Ilmu Pemerintahan” (Syafiie, 2001) mengatakan bahwa : Partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama.
Berdasarkan definisi di atas, partisipasi merupakan keterlibatan individu dalam situasi dan kondisi organisasinya. Keterlibatan tersebut dapat mendorong individu untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasinya yaitu partai politik.
Selanjutnya, definisi partisipasi politik Menurut Sastroatmodjo (1959:67) bahwa : Partisipasi politik pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah (Sastroatmodjo, 1959:67).
Sejalan dengan pendapat Budiarjo (dalam Sasrtoatmodjo, 1995 : 68) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Sedangkan Menurut Hutington & Nelson dalam Budiarjo, 1998:3) bahwa : Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah.
Pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Dasar inilah yang digunakan warga masyarakat agar dapat ikut serta dalam menentukan isi politik. Prilaku-prilaku yang demikian dalam konteks politik mencakup semua kegiatan sukarela, dimana seorang ikut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan umum.
Menurut davis (dalam Sastroatmodjo, 1995:85)  mengatakan bahwa partisipasi politik adalah sebagai mental dan emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan atau cita-cita kelompok atau turut bertanggung jawab padanya).
Dalam negara demokratis yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaultan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakannya  melalui kegiatan bersama untuk  menentukan tujuan serta masa depan suatu negara itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang pemimpinan.
Dari pengertian mengenai  partisipasi politik di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pada dasarnya kesuksesan sebuah Pemilu ditentukan oleh beberapa hal yang diantaranya menyangkut pemilih/konstituen yang merupakan salah satu karakteristik pemerintah demokrasi yaitu pemerintahan didasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai sarana kedaulatan rakyat yang memilih dan menentukan pejabat politik ditingkat nasional hingga tingkat daerah lewat Pemilihan Umum. Beberapa bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut :
a.         Kegiatan pemilihan yaitu : mencakup  suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Ikut dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Walaupun demikian pemilihan adalah salah satu bagian dari bentuk partisipasi, jadi tidak bisa dikatakan bahwa jika partisipasi masyarakat dalam pemilihan atau pemungutan suara meningkat berarti bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya juga meningkat demikian juga sebaliknya.
b.         Lobbying, mencakup  upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan – keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. Contoh-contoh yang jelas adalah kegiatan yang ditujukan untuk menimbulkan dukungan bagi atau oposisi terhadap, suatu usul legislative atau keputusan administrasif tertentu.
c.         Kegiatan organisasi, tujuan  utama dan eksplisitnya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Organisasi ini dapat memusatkan usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang sangat khusus atau pada masalah umum yang beraneka ragam. Menjadi anggota organisasi sudah merupakan bentuk partisipasi politik tak peduli apakah orang yang bersangkutan ikut atau tidak dalam upaya organisasi untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Keanggotan yang tidak aktif dapat dianggap sebagai partisipasi melalui orang lain.
d.        Mencari koneksi ( contacting, merupakan  tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
e.         Tindak kekerasan (violence), Upaya  untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Pakar ilmu politik, Samuel P. Huntington mamandang partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, dengan maksud mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat indifidual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara  damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, dan efektif atau tidak efektif.  
Sedangkan menurut James Rosenaudan Nimo, partisipasi politik dilaksanakan oleh khalayak politik yang bukan politikus atau bukan pemimpin politik dan pengikutnya. Mereka itu disebut sebagai partisipan politik. Dengan kata lain, jika politikus sebagai komunikator politik, maka partisipan politik adalah khalayak politik. Jadi, dari mekanistis komunikasi politik, dapat dijelaskan bahwa dalam partisipasi politik terdapat komunikator politik yaitu politikus, dan terdapat pula khalayak politik yang disebut partisipan politik.
Partisipasi politik menurut rosenau, terdiri atas dua jenis yakni, Pertama, para pengamat yang memperhatikan politik tidak hanya selama pemilihan umum, melainkan diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum yang lain. Mereka pada umumnya khalayak media (pembaca surat kabar, pendengar radio, dan pemirsa televisi), serta aktif dalam diskusi, seminar dan memberikan komentar melalui media massa. Kedua, partisipan aktif adalah khalayak yang bukan saja mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi dengan para pemimpin politik atau politikus, baik di pemerintah maupun parlemen dan di luar parlemen. Biasanya partisipan politik ini dimobilisasi oleh komunikator politik, terutama oleh para politikus (Anwar Arifin, 2006 : 34-35).
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah partisipasi politik memang cukup rumit. Pada umumnya negara-negara ini sedang giat-giatnya melaksanakan usaha untuk kesejahteraan masyarakatnya dan sekaligus berusaha untuk mengejar ketertinggalan mereka dari bangsa-bangsa lain dalam hal pembangunan. Menurut Huntington dan Nelson (dalam Bambang Sunggono, 1992: 169), dapat disimpulkan bahwa Inonesia termasuk negara yang pembangunannya cenderung teknokratis. Model pembangunan teknokratis mencirikan di dalamnya adanya partisipasi politik yang rendah. Model ini mengasumsikan bahwa partisipasi politik perlu ditekan. Pada setiap masyarakat, bentuk-bentuk partisipasi politik jauh lebih banyak ditentukan oleh politik dari pada faktor lain. Menurut Huntington dan Nelson, dalam tulisannya tersebut, sikap elit-elit terhadap partisipasi politik di dalam setiap masyarakat mungkin merupakan satu-satunya faktor yang paling menentukan yang mempengaruhi sifat dari pada partisipasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Partisipasi yang dikerahan hanya terjadi bila elit-elit politik mengadakan usaha untuk melibatkan massa rakyat ke dalam kegiatan politik, sedangkan partisipasi otomatis dapat terjadi dengan pengorbanan yang tidak terlalu tinggi, jika hanya elit politik itu yang menganjurkannya.
Dengan demikian, partisipasi politik rakyat merupakan manifestasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang sah (legilitasi politik) dari rakyat. Dengan partisipasi politik rakyat misalnya melalui pemilihan umum, pada gilirannya akan mempengaruhi kebijaksanaan negara (Bambang Sunggono, 1992: 138). Dalam jangka  panjang, perubahan-perubahan dalam susunan sosial, ekonomi  dan demografi dari suatu masyarakat akan merubah sifat partisipasi dari masyarakat yang bersangkutan, namun perubahan yang terjadi seringkali melalui perubahan di dalam susunan atau tinjauan dari elit politik. Elit yang sedang memodernkan di muka umum hampir selalu menyatakan dukungan dan mencanangkan keinginan mereka terhadap partisipasi politik yang lebih meluas. Strategi yang demikian tampaknya merupakan upaya untuk mengubah perimbangan kekuasaan dalam pentas politik itu dengan cara mengembangkan bentuk-bentuk partisipasi baru, namun tingkatan pada sikap umum itu tercermin dalam tindakan dan kebijaksanaannya. Akan tetapi, mereka enggan menanggung resiko dari partisipasi itu yang berarti merupakan pembatasan ataupun perintang bagi kekuasaannya. Mereka juga memandang bahwa perubahan dalam setiap pola partisipasi sebagai suatu ancaman trhadap status quo politik yang lebih banyak menguntungkan puhak partisipan.
Oleh karena itu, bila elit politik berkeinginan untuk meluaskan partisipasi, hal itu sebenarnya lebih mencerminkan pandangan mereka bahwa partisipasi merupakan alat yang justru akan mengokohkan keberadaannnya (Bambang Sunggono, 1992: 170-171). Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan kebijakan (public policy). Setiap perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elit politik sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi jika partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi.
Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi. Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi unsur dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat.
Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabill karena hambatan partisipasi politik ketika stabilitas politik belum bisa diwujudkan, oleh sebab itu stabilitasi politik penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan kasempatan kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan cita-citanya. Partisipasi politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan. Secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang di nilai baik. Partispasi ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu.  Peningkatan partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam proses memilih anggota legislatif dan eksekutif. Karena bagaimanapun masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam proses pemilihan umum dimana masyarakat sebagai pemilih yang menentukan dalam pemenangan dalam proses pemilihan umum tersbut. Akan tetapi beberapa tahun terakhir partisipasi masyarakat akhir-akhir ini menurun karena disebabkan banyak faktor. Sudah menjadi tanggungjawab bersama bagaimana upaya untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemilu sebagai proses demokratisasi yang sudah berjalan di Indonesia Lembaga penyelenggara pemilu harus berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum agar masyarakat mau memberikan hak suaranya dalam proses pesta demokrasi tersebut.
Komisi pemilihan umum sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum  di Indonesia sudah banyak strategi yang dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum diantaranya memberikan pendidikan pemilih (vote education). Kegiatan ini tidak hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu, namun bisa juga dilaksanakan oleh semua elemen bangsa ini, karena pemilu itu yang menentukan nasib bangsa, dalam menentukan wakil rakyat diparlemen dan pemimpin bangsa baik ditingkat pusat maupun di daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat bagaimana tata cara dan peran masyarakat dalam pemilu dengan demikian masyarakat akan mengerti peran meraka dalam pesta demokrasi tersebut. Selain memberikan pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat, pendidikan pemilu juga bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai demokrasi dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mensukseskan terselenggaranya pemilu dan pemilukada. Selain itu kegiatan tersebut juga bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu yang berkualitas dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik.
Selain berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemilihan pemilu, komisi pemilihan umum juga berusaha menarik minat pemilih pemula untuk turut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Partisipasi pemilih pemula sangat penting sebagai pembelajaran untuk berpartisipasi dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Selain menarik minat, memberikan pemahaman dan pendidikan kepada pemilih pemula merupakan langkah yang sangat penting sehingga pemilih pemula tidak pragmatis dalam menentukan pilihannya. Agar supaya sistem demokrasi semakin baik, dibutuhkan partisipasi semua pemilih, khususnya partisipasi pemilih pemula, hingga level partisipan bahkan level subjek.  Pada kedua level ini, pemilih sudah sangat paham dan aktif terlibat pada semua tahapan pemilihan umum. Strategi yang dilakukan lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah dalam menggalang suara pemilih pemula yang notabene masih muda maka strategi yang digunakan oleh KPU melalui aktifitas positif anak muda. Misalnya lembaga pemilihan umum menyelenggarakan pertemuan pelajar dan mahasiswa dalam sebuah seminar terkait pendidikan pemilihan umum atau mengadakan pertemuan komunitas pemuda.


















E.        RUANG LINGKUP PENELITIAN

 1.Pelayanan Publik
       Adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok atau organisasi tertentu untuk membantu memfasilitasi kebutuhan masyarakat umum, dengan asas keadilan (hak dan kewajiban), fleksibel, transparansi, efisiensi dan kepastian (biaya dan hukum) sesuai peraturan yang berlaku.
            Prinsip-prinsip Pelayanan publik antara lain :
1.      Kesederhanaan
2.      Adanya Kejelasan
3.      Keterbukaan
4.      Efisiensi
5.      Ekonomis
6.      Keadilan
7.      Ketetapan waktu


    2. Profesionalisme Aparatur Pemerintah
a.       Profesionalisme  adalah  kemampuan , keahlian atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan dengan kreatif, inovatif dan responsif serta memiliki kualitas,mutu tinggi.
b.      Aparatur Pemerintah adalah Birokrat (pegawai pemerintah) seorang yang menjadi bagian birokrasi, mempunyai tanggungjawab menjalankan roda pemerintahan sesuai tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan perundangan. 
               Untuk menggambarkan  fokus penelitian dalam skripsi ini menjelaskan Profesionalisme Aparatur dalam Pelayanan Publik di Kantor KecamatanSentolo dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
a.    Kreatifitas
                             i.Kemampuanaparatur menghadapi hambatan dalam pelayanan publik
                           ii.Kemampuan aparatur membangun ide menciptakan  sebuah inovasi
2. Inovasi
a.    Hasrat aparatur untuk mencari dan menemukan caru baru dalam pelaksanaan tugas
b.    Tekad aparatur untuk menggunakan metode kerja barudalam pelaksanaan tugas
c.    Keinginan untuk berkembang dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan 
tugas

3. Responsifitas
a.    Kemampuan mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru
b.    Kemampuan mengenali kebutuhan masyarakat
c.    Kemampuan mengembangkan program pelayanan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.




F. METODE PENELITIAN
     1. Jenis Penelitian
      Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Menurut Moleong (2006:11) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan sosial yang timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menitikberatkan pada Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014.
b.   Unit Analisis
Untuk unit analisis  dalam  penelitian  ini adalah obyek dan sekaligus subyek penelitian  atau kesatuan unit yang akan diteliti. Obyek penelitian ini adalah Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Tahun 2014. Subyek penelitian  yaitu keseluruhan komponen  yang terdapat dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014, lokasi penelitian terdapat di KPU Kabupaten Sleman Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya untuk menentukan informan dipakai teknik purposive sampling, yaitu sampel dimana pengambilan elemen-elemen yang dimasukkan dalam sampel dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian.
Maka dalam penelitian ini jumlah informan  sebanyak
20orang, yang terdiri dari:
1.    Ketua KPU                                                  : 1
2.    Anggota KPU                                                               : 4
3.    Masyarakat                                                  : 5
                                                                                                +
                   Jumlah                                                      

c.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan yang relevan dan akurat. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, teknik yang dilakukan adalah:
a.    Observasi (pengamatan)
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek penelitian mengenai hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan masalah untuk mendapatkan data pelengkap (Kartono,1996:157).Observasi ini bisa dikatakan merupakan suatu cara pengumpulan data  dengan melihat atau meninjau lokasi penelitian untuk melihat secara langsung potensi-potensi yang ada tetapai belum dimanfaatkan, serta mencari permasalahan-permasalahan yang menjadi penghambat dari potensi-potensi terkait dengan pengelolaan.
b.    Interview (wawancara)
Interview adalah metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan, pelaksanaannya bisa dengan cara langsung bertatap mata maupun lewat media seperti telepon, yang bertujuan untuk mendapat gambaran nyata tentang pokok persoalan yang diteliti (Kartono, 1996:187). Wawancara merupakan  metode pengumpulan data dengan  cara menanyakan secara langsung. Bertanya yang dilakukan seorang peneliti kepada seorang  informan yang kompeten
c.    Dokumentasi
Dokumentasi adalah merupakan salah satu pola untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur baik berupa dokumentasi  kegiatan,  data, table, gambar,  serta sumber-sumber lain yang relevan dan terkait dengan permasalahan  dalam penelitian. Data tersebut meliputi semua data yang berkaitan dengan Strategi Komisi Pemilihan Umum untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu Tahun 2014 di KPU Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

d.   Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini di menggunakan teknik analisis data Model Miles dan Huberman. Data dikumpulkan dalam bentuk transkrip dari hasil rekaman dan catatan reflektif untuk memberikan gambaran suasana, sikap, dan emosi dari responden, kemudian dilakukan editing. Data dikelompokkan dalam unit-unit kecil dan merangkum kembali dalam kategori-kategori tertentu. Unit-unit tersebut berupa kata, kalimat atau paragraf atau bagian dari data yang mempunyai makna tersendiri.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami.
Langkah- langkah analisis data menurut Miles dan Huberman (2007:16)
a.       Data Reduction ( Reduksi Data )
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal- hal yang pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari yang diperlukan.
b.      Data Display ( Penyajian Data )
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.
c.       Conclusion Drawing ( Verifikasi ) 
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti- bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan yang kredibel.
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan langkah-langkah analisis data diantaranya reduksi data, penyajian data dan verifikasi data.
























DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Anwar Arifin. (2006). Pencitraan dalam Politik: Strategi Pemenangan Pemilu       dalam Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia
Bambang Sunggono. (1992). Partai Politik dalam Kerangka Pembangunan            Politik di Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu
Burhan Bungin. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. 2 Aktualisasi Metodelogis         Kearah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada
Hetifa Sj. Sumarto. (2004). Inovasi, Partisipasi dan Good Goverment: 20   Prakarsa Inovatif dan Partisipasif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor           Indonesia
Joko J.Prihatmoko. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung : Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia,   Jakarta: Intergrafika
Lexy J. Moleong. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda    Karya
Lexy J. Moleong. (2002). Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:        Remaja Rosda Karya
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:      ANDI
Martin Jimung. (2005). Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif   Otonomi Daerah. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Robert Dahl. (1985). Analisa Politik Modern. Jakarta: Bumi Aksara
Revrisond Baswir, dkk, (2009). Kepemimpinan Nasional: Demokratisasi dan         Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik.            Jakarta: Rineka Cipta
Syamsul Hadi Turbani. (2005). Pilkada Bima 2005: Era Baru Demokratisasi          Lokal di Indonesia. Tuban: Bima Swagiri-FITRA
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD, DPRD      tahun 2014
Peraturan KPU No.21 tahun 2013 tentang Program dan jadwal penyelenggaraan    pemilu anggota DPR, DPD, DPRD tahun 2014.
Peraturan KPU No.23 tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat dalam     Penyelenggaraan Pemilu