MATERI FASILITASI


I.   PENGERTIAN DASAR

          Istilah fasilitasi dan fasilitator tidak muncul begitu saja. Fasilitasi menjadi  bagian penting dalam proses pembelajaran sosial dalam arena pemberdayaan masyarakat secara luas. Kedua istilah itu mungkin baru populer selama satu dekade terakhir, yang terkait dengan tiga isu besar.
Pertama, berkembangnya paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) atau yang lebih populer sekarang adalah pemberdayaan masyarakat. Dahulu dimasa Orde Pembangunanisme kerja-kerja pembangunan biasanya membutuhkan pembinaan dan para aktor yang disebut pembina, penyuluh atau juru penerang untuk melakukan transfer pengetahuan kepada masyarakat. Istilah aktor-aktor ini sangat populer bagi masyarakat, apalagi bagi warga STPMD "APMD" yang terbiasa melakukan kegiatan penyuluhan ketika mengemban darma pengabdian kepada masyarakat. Sejak awal “kampus pembangunan” ini bercita-cita mencetak “kader-kader pembangunan” yang kelak bertugas sebagai tenaga penyuluh atau juru penerang bagi masyarakat. Karena itu mahasiswa perlu dibekali pengetahuan yang terkait dengan penerangan atau penyuluhan. 
Dahulu, dalam kehidupan sehari-sehari, orang bisa melihat para penyuluh berseragam yang dimobilisir oleh sejumlah instansi pemerintah: Departemen Penerangan punya juru penerang, kecamatan juga punya juru penerang, BKKBN punya PLKB, Departemen Pertanian punya PPL, dan lain-lain. Mereka melakukan penerangan/penyuluhan ke seluruh penjuru tanah air untuk memberi ceramah pada masyarakat, agar warga tahu, sadar dan tunduk. Konon ada asumsi bahwa masyarakat itu bodoh dan kurang sadar, sehingga perlu “dibina” atau “disuluh” oleh para orang-orang hebat yang dibayar oleh pemerintah.
Sekarang paradigma itu berbalik. Kini muncul ortodoksi baru bahwa masyarakat itu tidak bodoh sehingga tidak perlu digurui, masyarakat itu punya kearifan lokal yang perlu dikembangkan; masyarakat itu punya potensi dan kreativitas yang perlu dibangkitkan. Karena itu yang dibutuhkan bukan para penyuluh atau pembina, tetapi para fasilitator atau katalisator, pembelajar atau komunikator katalis. Oleh karena itu, sekarang banyak program pembangunan yang digalakkan pemerintah telah mengintrosudir fasilitator. Misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang difasilitasi oleh Fasilitator Kecamatan dan Fasilitator Desa.

Tentang Penyuluhan


·          Para penyuluh menganggap bahwa warga masih bodoh atau belum sadar.
·          Para penyuluh memberi tahu dan “menyadarkan”  masyarakat, ketimbang membantu masyarakat menyelesaikan masalahnya.
·          Para penyuluh melakukan indoktrinasi ketimbang belajar bersama dengan warga masyarakat.
·          Para penyuluh mencekoki pengetahuan ketimbang membangkitkan pengetahuan warga.
·          Penyuluhan berlangsung dalam kondisi yang timpang antara yang menyuluh dengan yang disuluh.
·          Penyuluhan menggunakan metode ceramah yang monologis ketimbang diskusi yang dialogis.
·          Penyuluhan lebih mengarah pada mobilisasi ketimbang partisipasi.
·          Penyuluh mengabdi pada negara, bukan pada kepentingan masyarakat.
·          Penyuluhan tidak peka terhadap masalah pokok yang dihadapi masyarakat.
·          Penyuluhan melakukan pembodohan ketimbang pembelajaran dan pemberdayaan.


Tentang Khotbah


Khotbah di Masjid atau di arena pengajian juga identik dengan penyuluhan. Ia adalah sebuah metode dakwah untuk mengajarkan syariat Islam kepada pemeluknya. Khotbah umumnya indoktrinasi. Sejak dulu substansi dan metode dakwah lewat khotbah tidak pernah berubah. Metode itu telah berhasil membuahkan kepatuhan ideologis, menjadikan pemeluk Islam formalis (skripturalis) ketimbang Islam substantif, dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang religius. Tetapi dibalik itu semua, tidak diikuti pemberdayaan umat Islam secara signifikan dan juga tidak diikuti oleh menurunnya korupsi meski bangsa ini sangat religius. “Indonesia adalah bangsa yang mayoritas Islam dan sangat religius, tetapi mengapa korupsinya sangat parah”, demikian tutur Rektor IAIN Sunan Kalijaga dalam sebuah kesempatan. Selain korupsi juga terjadi praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial yang membawa panji Islam. Ngeri! Lantas Nurcholish Madjid menjawabnya secara enteng, “Korupsi itu terjadi karena Islam-nya tidak substantif”. Oleh karena itu, ada tantangan besar yang dihadapi Islam, yaitu mentransformasikan dari Islam formalis ke Islam substantif. Sudah seharusnya dakwah mengembangkan metode-metode diskusi yang dialogis dan terbuka untuk mengkaji dan menagangani masalah ketidakberdayaan umat, serta menjadikan Islam bukan terbatas pada kegiatan ritual tetapi sebagai kekuatan gerakan sosial untuk pemberdayaan umat dan transformasi sosial di Indonesia.

Kedua, istilah fasilitasi dan fasilitator tidak lepas dari berkembangnya semangat pendidikan orang dewasa (andragogi) untuk mengimbangi (jika bukan untuk menggeser) semangat pendidikan konvensional (pedagogi). Sekarang terus berkembang semangat “pembelajaran” untuk menggeser semangat “pengajaran”. Sebenarnya ide ini sudah lama muncul mengikuti para penganjur semangat “pendidikan pembebasan” seperti Paulo Freire dan Ivan Illich. Andrias Harefa (2000), misalnya, termasuk “pembelajar” yang menekankan arti pembelajaran (bukan pengajaran) sebagai proses untuk membentuk karakter/watak, mendewasakan, memandirikan, memberdayakan dan memerdekakan. Yang lebih dibutuhkan di sini bukanlah para pengajar, tetapi para guru-fasilitator yang mendampingi orang-orang yang tengah belajar.

…pendidikan adalah proses pembelajaran. Pembelajaran bertanggungjawab untuk belajar menjadi (learning to be). Dengan demikian, pembelajaran bertanggungjawab untuk “melahirkan” pemimpin sejati, manusia-manusia yang siap menjadi dirinya sendiri, juga siap belajar karena telah melewati proses belajar bagaimana belajar, juga sudah belajar bagaimana berurusan dengan orang-orang, menjalin hubungan antar subyek (Andrias Harefa, 2000).

            Ketiga, berkembangnya konsep fasilitasi dan fasilitator juga berbarengan dengan pergeseran dari kepemimpinan konvensional atau kepemimpinan tradisional menuju kepemimpinan fasilitatif (Roger M. Schwarz, 1994) atau kepemimpinan transaksional-transformasional-visioner (Andrias Harefa, 2000). Paradigma kepemimpinan tradisional-konvensional lekat dengan kekuasaan, jabatan formal, kewenangan, hirarkhis, sentralisasi dan lain-lain. Tugas pemimpin adalah memerintah, mengambil kebijakan dan memobilisasi para pengikutnya. Paradigma kepemimpinan baru didasarkan pada keyakinan bahwa kepemimpinan lebih bernuansa kultural (ketimbang birokratis), ahirarkhis, dan otoritas yang bersifat relatif dan kontraktual, sehingga bisa diperdebatkan dan digugat. Nuansa informal jauh lebih kental, dan kepemimpinan telah menjadi sesuatu yang lebih inklusif. Kalau pemimpin kolot menjalankan fungsi memerintah dan mobilisasi, maka pemimpin baru memainkan peran sebagai fasilitator atau katalisator, yang menjadi jembatan interaksi antarorang, membangkitkan semangat dan kreativitas orang.
 
Para pemimpin terpisahkan dari otoritas formal sebab organisasi menjadi lebih seperti jaringan yang  terdesentralisasi dan tak lagi bersifat hirarkhis, dan mereka juga terpisahkan dari kekuasaan sebab tidak banyak orang yang dapat mengontrol dan mengawasi segala hal seperti sebelumnya (Robert Reich).




 
 



Pengertian

            Pengertian fasilitasi dan fasilitator punya dimensi luas sekali, seperti halnya tiga konteks di atas yang mendorong perkembangan kedua konsep itu. Fasilitasi berasal dari kata facilis (Perancis), yang berarti “memudahkan”, sehingga fasilitator adalah aktor yang punya peran memudahkan (Rizal Panggabean, 1999). Tetapi fasilitasi jangan dimaknai secara sempit, yaitu memberikan fasilitas-fasilitas material atau fisik pada orang lain.
Fisilitasi akan (selalu) berkenaan dengan kelompok. Fasilitasi adalah sebuah proses dimana seseorang yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara substantif berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu (Roger M. Schwarz, 1994: 4). “Intervensi” berarti masuk ke wilayah sistem yang sudah berjalan untuk sebuah upaya membantu mereka yang berada dalam sistem.
Menurut Tim Kennedy (1992), fasilitasi adalah sebuah proses perubahan yang berlangsung bersamaan dengan pengorganisasian dan mobilisasi kompetensi anggota komunitas. Bagi Kennedy, fasilitasi bisa menjamin akuntabilitas, mendorong solusi pembangunan berbasis komunitas, dan bisa mendorong keberlanjutan program karena warga masyarakat terlibat dalam setiap prosesnya.

Tafsir tentang Fasilitasi


·          Fasilitasi adalah kegiatan memudahkan pembelajaran.
·          Fasilitasi dalah intervensi untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu
·          Fasilitasi adalah kegiatan menengahi (mediasi) di antara kelompok yang saling bertikai.
·          Fasilitasi adalah kegiatan membangkitkan pengetahuan, ide dan kreativitas orang lain.

Fasilitasi dan mediasi sering dipertukarkan, tetapi keduanya berbeda. Mediasi sebenarnya merupakan sebuah intervensi ke dalam pertikaian atau negosiasi oleh pihak ketiga yang diterima dan  netral, yang tidak mempunyai kewenangan mengambil keputusan. Fasilitasi dan mediasi memiliki kesamaan bahwa keduanya memasukkan intervensi oleh pihak ketiga yang diterima dan netral. Tetapi keduanya punya perbedaan pada tiga sisi.
Pertama, dari sisi tujuan. Tujuan mediasi adalah membantu pihak-pihak yang bernegosiasi untuk mencari penyelesaian konflik. Fasilitasi bertujuan membantu kelompok membicarakan dan menyelesaikan masalah dan pembuatan keputusan. Kedua, dari sisi masuknya ke dalam proses. Mediator masuk atau diundang oleh pihak-pihak yang bertikai ketika mereka mengalami kemandegan dalam bernegosiasi. Fasilitator bisa masuk kapan saja.
Ketiga, dari sisi kontrol terhadap proses. Mediator melakukan kontrol terhadap proses lebih besar ketimbang fasilitator. Mediator harus lebih ketat dalam memainkan peran memediasi pihak-pihak yang bertikai, misalnya mengatur betul siapa yang berbicara dalam forum. Sementara fasilitator dan peserta forum bersama-sama mengontrol kegiatan fasilitasi.
Fasilitasi berkenaan dengan tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh fasilitator:

1.      Substansi: berkenaan dengan “apa yang dibicarakan” dalam kelompok atau forum, seperti konsep, pengalaman, pandangan dll.
2.      PROSES: berkenaan dengan “bagaimana melakukan atau membicarakan”, yaitu bagaimana metode yang diterapkan oleh fasilitator, bagaimana partisipasi peserta dalam kelompok, bagaimana mereka mengungkapnya gagasannya, bagaimana mereka membuat kesepakatan dan lain-lain. Proses tidak kalah pentingnya dibanding substansi. Jika prosesnya jelek, maka tujuan fasilitasi kelompok (forum) akan gagal juga. Proses fasilitasi yang baik akan kita bahas dalam konteks metode diskusi dan petunjuk untuk fasilitator.
3.      HUBUNGAN: berkenaan dengan hubungan antarpeserta, antara peserta dengan fasilitator, antara peserta dengan panitia dan lain-lain.  Fasilitasi yang baik membutuhkan kedekatan hubungan antarapeserta dan antara peserta dengan fasilitator, hubungan yang setara (tidak dominatif), terbuka, akrab, informal, saling menghormati, dll.

 Ilustrasi 1:

Memfasilitasi Forum Penanganan Sampah

Bagaimana substansi, proses dan hubungan dimasukkan dalam kerangka forum penanganan sampah di tingkat komunitas? Bagaimana kalau hal itu dimainkan oleh para penyuluh, dan sebaliknya oleh fasilitator? Kalau menggunakan metode penyuluhan, maka penyuluh akan melakukan ceramah pada warga masyarakat agar sadar dan mengelola sampah dengan baik. Sang penyuluh misalnya menunjukkan betapa bahayanya bila sampah tidak dikelola dengan baik, sampai cara-cara praktis mengelola sampah. Dalam forum memang ada beberapa tanya-jawab. Tetapi selesai ceramah tidak membuahkan “kontrak sosial” warga untuk menangani masalah sampah.
Dari segi substansi kegiatan penyuluhan itu sudah jelas. Tetapi dari sisi proses dan hubungan, penyuluhan tersebut miskin.
Lain lagi dengan kegiatan fasilitasi yang partisipatif. Fasilitator datang ke dalam forum dengan membawa misi: membantu warga berdiskusi untuk membangun kesepakatan penanganan sampah. Sang fasilitator sejak awal sudah mendisain tempat duduk yang memungkinkan setiap orang bisa saling melihat dan memperhatikan. Dia tidak membuka forum dengan ceramah, melainkan bertanya tentang apa sasaran pertemuan itu, dan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang masalah sampah yang dihadapi oleh warga masyarakat. Hampir semua hadirin menyatakan pendapatnya. Fasilitator kemudian mengarahkan supaya para peserta membangun kesepakatan yang baik untuk menangani sampah secara partisipatif dan bersama-sama.
Substansinya sama: menangani sampah. Tetapi fasilitasi sangat memperhatikan proses dan hubungan. Fasilitator sejak awal mendesain supaya hubungan antar seluruh peserta bersifat setara dan terbuka. Prosesnya pun terbuka, dialogis dan partisipatif. Para peserta bisa menyampaikan aspirasinya secara terbuka, semuanya jadi plong, dan mau memgambil kesepakatan bersama untuk menangani sampah.
Dengan demikian, fasilitasi lebih efektif dan berhasil ketimbang penyuluhan dalam menangani masalah sampah.
Selain itu, dalam proses fasilitasi juga harus memperhatikan tiga nilai inti (core value), seperti tertuang dalam tabel 1.

Tabel 1
Nilai Inti Fasilitasi

Nilai Inti
Deskripsi
Informasi yang valid
¨      Orang memberi informasi yang relevan.
¨      Orang memberi informasi dengan cara yang dapat dipahami orang lain.
¨      Orang memberi informasi dengan cara yang memungkinkan orang lain bisa menilai secara independen dan terbuka terhadap informasi itu.
¨      Orang terus mencari informasi baru untuk menilai apakah keputusan sebelumnya harus dirubah atau tetap dipertahankan.
Pilihan yang bebas
¨      Orang merumuskan sendiri sasaran dan metode pencapaian
¨      Orang tidak dipaksa, diancam, direkayasa, atau dimanipulasi.
¨      Orang menentukan pilihan berdasar pada informasi yang valid.
Komitmen internal pada pilihan
¨      Orang merasa handarbeni dan bertanggungjawab atas pilihan, keputusan dan kesepakatan.
¨      Orang memutuskan pilihan secara sadar dan menyenangkan, bukan terpaksa.
Sumber: Roger M. Schwarz, The Skilled Facilitator, 1994: 9.

Fasilitasi Kelompok

            Fasilitasi sering berbeda-beda tergantung pada karakteristik kelompok. Paling tidak ada empat karakteristik kelompok yang harus dicermati.
1.      Kelompok permanen yang dibangun oleh ikatan kolektif dalam sebuah komunitas. Para anggota kelompok ini saling hidup berdampingan setiap hari, yang saling berinteraksi, saling membantu, dan lain-lain. Contoh komunitas RT, masyarakat adat, dll.
2.      Kelompok-kelompok  asosiasional yang melintasi batasan-batasan etnis, genealogis, agama, dll. Keanggotaan dalam kelompok ini bersifat sukarela dan terbuka, yang diikat berdasarkan profesi yang sama. Contohnya asosiasi pedagang kaki lima, asosiasi perangkat desa, asosiasi pengusaha, dll.
3.      Kelompok yang beroperasi dalam konteks organisasi tertentu, yang membutuhkan pengelolaan transaksi antarindividu dan antarkelompok dalam organisasi. Misalnya kelompok UKM, Majelis Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, Jurusan, BPH, Pengurus Yayasan, dan lain-lain.
4.      Kelompok ah hoc atau sementara yang disiapkan oleh orang atau institusi tertentu. Orang-orang yang bergabung dalam kelompok ini bersifat majemuk, pola hubungannya bersifat longgar, tidak mengikat, dan mereka hanya menjadi sebuah kelompok belajar sementara yang tidak terwadahi dalam kelompok yang teroganisir. Contoh yang paling nyata adalah forum diskusi yang mewadahi orang-orang dari berbagai lembaga. Lain lagi persoalannya jika forum diskusi itu berasal dari sebuah lembaga yang sama.
Perbedaan kelompok itu membawa konsekuensi perbedaan fasilitasi atau intervensi yang dilakukan oleh fasilitator. Secara metodologis, misalnya, kelompok satu sampai tiga membutuhkan keterlibatan (involvement) dan empati secara intensif dari fasilitator. Kelompok-kelompok itu adalah konstituen tetap fasilitator yang harus dijaga dan didampingi terus-menerus. Tugas fasilitator tidak hanya datang sekali atau dua kali, tetapi hadir secara intens memfasilitasi diskusi awal, sampai action plan, pelaksanaan, monitoring, dan seterusnya. Sedangkan kelompok empat (ad hoc) tidak terlalu butuh empati dan involvement fasilitator yang terlalu dalam. Tugas utama fasilitator adalah memandu jalannya diskusi, mengarahkan alur diskusi sesuai dengan kerangka awal, membangkitkan pengetahuan dan wawasan peserta forum, dan membingkai kembali berbagai pendapat forum. Jika pendekatan fasilitator terhadap keloompok satu sampai tiga butuh involvement secara intens, maka forum diskusi membutuhkan kelihaian berkomunikasi, kepekaan terhadap isu yang dibicarakan dan keterampilan mengelola forum.

Seluk-Beluk Fasilitasi

            Sebagai bagian dari komunikasi partisipatoris, fasilitasi merupakan sebuah proses metodologis yang melibatkan orang dalam sebuah cara interaktif, membuat sumberdaya komunikasi dapat dijangkau mereka secara langsung. Komunikasi komunitas yang partisipatoris bertujuan untuk membuka kesempatan dialog dalam konteks komitmen dan perhatian terhadap pembangunan, yang secara potensial bisa membangkitkan rasa percaya diri, rasa memiliki, harga diri, identitas, dan  lain-lain. Dalam konteks skenario itu, fasilitator memainkan peran penting untuk transformasi dan pemberdayaan masyarakat. 

Hasil utama fasilitasi partisipatif bagi masyarakat adalah membangun kesadaran melalui refleksi kritis tentang kondisi mereka sendiri, yang bakal mengarah pada suara yang bermakna bagi tindakan sosial.

Fasilitasi juga berkenaan dengan proses memudahkan atau memperlancar kelompok atau forum bisa belajar bersama untuk:
¨     Diagnosis fakta dan pengalaman.
¨     Identifikasi masalah.
¨     Tukar gagasan dan pandangan tentang isu atau masalah tertentu.
¨     Mencari solusi alternatif untuk pemecahan masalah.
¨     Pengambilan kesepakatan atau keputusan bersama.
¨     Pengaktifan peran kelompok dan anggotanya untuk bertindak.
¨     Pengelolaan konflik.

Menurut Roger M. Schwarz, fasilitasi dibagi menjadi dua: fasilitasi dasar dan fasilitasi lanjutan.

Tabel 2
Fasilitasi dasar dan lanjutan

Karakteristik
Fasilitasi Dasar
Fasilitasi Lanjutan
Tujuan kelompok
Menyelesaikan masalah utama
Menyelesasikan masalah dan sekaligus belajar memperbaiki “proses” (pendekatan, metode) penyelesaian masalah itu.
Peran fasilitator
·          Membantu kelompok memperbaiki proses secara temporer.
·          Mengambil peran sebagai penanggungjawab utama mengelola proses kelompok.
·          Membantu perbaikan proses penyelesaian masalah secara permanen.
·          Membagi tanggung jawab untuk mengelola proses kelompok.
Hasil kelompok
Tergantung pada fasilitator untuk penyelesaian problem masa depan.
Mengurangi ketergantungan pada fasilitator untuk penyelesaian problem masa depan.
Catatan:
Banyak forum yang dimaksudkan untuk menangani masalah tetapi selalu gagal. Penyebab kegagalan ini antara lain karena proses (pendekatan dan metode) yang keliru. Orang-orang yang punya kewenangan biasanya menyelesaikan masalah dengan memberi “penyuluhan” yang menghimbau atau mengingatkan pihak-pihak yang bermasalah. Pendekatan ini tidak memanusiakan manusia. Pendekatannya harus dirubah menjadi partisipatif. Biarkan pihak-pihak yang bermasalah bicara sendiri, dan pemimpin menjadi fasilitator saja.
 




Tugas dan Peran Fasilitator

Tugas fasilitator adalah membantu kelompok memperbaiki proses alur komunikasi yang valid, menentukan pilihan yang bebas, dan komitmen internal terhadap pilihan itu. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
·          Fasilitator bukan anggota kelompok.
·          Fasilitator tidak punya peran dalam konten pengambilan keputusan.
·          Fasilitator bukan sekadar tenaga pencatat bagi kerja kelompok.
·          Fasilitator bukan seorang perantara antara kelompok dengan organisasi yang lebih besar.
·          Fasilitator bukanlah seorang jaksa.
·          Fasilitator tidak mengambil alih peran atau tanggungjawab kelompok yang difasilitasi.

Fasilitator sangat berbeda dengan advokat. Tabel 3 menggambarkan perbedaan antara fasilitator dengan advokat.

Tabel 3
Perbedaan Fasilitator dan Advokat

Kriteria
Fasilitator
Advokat
Konteks
·         Terkait dengan organisasi, kelompok atau institusi yang secara fundamental komit terhadap pembangunan yang berpusat pada manusia.
·         Fokus mencakup pengembangan kapasitas, pemberdayaan, pelatihan dan fasilitasi, pengembangan hubungan kolaboratif, dan proses pembelajaran
·         Proses pembelajaran bersama menjadi aspek sangat penting.
·         Agenda dirumuskan dalam proses belajar bersama.
·         Secara umum terkait dengan organisasi, kelompok atau institusi yang sudah mempunyai rumusan tujuan, sasaran dan agenda sendiri.
·         Fokus wilayah dan spesialisasi mencakup riset, dokumentasi, training, aktivitas media, adopsi pemikiran dan praktik.
·         Produk atau hasil merupakan aspek yang sangat penting, yang biasanya sudah ditentukan sebelumnya.
·         Agenda didefinisikan oleh hasil produk.
Masalah
·         Masalah dirumuskan oleh komunitas
·         Fasilitator melakukan eksplorasi, pemahaman, dan mendefinisikan masalah.
·         Mendorong komunitas mencari informasi yang dimiliki dengan rangsangan refleksi dan diskusi kritis.
·         Masalah dirumuskan oleh advokator atau orang luar.
·         Advokator sering memberi informasi pada anggota komunitas tentang masalah yang bisa dirumuskan.
·         Promosi penyebaran dan transfer pengetahuan dari ahli atau kekuatan luar.

Pendekatan
·         Proses dimulai dari komunitas.
·         Keyakinan dasarnya adalah bahwa komunitas punya kemampuan bekerjasama dan menyelesaikan masalah sendiri.
·         Solusi atas masalah muncul dari konteks lokal.
·         Proses dimulai dari organisasi atau institusi luar.
·         Keyakinan dasarnya adalah bahwa solusi pemecahan masalah lebih baik dari luar.
·         Solusi tidak dibangun dari konteks lokal.
Strategi
·         Fasilitator merangsang refleksi dan dialog kritis untuk pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
·         Mendorong rakyat menemukan dan memakai suara mereka sendiri untuk menilai informasi atau kebijakan.
·         Transfer dan mengkomunikasikan informasi dari advokator ke komunitas.
·         Menyaring dan mengontrol informasi yang disebarkan ke masyarakat.
Hasil yang diharapkan
·         Mendorong tindakan lokal yang tepat untuk meningkatkan kapasitas komunitas lokal.
·         Memperbaiki kemampuan pembuatan keputusan lokal.
·         Memperkuat komitmen dan kesadaran komunitas lokal.
·         Menjaga kesinambungan kegiatan yang dikelola dan diarahkan secara mandiri oleh komunitas lokal.
·         Hasil cenderung tidak tepat karena dibangun atas dasar agenda yang sudah ditentukan sebelumnya.
·         Cenderung memperlemah kapasitas pembuatan keputusan komunitas lokal.
·         Cenderung menghasilkan sikap saling melepaskan dan ego yang tinggi antarindividu.
·         Tidak berkelanjutan karena ada ketergantungan.
Sikap dan Nilai
·         Menghormati pemikiran dan pengetahuan orang yang tengah berlajar.
·         Melihat dirinya sendiri sebagai orang yang tengah belajar.
·         Menghargai partisipasi orang yang belajar.
·         Tidak mengklaim lebih hebat dan mempunyai jawaban atas masalah atau kebutuhan komunitas lokal.
·         Menonjolkan pemikiran personal atau lembaga yang sering berlindung atau mengatasnamakan rakyat.
·         Tidak melihat kebutuhan untuk bekerjasama karena peran mereka adalah penyebaran pengetahuan dan informasi.
·         Tidak membutuhkan partisipasi orang yang tengah belajar.
·         Mengklaim punya pengatahuan banyak yang perlu ditransfer ke masyarakat.
Sumber: Shirley A. White, (ed.), The Art of Facilitating Participation (London, New Delhi: Sage Publications, 1999), hal. 62-63.




Tabel 4
Aktivitas dan karakteristik fasilitator yang baik

Aktivitas
Karakteristik
·          Memahami realitas kehidupan masya-rakat akar rumput
·          Membantu warga masyarakat mem-bentuk kelompok.
·          Meletakkan organisasi yang demo-kratis secara bersama-sama.
·          Menciptakan sebuah konteks bagi penilaian dan refleksi secara kritis
·          Memberikan bantuan teknis ketika dibutuhkan oleh warga.
·          Mendorong tindakan kelompok untuk penyelesaian masalah.
·          Membangun kepercayaan diri dan kemandirian.
·          Menciptakan sebuah lingkungan yang mendorong munculnya katalis dalam komunitas
·          Punya komitmen sosial
·          Sensitif secara kultural
·          Punya sense of locality
·          Empati dalam interaksi interpersonal.
·          Bersikap demokratis dalam berko-munikasi
·          Didorong oleh harapan untuk me-nyumbangkan pada pembangunan berkelanjutan
·          Secara psikologis mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan sosial.
·          Terlatih dalam perencanaan parti-sipatoris dan metodologi evaluasi.
·          Mempunyai pengetahuan tentang pro-ses partisipatoris.



II. Metode Fasilitasi Forum

            Bentuk forum sangat beragam, ada seminar, simposium, konferensi, konggres, musyawarah, lokakarya, pelatihan,  perencanaan strategis, dll. Berikut
 akan digambarkan tiga bentuk fasilitasi forum: diskusi, lokakarya dan action plan.


 


















FORUM DISKUSI

Diskusi adalah sebuah metode fasilitasi forum dialog untuk memperdalam wawasan dan kreativitas peserta forum tentang topik tertentu atau pengalaman bersama. Diskusi mewadahi para peserta forum saling menyumbangkan banyak pandangan yang beragam.
Diskusi memberikan/melakukan sebuah struktur komunikasi efektif dalam sebuah forum, yang:
·       Mewadahi semua peserta forum memberikan kontribusi dan partisipasi.
·       Menyelenggarakan berlangsungnya dialog yang terfoikus dan bermakna.
·       Mengundang berbagai pendapat beragam pada topik khusus.
·       Memperdalam wawasan kolektif peserta forum.
·       Menghasilkan gagasan yang jernih dan kesimpulan bersama.
·       Merumuskan secara jernih dan tegas tentang keputusan dan tindakan.

Diskusi menjadi basis:
·          Pengumpulan data atau fakta yang terkait dengan tema diskusi.
·          Memperluas jangkauan pandangan dan gagasan.
·          Pembicaraan secara serius tentang isu-isu yang sulit dan rumit.
·          Refleksi atas peristiwa dan pengalaman penting.
·          Pencapaian pengetahuan tentang isu-isu dan problem besar.
·          Pengambilan keputusan untuk bertindak.


Bagaimana Diskusi Bekerja?




Rangkaian Pertanyaan:
·          Arahkan pemikiran peserta forum terlibat aktif menuju pembuatan sebuah keputusan.
·          Gunakan secara spesifik sekuen-sekuen pertanyaan setiap saat.
·          Beradaptasilah dengan banyak situasi forum dan peserta.
·          Arahkan peserta forum ke dalam 4 level perjalanan diskusi:
*          Objective (Sasaran)
*          Reflective (Refleksi)
*          Interpretative (Penafsiran)
*          Decisional (Pengambilan Keputusan/Kesepakatan)
·         Kelolalah forum secara hati-hati sehingga diskusi terus berlangsung dan memperoleh kemajuan dari eksplorasi ide sampai pengambilan keputusan.

Proses Berpikir Logis

·         Arahkan pemikiran terus mengalir bergerak dari stimuli sampai tindakan.
·         Pastikan peserta forum menjadi sadar pada bagaimana pemikiran mereka menjadi tindakan.
·         Hasilkan refleksi dan keputusan peserta forum berbasis pada informasi valid yang tersedia.
·         Sesuaikan diri secara peka dan cepat.

 
 

























ALUR DAN PROSES DISKUSI


1.  Mendefinisikan Sasaran (Objective)



Sasaran Rasional (Rational Objective)
·         Apa yang akan diketahui, dipahami dan diputuskan oleh peserta.
·         Pengalaman atau isu apa saja yang akan diperdalam oleh forum.
Sasaran Pengalaman (Expirential Objective)
·         Apa yang dibutuhkan forum untuk berbagai pengalaman satu sama lain.
·         Apresiasi terhadap perspektif yang berbeda, perbedaan pendapat dan tindakan bersama.
 
 






2.  Konteks (Pembukaan)
·         Pastikan sebuah iklim pembukaan dalam forum, dimana semua peserta bisa saling melihat satu sama lain.
·         Pastikan bahwa tidak ada interupsi sebelum sessi dimulai.
·         Berikan ucapan selamat datang dan terima kasih kepada peserta forum.

3.  Level Sasaran (Objective)                        Mencari Fakta/Data
·         Sampaikan kepada peserta tentang tema dan arah diskusi.
·          Sampaikan kepada peserta forum bahwa metode diskusi bersifat partisipatif, semua peserta adalah narasumber yang bisa   saling bertukar pikiran.
·         Kalau ada narasumber, perkenalkan dia pada peserta.
·         Sampaikan kepada forum bahwa narasumber bukan fokus diskusi.
·         Sampaikan kepada forum bahwa tugas-tugas utama narasumber adalah: memancing pembicaraan dengan konsep dan isu yang bisa diperdalam forum; sebagai “kamus berjalan”.
·         Sampaikan secara taktis dan singkat beberapa pertanyaan kunci yang nanti dijawab oleh narasumber dan peserta.
·         Jika tidak ada narasumber, langsung saja sampaikan beberapa pertanyaan kunci kepada peserta.
·         Sampaikan pertanyaan kepada peserta apa yang mereka ketahui, apa yang mereka lihat, dengar dan alami, respon terhadap peristiwa.

Tips untuk pertanyaan:
·         Pertanyaan yang spesifik dan jelas selalu menghasilkan jawaban yang lebih baik.
·         Sampaikan pertanyaan terbuka sehingga peserta tidak hanya memberikan jawaban antara “ya” dan “tidak”.
·         Sampaikan pertanyaan yang mudah pada tahap awal.
·         Sampaikan pertanyaan yang Anda sendiri bisa menjawabnya.
·         Berhati-hatilah menyampaikan pertanyaan kunci, jangan sampai memancing emosi yang meledak dari peserta.
 
 













4.  Level Reflektif

Level ini berkaitan dengan emosi dan sikap kelompok terhadap isu,  masalah atau data yang sudah dibicarakan dalam level sasaran. Tetapi terkadang level ini sering dilewati dalam alur diskusi. Biasanya fasilitasi masuk ke persoalan pengalaman peserta dalam memecahkan masalah yang dialami. Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi atas solusi pemecahan masalah yang sudah dialami. Dengan kata lain, level ini berbicara tentang refleksi atas pengalaman sebelumnya, untuk melangkah terhadap pembicaraan solusi berikutnya yang lebih baik.



5.   Level Interpretatif
Setelah peserta dibawa dalam proses refeleksi atas pengalaman dan masalah, yang umumnya diajak untuk pertanyaan sederhana, kemudian dilanjutkan pada level interpretatif. Level ini akan menyampaikan pertanyaan lanjutan yang lebih berat ketimbang pertanyaan dalam level sasaran dan level reflektif. Di sini akan lebih lebih jauh membangkitkan pendapat atau pandangan yang berbeda atau bahkan bertentangan antar peserta. Setelah itu, kemudian fasilitator membawa peserta untuk merumuskan solusi masa depan, yang lebih penting untuk memulai membangun kesepakatan forum.

6.   Level decisional atau pengambilan keputusan
Fasilitator mereview kembali isu-isu yang dibicarakan pada level sebelumnya, dan kemudian mengajak peserta untuk merumuskan kesepakatan dan keputusan bersama, untuk menindaklanjuti solusi yang dirumuskan pada level interpretatif. Di sini perlu dibicarakan juga rencana tindak lanjut berikutnya.

7.   Refleksi dan Penutup
Fasilitator mereview kembali mulai dari masalah inti yang dibicarakan dalam forum, sampai kesepakatan dan keputusan forum sebelumnya. Sampaikan ucapan terima kasih atas partisipasi peserta dalam forum diskusi.
INGAT:
Alur diskusi di atas hanya bisa diterapkan pada forum diskusi kelompok yang relatif permanen, yang diarahkan untuk pemecahan masalah dan untuk melahirkan kebijakan dan tindakan. Alur itu tidak bisa diterapkan semaksimal mungkin dalam diskusi kelompok ad hoc yang lebih banyak membicarakan tentang “konsep” yang spesifik. Diskusi yang satu ini lebih banyak menekankan perdebatan pandangan peserta atas konsep itu sehingga terjadi pengkayaan yang sangat beragam. Semakin banyak dan beragam pandangan, maka semakin kaya diskusi atas konsep itu. Tentu saja forum ini tidak terlalu butuh solusi, pemecahan masalah ataupun keputusan. Yang lebih penting adalah kata-kata kunci dan pengkayaan pandangan.


Tips untuk Proses Diskusi

·          Mulailah diskusi setaktis dan secepat mungkin. Jangan bertele-tele memberi pengantar.
·          Jagalah alur perdebatan ide dan pandangan peserta. Dengarkan ide-ide yang disumbangkan. Catatlah ide-ide menarik.
·          Konfrontasikan antaride yang berbeda untuk dieksplorasi lebih lanjut.
·          Jagalah diskusi tetap berlangsung secara terfokus pada isu atau tema. Jangan biarkan pembicaraan jadi liar dan melebar kemana-mana. Intervensilah jika ada peserta yang bicara terlalu jauh menyimpang.
·          Jagalah diskusi berlangsung secara praktik dan taktis. Jangan bertele-tele.
·          Jagalah diskusi tetap terbuka. Biarkan perbedaan pendapat terus berlangsung, tetapi usahakan juga penengahan terhadap perbedaan.
·          Aturlah dan bagilah peranserta para peserta secara merata. Jangan biarkan satu-dua orang mendominasi forum. Kalau perlu tunjuk peserta yang hanya diam saja.
·          Jagalah alur diskusi menurut alur O-R-I-D.
·          Jagalah diskusi berlangsung pendek dan menyenangkan.

Contoh Diskusi Terfokus dengan Alur/Daur O-R-I-D
Tema: Pengembangan Lembaga Riset Baru
Peserta: Tim Manajemen PKPT-PMD

Sasaran Rasional:
·          Menggagas isu pengembangan penelitian dan program aksi pemberdayaan.
·          Merumuskan lembaga baru yang mewadahi dan mempercepat kegiatan penelitian STPMD “APMD”, yang secara istimewa concern terhadap desa.

Sasaran Pengalaman:
·          Memberikan dukungan pada hasil diskusi kebijakan “Pengembangan Penelitian dan Pengabdian”.
·          Memberikan rekomendasi kebijakan kepada STPMD “APMD”.

Konteks/Pembukaan:
Forum terbatas ini akan merespons lebih jauh beberapa usulan dan agenda tindakan yang sudah dibicarakan dalam forum diskusi kebijakan “Pengembangan Penelitian dan Pengabdian”, yang digelar 3 hari lalu di Hotel Ambarukmo. Kita akan merumuskan solusi institusional untuk pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Level Sasaran: Identifikasi Isu
Apa saja isu-isu atau ide-ide yang muncul dalam forum diskusi kebijakan 3 hari lalu?
Isu-isu atau ide apa yang paling menarik untuk dibicarakan lebih lanjut?
Apa saja usulan agenda tindakan menarik dari diskusi itu yang ditindaklanjuti?

Level Reflektif: Melihat Pengalaman Masa Lalu
·         Bagaimana penilaian kita terhadap ide dan agenda yang muncul itu?
·         Bagaimana pengalaman kita atas ide dan agenda penelitian maupun pengabdian?
·         Apa yang kurang dari pengalaman kita itu?

Level Interpretatif: Merumuskan Solusi Masa Depan dan Mengevaluasinya
·         Seberapa besar kemampuan kita ke depan untuk menindaklanjuti usulan yang muncul itu?
·         Dengan cara apa usulan itu kita wujudkan?

Level Decisional: Merumuskan kesepakatan dan keputusan bersama.
·         Bagaimana rumusan atau usulan kita?
·         Apa konsep yang kita miliki?
·         Apa yang harus kita lakukan berikutnya?







III. METODE, PROSES DAN TEKNIK


Metode

Latar Belakang
            Salah satu masalah yang memerlukan perhatian dalam kegiatan kepelatihan adalah Metode dan Teknik Pelatihan. Pada awalnya metode dan teknik pelatihan ini kurang mendapatkan perhatian, karena orang berpandangan bahwa pelatihan itu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya praktis, jadi tidak diperlukan pengetahuan (teori) yang ada sangkut pautnya dengan kepelatihan. Orang sudah merasa mampu untuk melatih  dan menjadi pelatif atau fasilitator kalau sudah menguasai materi yang akan disampaikan.
Pandangan ini tidak benar. Fasilitator perlu pula mempelajari pengetahuan yang ada kaitannya dengan kegiatan pelatihan, khusunya metode dan teknik pelatihan yang berguna untuk  “bagaimana memproses” terjadinya interaksi belajar.

Pengertian Metode Pelatihan
Metode merupakan salah satu “sub-sistem” dalam “sistem pelatihan”, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Metode adalah cara atau prosedur yang dipergunakan oleh fasilitator dalam interaksi belajar dengan memperhatikan keseluruhan sistem untuk mencapai suatu tujuan  pelatihan.

Proses

Secara garis besar dalam suatu proses interaksi belajar menempuh 4 phase pokok yang meliputi:

1.      Phase pendahuluan
Phase ini dimaksudkan untuk menyusun dan mempersiapkan  mental set yang menguntungkan, menyenangkan guna pembahasan materi pembelajaran. Dalam phase ini fasilitator dapat melakukan kaji ulang (review) terhadap pembahasan sebelumnya dan menghubungkan dengan pembahasan berikutnya.

2.      Phase Pembahasan
Phase ini dimaksudkan untuk melakukan kajian, pembahasan dan penelaahan terhadap materi pembelajaan. Dalam phase ini peserta mulai dikonsentrasikan  perhatiannya kepada pokok materi pembahasan. Dalam phase ini perlu dicari metode yang cocok dengan tujuan, sifat materi, latar belakang peserta dan pelatih/fasilitator sendiri.

3.      Phase menghasilkan
Phase ini yaitu tahap di mana seluruh hasil pembahasan ditarik suatu kesimpulan bersama berdasarkan pada pengalaman dan teori yang mendukungnya.




4.      Phase Penurunan
      Phase ini dimaksudkan untuk menurunkan konsentrasi peserta secara berangsur-angsur. Ketegangan perhatian peserta pelatihan terhadap materi perlu secara bertahap diturunkan untuk memberi isyarat bahwa proses pelatihan akan berakhir.


Mengenal Macam-macam Metode
            Banyak pilihan metode yang dapat dipergunakan oleh seorang fasilitator dalam memproses interaksi belajar untuk mencapai tujuan tertentu. Tentu saja setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
            Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih  metode yang tepat yaitu meliputi: tujuan pelatihan, sifat materi pelatihan, peserta, fasilitator dan waktu. Dan yang paling penting juga adalah filosofi pendekatan. Hal ini penting karena kalau menggunakan pendekatan konvensional (pedagogis) akan berbeda dengan kalau menggunakan pendekatan andragogis. Dalam pendekatan andragogis keterlibatan aktif peserta menjadi mutlak adanya. Untuk itu maka metode-metode yang bersifat satu arah hendaknya ditinggalkan.

Metode Ceramah

Metode ceramah seringkali disebut metode kuliah (The Lecture Method). Dapat pula disebut dengan metode deskripsi. Metode ceramah merupakan metode yang memberikan penjelasan atau memberi deskripsi lisan secara sepihak (oleh seorang fasilitator) tentang suatu materi pembelajaran tertentu. Tujuannya adalah agar peserta pelatihan mengetahui  dan memahami materi pelatihan tertentu  dengan jalan menyimak dan mendengarkan. Peranan fasilitator dalam metode ini sangat aktif dan dominan, sedangkan peserta hanya duduk mendengarkan saja. Metode kurang tepat untuk pelatihan orang dewasa, karena dalam pelatihan orang dewasa mengehndaki keterlibatan aktif seluruh peserta.

Curah Pendapat (Brainstorming)
Adalah sebuah metode umum yang digunakan dalam suatu pelatihan orang dewasa untuk membantu peserta pelatihan memikirkan sebanyak mungkin ide dan gagasan. Selama berlangsungnya curah pendapat peserta didorong untuk menghasilkan pendapat, gagasan secepat mungkin tanpa perlu memikirkan nilai-nilai dari pendapat itu. Tekanannya adalah kuantitas, dan bukan kualitas.
Dalam curah pendapat tidak dibenarkan adanya kritik terhadap pendapat-pendapat, karena orang-orang akan merasa lebih bebas untuk membiarkan imajinasi-imajinasi mereka berjalan dan untuk memberikan sumbangsih secara bebas/leluasa jika mereka tidak harus merasa kuatir tentang apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang kontribusi mereka. Masing-masing individu bebas untuk memberikan sebanyak mungkin saran seperti yang diinginkan. Seorang juru catat mencatat setiap kontribusi pada sebuah papan tulis atau di atas lembaran kertas plano/ koran dan semua peserta didorong untuk mengembangkan pendapat-pendapatorang lain. Sangat sering terjadi bahwa sesuatu pendapat yang nampaknya tidak berguna atau lucu akan memicu pendapat orang lain yang ternyata menjadi sangat bernilai tinggi.
Setelah dilakukan curah pendapat, seluruh peserta kemudian dapat mengadakan evaluasi terhadap saran-saran tersebut dan melakukan pembahasan.

MetodeKelompok Nominal
Adalah hampir sama dengan curah pendapat, tetapi ini dirancang agar setiap pribadi peserta pelatihan untuk memberikan sumbangsihnya dan untuk mencegah adanya dominasi peserta tertentu.
Prosedur ini bisa dilakukan dengan cara seluruh peserta diminta hening selama 5 sampai 10 menit, saat ini dapat digunakan oleh peserta untuk menulis pendapat-pendapatnya sebanyak mungkin. Pendapat-pendapat itu merupakan jawaban-jawaban terhadap suatu pertanyaan yang spesifik yang diajukan oleh fasilitator atau pertanyaan yang sudah disetujui oleh peserta pelatihan (seperti: “Apa yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki lembaga ini?).
Langkah berikutnya ialah para peserta mengambil giliran membaca pendapat-pendapat dari daftar mereka. Hal ini dilakukan dengan cara bergilir, setiap anggota membacakan hanya satu pendapat saja untuk satu kesempatan. Peserta-peserta didorong untuk menambahkan ke dalam daftar-daftar mereka setiap saat selama berlangsungnya tahapan  ini, dan saling mengembangkan pendapat antara satu dengan yang lainnya. Seorang juru catat mencatat pendapat-pendapat itu dalam kata-kata yang sama persis yang disampaikan oleh penyumbang pendapat di atas sebuah daftar yang bisa dilihat oleh semua orang. Peserta pelatihan (anggota) boleh  mengatakan pas atau belum ada ide setiap kali mendapat giliran dan boleh menyampaikan pendapat lagi pada giliran berikutnya.
Hanya setelah pendapat sudah dicacat, seluruh peserta mendiskusikan semuanya. Seluruh peserta mengklarifikasi pendapat-pendapat dan jika para penyumbang  pendapat setuju, menggabungkan pendapat-pendapat yang sama atau hampir sama.
Setelah tahapan diskusi, salah satu cara untuk memprioritaskan item-item dari daftar itu  ialah dengan cara; bagi setiap peserta (anggota) menuliskan lima yang menurut dia adalah paling penting, dan sesudah itu membuat ranking dari kelimanya. Si Juru catat membacakan setiap item dari daftar itu dan menmbahkan poin-poin yang ditugaskan padanya. (Sebuah item dibebankan lima poin untuk setiap satu kali ia didaftarkan ke dua kalinya, dan seterusnya). Dengan cara ini kelompok dapat menentukan nilai-nilai apa yang sudah disarankan, setelah pendapat-pendapat itu dihasilkan.
Adalah penting sekali bahwa sang juru catat menggunakan kata-kata yang tepat sama persis seperti yang diganakan oleh penyumbang pendapat ketika menguraikan pendapatnya. Jika kata-kata harus diubah, hal itu hanya akan bisa dilakukan dengan seijin si penyumbang pendapat, barangkali dengan mengajukan pertanyaan seperti: “Dapatkah anda memikirkan seatu cara yang lebih singkat dalam mengatakan hal itu?”
 

Metode Diskusi

Metode ini sering digunakan dalam pelatihan orang dewasa, karena mereka dapat berpartisipasi aktif untuk menyumbangkan pemikiran, gagasan dalam kegiatan diskusi. Kalau dalam metode ceramah hanya terjadi komunikasi satu arah, maka metode diskusi terjadi banyak arah. Dengan demikian maka pada dasarnya metode diskusi adalah mengemukakan pendapat dan gagasan dalam musyawarah untuk mencapai mufakat. Biasanya peserta diskusi dihadapkan pada suatu atau sejumlah masalah yang mungkin disodorkan oleh fasilitator. Atau peserta dapat pula menentukan sendiri topik yang perlu dipecahkan bersama. Tujuan diskusi pada umumnya adalah mencari pemecahan permasalahan, dari sinilah muncul bermacam-macam jawaban yang perlu dipilih satu atau dua jawaban yang logis dan tepat guna dari bermacam-macam jawaban yang lain untuk mencapai mufakat/persetujuan.

Macam-macam Metode Diskusi Kelompok
Selama ini, dalam pelatihan orang dewasa, dikenal banyak macam metode diskusi dan seorang fasilitator  dapat memilih salah satu atau gabungan dari berbagai teknik ini sehingga dapat memberikan berbagai variasi bagi peserta pelatihan dan tidak menimbulkan kebosanan peserta. Macam teknik diskusi tersebut antara lain:
1.      Whole Group (Seluruh Peserta)
Seluruh kelompok dan seluruh peserta duduk dalam satu formasi setengah lingkaran atau berbentuk “U” yang  dipimpin oleh fasilitator atau moderator yang diminta dari peserta.  Diskusi seluruh kelompok ini biasanya membicarakan topik tertentu dengan fasilitator/moderator sebagai pemandunya. Digunakan untuk mengenal dan mengelola permasalahan, membuat permasalahan yang menarik, menciptakan suasana informal, membantu peserta mengemukakan pendapat. Peserta diskusi hendaknya tidak lebih 20 orang.

2.      Group Discussion (Diskusi Kelompok)
Diskusi kelompok adalah upaya percakapan atau pembahasan yang dipersiapkan di antara tiga atau lebih tentang topik tertentu dengan seorang fasilitator. Ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada peserta untuk saling mengemukakan pendapat dalam mengenal  dan memecahkan  suatu permasalahan. Diskusi kelompok  akan membantu peserta pelatihan yang malu berbicara di dalam kelompok besar  dalam mengemukakan pendapatnya. Jumlah peserta dalam diskusi kelompok idealnya tidak lebih dari 5 orang.

3.   Focus Group Discassion (Diskusi Kelompok Fokus)
Diskusi Kelompok Fokus ini tidak jauh dengan diskusi kelompok seperti yang sudah kita kemukakan, namun materi pembahasan diskusi ini lebih difokuskan pada bidang tertentu. Peserta diskusi kelompok fokus bisanya bersifat homogen atau yang mempunyai pengalaman atau pengetahuan sejenis atau sama.

4.   Panel Diskusi
Panel diskusi juga dipergunakan untuk membahas suatu permasalahan tertentu di mana 2 atau lebih orang dari luar atau dari peserta pelatihan itu sendiri diminta untuk menyajikan suatu permasalahan atau pendapatnya tentang sesuatu, kemudian seluruh peserta diminta untuk menanggapi dan terlibat untuk mendiskusikannya.

5.      Syindicate Group
      Suatu kelompok besar dibagi menjadi kelompok-kelomok kecil dengan anggota tidak lebih dari 5 orang. Masing-masing kelompok kecil tersebut melakukan diskusi tertentu, dan tugas ini bersifat sementara. Fasilitator memberikan penjelasan secara umum dan garis besar permasalahan, kemudian tiap tiap kelompok kecil (syndicate) diberi tugas mempelajari suatu praktek tertentu yang berbeda dengan kelompok kecil lainnya. Jika kemungkinan fasilitator menyediakan referensi. Setelah kelompok bekerja sendiri-sendiri, keudian masing-masing kelompok menyajikan hasil diskusinya dalam sidang pleno untuk dibahas lebih jauh.

6.   Debat Informal
Kelompok besar dibagi menjadi dua kelompok yang sama jumlah pesertanya dan mendiskusikan  materi yang cocok untuk diperdebatkan. Biasanya fasilitator memberikan persoalan yang sama kepada dua kelompok tersebut dan memberikan tugas yang bertentangan, yaitu bahwa satu kelompok “Pro” dan satu kelompok “Kontra”. Biasanya bahan yang diperdebatkan merupakan suatu permasalahan dan merupakan sesuatu yang aktual.

7.   Buzz Group (Kelompok Dengung)
Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil (2 - 3) orang   untuk mendiskusi-kan “sesuatu topik” terlepas dari bantuan fasilitator. Tempat duduk diatur sedemikian rupa hingga peserta dapat berhadap muka. Teknik ini memberikan kesematan kepada individu-individu untuk menguji dan memperdalam pemikiran-pemikirannya atau mempertajam suatu upaya pemecahan masalah dan mendapatkan kepercayaan dirinya sendiri.

8.      Fish Bowl (Diskusi “Lingkaran Dalam lingkaran”)
Para peserta pelatihan dibagi menjadi beberapa kelompok; salah satu kelompok, yang dapat disebut “kelompok dalam” mendiskusikan suatu masalahtertentu dan “kelomok luar” (kelompok lainnya) sebagai pendengar. Sebagai contoh, kelompok dalam dapat merupakan “Kelompok Panitia Pelaksana (OC) sedangkan kelompok luarnya adalah “Kelompok Panitia Pengarah (SC) yang tugasnya mendengarkan, menganalisis serta menterjemhkan apa yang dibahas, didiskusikan dan dibicarakan menjadi tindakan nyata.

9.   Role Play (Bermain Peran)
Peserta pelatihan dimintauntuk melakukan peran tertentu dan menyajikan”permainan peran” dan melakukan “dialog-dialog” tertentu yang menekankan pada karakter, sifat atau sikap yang perlu dianalisis. Bermain peran haruslah mengungkapkan suatu masalah atau kondisi nayata yang akan dipergunakan bahan diskusi atau pembahasan materi.
Dengan demikian, setelah selesai melakukan peran, langkah penting adalah analisis dari bermain peran tersebut. Para pemain diminta untuk mengemukakan peran dan perasaan mereka tentang peran yang dimainkan, demikian pula dengan peserta lainnya. Untuk itu fasilitator harus mempersiapkan skenario dan cerita tertentu dan mempersiapkan “peserta” yang akan memainkan peran tertentu tersebut, serta kelengkapan lain sebagai bahan analisis yang diperlukan.

10.  Simulation (Simulasi)
Simulasi berasal dari bahasa Inggris “Simulation” artinya meniru perbuatan yang bersifat pura-pura atau tidak dalam keadaan sesungguhnya. Tujan simulasi adalah menanmkan materi pembahasan melalui pengalaman berbuat dalam proses simulasi. Sebenarnya simulasi lebih tepat untuk meningkatkan ketrampilan tertentu dengan jalan “melakukan sesuatu” dalam kondisi tidak nyata. Misalnya saja melakukan “Simulasi melatih petani”.
11. Demontration (Demontrasi)
Metode peragaan  merupakan suatu metode yang yang digunakan oleh fasilitator “untuk mempergakan”  suatu proses untuk meningkatkan ketrampilan tertentu dengan menggunakan alat yang sesuai dengan yang sesungguhnya. Misalkan “cara menyuntik ayam”. Disini fasilitator  atau salah satu peserta menunjukkan alat yang dipakai, proses yang yang ditempuh dan teknik yang dipergunakan dalam menyuntik ayam.

PENJELASAN PRAKTIS TEKNIK FASILITASI

 

a. TEKNIK BUZZ GROUPS (KELOMPOK LEBAH) :

Adalah teknik sederhana untuk menggali informasi dan perasaan dalam suasana orang bekerja dalam kelompok kecil (2 – 3 orang. Disebut Buzz (lebah) karena dalam pelaksanaannya akan terdengar suara seperti lebah akibat banyak orang yang berbicara.

TEKNIK BUZZ GROUPS

KEKUATAN
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
1.      Sangat partsipatif
2.      Efektif terhadap kelompok yang malu
3.      Mudah mengukur tingkat partisipasi
4.      Dapat digunakan dengan kelompok besar
5.      Menciptakan rasa aman
1.      Memakai waktu yang singkat (3 – 5 menit).
2.      Pertanyaan harus jelas / sederhana.
3.      Hasil perlu digunakan.


LANGKAH-LANGKAH DALAM BUZZ GROUPS :
1.      Memperkenalkan topik yang akan dibahas.
2.      Menyampaikan pertanyaan secara tertulis karena akan membantu orang terfokus pada pertanyaan.
3.      Memberikan kesempatan berpikir sejenak (berefleksi 2 – 3 menit).
4.      Peserta bergabung dengan “tetangga” (rekan yang duduk di samping/dekatnya), kemudian membahas topik (jangan lama-lama, sekitar 5 menit saja).
5.      Menulis pendapat di kertas sendiri, kertas plano atau lainnya.
6.      Kesimpulan.


b. TEKNIK ROUND ROBBIN (GILIRAN)

TEKNIK ROUND ROBBIN

KEKUATAN

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
  1. Partsisipasi tinggi.
  2. Menghargai pendapat orang lain.
  3. Cepat.
  4. Banyak ide.
  1. Menghindari pidato.
  2. Dapat membosankan.
  3. Perlu waktu agak lama.

LANGKAH-LANGKAH DALAM ROUND ROBBIN :
1.            Memperkenalkan topik yang akan dibahas.
2.            Menyampaikan pertanyaan secara tertulis karena kan membantu orang terfokus pada pertanyaan.
3.            Memberikan kesempatan berpikir sejenak (berefleksi 2 – 3 menit).
4.            Mulai giliran dengan satu orang dan memberikan kesempatan tiap orang secara berurutan (boleh “pas” tapi kemudian harus dicek kembali).
5.            Menulis pendapat di kertas plano.
6.            Dilanjutkan sesuai tujuan semula (berkaitan dengan topik).
7.            Kesimpulan.

 c.  TEKNIK BRAINSTORMING (CURAH PENDAPAT)
                                                                                                                                            Adalah teknik untuk memperoleh ide, analisis dan partisipasi. Kegunaannya adalah mencari ide semaksimal mungkin dari peserta.

TEKNIK BRAINSTORMING

KEKUATAN

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
  1. Partisipatoris.
  2. Banyak ide.
  3. Mengundang keberanian.
  4. Ide berkembang terus.
  5. Mendukung cara pikir analitis.
  1. Pertanyaan harus jelas.
  2. Banjir ide.
  3. Dominasi oleh orang yang berpikir cepat.
  4. Dominasi laki-laki.
  5. Jika terlalu sering digunakan akan membosankan.
  6. Sulit dilakukan pada kelompok yang besar.
  7. Klarifikasi bisa sangat rumit, terlebih bila telah ada klasifikasi dari fasilitator sebelum masuk kelas..
  8. Hasil perlu digunakan pada sesi-sesi selanjutnya.

LANGKAH-LANGKAH DALAM BRAINSTORMING :

LANGKAH PERTAMA (PENGEMBANGAN IDE) :
1.      Memperkenalkan topik.
2.      Menjelaskan aturan main (ide sebanyak mungkin, tidak boleh ada kritik karena bukan perdebatan, bisa menggunakan ide orang lain, bebas dalam beride bahkan ide yang aneh adalah baik, siapa saja dapat bicara).
3.      Mengutarakan pertanyaan selalu secara tertulis.
4.      Menulis semua ide di kertas plano, jika terlalu panjang bisa minta istilah lain pada pemberi ide.
5.      Setelah selesai orang mengutarakan ide, maka selalu menanyakan : “ada ide lain ?”.

LANGKAH KEDUA (KLARIFIKASI) :
1.      Menjelaskan proses klarifikasi (belum mengkritik).
2.      Membaca ide satu per satu, jika belum jelas maka diklarifikasi pada si pemberi ide.
3.      Klarifikasi diupayakan selalu tuntas.

LANGKAH KETIGA (MENGUMPULKAN / KLASIFIKASI) :
1.      Menjelaskan langkah klasifikasi.
2.      Meminta peserta mengelompokkan ide-ide yang sama/mirip/serupa.
3.      Memberi nama untuk tiap kelompok dengan nama yang mencerminkan/mewakili seluruh ide.
4.      Cek ulang apakah ada ide-ide dalam kelompok yang kurang cocok atau bahkan salah dimasukkan dalam kelompok tersebut.

LANGKAH KEEMPAT (ANALISIS MASALAH/ MENGAMBIL KEPUTUSAN) :
1.      Mengajak peserta membahas hasil dari tiap kelompok.
2.      Mencatat hasil.
3.      Menentukan bersama apa yang yang menjadi prioritas yang harus ditindaklanjuti.


d. TEKNIK META PLAN :
Adalah : teknik untuk mengumpulkan ide yang menyerupai dengan teknik brainstorming, namun dengan menggunakan kartu. Kegunaannya adalah curah pendapat, menghasilkan ide, pengorganisasian ide dan mencari konsesnsus.

TEKNIK META PLAN
KEKUATAN
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
  1. Partsipasi tinggi.
  2. Mudah diperagakan.
  3. membantu bagi orang yang malu berpendapat secara lisan.
  4. Memudahkan refleksi.
  5. Mudah disortir.
  6. Tersedia waktu agak banyak untuk berpikir.
  7. Portable, karena hasil bisa dibawa ke mana-mana.
  1. Terlalu banyak kartu.
  2. Proses penyortiran kartu bisa rumit.
  3. Jika terlalu sering digunakan akan membosankan.
  4. Tulisan jangan terlalu kecil (satu kartu satu ide).
  5. Membutuhkan tempat agak luas.
  6. Perlu perlengkapan khusus.
  7. Dominasi dalampengorganisasian.

LANGKAH-LANGKAH DALAM META PLAN :
1.      Menyiapakan tempat dan peralatan pendukung (kartu, plastik/kain untuk menempelkan kartu, ATK).
2.      Menyajikan topik yang akan dibahas dalam wujud pertanyaan / pernyataan secara tertulis.
3.      Menjelaskan aturan main danproses :
a.       Satu ide satu kartu.
b.      Tulisan dibuat besar.
c.       Kalimat singkat (maksimal 6 kata) namun sedetil mungkin.
d.      Semua kartu yang dibagikan sebisa mungkin digunakan (ide sebanyak mungkin sesuai kartu yang dimiliki).
4.      Cukup waktu (sekitar 5 menit) untuk brainstorming bagi diri sendiri.
5.      Memberi waktu menulis kartu.
6.      Mengumpulkan kartu dan memasangkannya di tempat yang mudah dilihat semua peserta (Tips : jika menggunakan papan tulis atau dinding, maka perlu dipasangi kertas dahulu agar mudah dipindahkan).
7.      Dilanjutkan seperti langkah-langkah dalam Teknik Brainstroming (Klarifikasi, Klasifikasi, Analisis Masalah/Mengambil Keputusan).


e.TEKNIK DISKUSI KELOMPOK (DISKO) :

METODE DISKUSI KELOMPOK
KEKUATAN
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
  1. Mendorong partsipasi
  2. Komunikasi dan pembahasan lebih intensif
  3. Fokus lebih terjaga
  4. Mudah dan ada peluang untuk mengemukakan pendapat
  1. Pertanyaan / topik harus jelas.
  2. Perlu waktu lama unt. Pemecahan masalah karena ada proses analisis yg dalam, serta butuh waktu presentasi
  3. Bisa ada dominasi dalam kelompok
  4. Kehilangan arah karena ada kemungkinan pembicaraan dalam kelompok kemana-mana / tidak terfokus.
  5. Fasilitator harus mengunjungi Disko, karena mungkin perlu bantuan, klarifikasi dan intervensi tertentu; di samping untuk mengingatkan batasan waktu.




LANGKAH-LANGKAH DALAM DISKO :

LANGKAH PERTAMA :

A.  JELASKAN TOPIK DISKUSI DENGAN PERTANYAAN YANG JELAS DAN TERTULIS :
01.    Menentukan Fasilitator dan notulis dalam kelompok.
02.    Mempersamakan persepsi.
03.    Mernyusun agenda dan waktu.
04.    Melakukan diskusi.
05.    Mengambil kesimpulan.
06.    Mencatat hasil dalam kertas plano, transparansi (OHT), diketik atasu lainnya.


B.  MEMBAGI PESERTA DALAM KELOMPOK KECIL (IDEALNYA 4 – 5 ORANG), DENGAN CARA :
01.        Random (berhitung berdasar nomer/angka atau nama buah dan lainnya).
02.        Cluster (berdasar wilayah, jenis kelamin, umur, tempat duduk).
03.        Kesesuaian topik (pilih berdasar minat).
04.        Berikan batasan waktu dengan sedikit perkiraan molor.
05.        Kerangka laporan harus jelas formatnya.

LANGKAH KEDUA :

A.    MENAJALANI DISKUSI KELOMPOK.
B.     KUNJUNGAN FASILITATOR (MEMBANTU, MENJELASKAN, KLARIFIKASI, ATAU MENGEMBALIKAN ARAH).

LANGKAH KETIGA :

A. PRESENTASI HASIL DISKO

1.      Membagi hasil dari masing-masing diskusi.
2.       Menarik ringkasan atau kesimpulan seluruh Disko, mana yang sama dan mana yang berbeda.
3.       Menentukan langkah selanjutnya.

C.    BAGAIMANA PRESENTASI ? (METODE PRESENTASI) :
1.                                                                                                                                                      Presentasi dari hasil Disko tiap kelompok :
a.       Wakil kelompok yang presentasi.
b.       Tanya jawab dan klarifikasi (tanggapan setelah presentasi satu-per-satu atau setelah semuanya selesai presentasi).
c.       Menarik suatu kesimpulan.

2.      Bursa Informasi :
a.       Tiap kelompok memperagakan di tempat masing-masing (misalnya dengan menempelkan kertas plano hasil Disko).
b.       Kelompok lain berkeliling,  membaca dan mencatat untuk memberikan saran, kritik yang membangun).
c.       Diskusi pleno dengan kelompok lain memberikan umpan balik dan anggota kelompok memberikan tanggapan.

     3.   Presentasi oleh Fasilitator Kelompok :
a.       Sama dengan carapresentasi I, tetapi dilakukan oleh fasilitator.
b.       Fasilitator bisa langsung menjawab atau mengembalikannya kepada kelompok atas tanggapan kelompok lain.

LANGKAH KEEMPAT :

A.   MENARIK KESIMPULAN/RINGKASAN.
B.   PROSES DISKO : BAGAIMANA PESERTA MERASA SEBAGAI ANGGOTA DISKO ATAU PLENO ? DAN BAGAIMANA KEAKTIFAN PESERTA / ANGGOTA KELOMPOK ?.

f.   TEKNIK BERMAIN PERAN (Role Playing)